Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Renungan Malam Natal

24 Desember 2010   09:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:26 1554 0
Adalah seorang pelayan medis bernama dr. X yang menginspirasi tulisan ini. Seorang sejawat senior yang menjadi gambaran ideal dari anggota korps jas putih, walau ia sendiri hampir tidak pernah memakai jubah kebesarannya itu. Seorang rendah hati yang wajar jika hanya diberikan nama samarannya sebagai dr. X. Bahkan X juga bukanlah inisial namanya karena orang seperti beliau pastilah tidak mau diekspos. Namun, inspirasi yang muncul dalam dirinya sangatlah penting untuk menjadi bahan renungan di tengah semarak perayaan natal malam ini. Ada apa yang dilakukan oleh dr. X? Sebesar apa perannya sehingga dianggap inspirasional? Sesungguhnya masih ada banyak lagi orang-orang seperti ini, tetapi dr. X adalah suatu contoh yang gamblang tanpa metafora yang selangit kiasannya. Merawat orang-orang sakit dari kalangan terpinggirkan dengan tulus, tanpa pamrih. Bukankah itu sudah menjadi bagian pekerjaannya sebagai korps jas putih? Lantas apa keistimewaannya? Seberapa banyak orang seperti beliau ini yang bisa dikategorikan “full time” dalam merawat pasien-pasien kalangan terbawah?  Kalangan terbawah bukan sekedar miskin, tetapi golongan yang termiskin di antara yang termiskin?? Tentu  bisa dihitung dengan jari karena pekerja sosial pun banyak yang hanya “menyisihkan” waktunya untuk merawat orang-orang seperti ini, tidak “full time” seperti beliau. Lebih jauh lagi, untuk seorang dr. X, istilah “full time service” yang dilakukannya bahkan bisa ditambahkan dengan istilah “full heart service” karena seumur hidup mata sendiri belum pernah melihat orang yang sebegitu semangat dan bahagianya dalam melayani orang-orang penyakitan yang miskin dan berbau kotoran manusia. Ya, kotoran yang belepotan teroles pada selimut dan tempat-tempat tidur pasien yang dilayaninya. Sungguh seperti bukan manusia, tetapi mereka masih manusia hanya karena miskin dan sakit sehingga tidak bisa mengurusi kebersihan dirinya sendiri. Sebagian adalah orang-orang tua yang sudah hilang ingatannya, sebagian lagi memang pasien gangguan jiwa. Walau sering mendengar pelayan-pelayan sosial seperti ini, biasa hanya didengar atau dilihat dari media. Mimik bahagia biasa akan muncul jika manusia melihat pemandangan indah, megah, dan bersih. Namun, bagi dr. X, mimik seperti ini terpahat di garis wajahnya justru ketika menolong kaum penyakitan di antara yang termiskin. Dr. X sering mengajak sejawat lain  untuk membantunya, dan tentu saja ada yang membantu walau mimik wajahnya tidak sebahagia dr. X tatkala berhadapan dengan pasien dari kalangan termiskin tersebut. Setiap ada pihak lain yang ingin membantu, dr. X menyambutnya seperti menyambut kedatangan orang besar. Ya, manusia pada umumnya menyambut petinggi dengan antusias, tetapi dr. X antusias menyambut orang penyakitan dan para donatur. Bahkan, suatu kali ketika ikut membantunya dalam suatu kegiatan bakti sosial di suatu panti sosial pemerintah, sang pemimpin panti itu pun tidak setulus dan serendah hati dr. X. Begitulah, dr. X sering membantu panti-panti milik pemerintah yang harusnya ditangani oleh pemerintah, bukan oleh dirinya. Dan pelayanan dr. X bahkan jauh lebih baik daripada aparat pemerintah yang memang digaji untuk  merawat kalangan termiskin tersebut. Bagi beberapa orang, hal ini merupakan suatu keanehan tersendiri. Apalagi di saat menjelang natal yang penuh dengan kemewahan dan kemeriahan, serta tentunya jauh dari bau kotoran manusia. Akan tetapi, kita lupa bahwa perayaan natal 2ooo tahun yang lalu juga berlatar sama dengan kondisi yang dihadapi dr. X. Di mana Bayi Yesus dilahirkan di kandang binatang yang berbau, bukan dalam gereja atau istana yang megah. Di mana Sang Bayi Kudus bahkan tidak diselimuti dengan selimut bayi yang wangi, tetapi hanya selembar kain lampin yang tetap membuat-Nya kedinginan. Seorang Bayi yang datang bukan untuk menikmati hangatnya dunia, tetapi sudah dikejar-kejar pembunuh saat baru lahir. Seorang Bayi yang datang bukan untuk dilindungi, tetapi untuk mati menebus dosa segenap semesta. Sungguh seorang dr. X telah merayakan Natal yang terbaik. Mungkin beberapa pemuka agama saja tidak merayakan Natal sebaik itu karena masih berbalutkan jas baru di dalam gereja yang megah. Dan tentu saja, seorang dr. X tidak akan bisa tersaingi oleh orang-orang berilmu agama tingkat tinggi atau “mengaku ahli teolog”  sehingga kerjanya hanya berdebat tanpa bersumbangsih seperti teladan Sang Mesias. Pertanyaan terakhir, “Di manakah dr. X pada malam natal ini?” Kemungkinan besar ia menghabiskan waktu dalam kebahagiaannya yang sejati, yaitu menjadi malaikat penghibur bagi kalangan termiskin yang tenggelam dalam gemerlap malam natal. GLORIA…GLORIA…GLORIA GLORIA IN EXELCIS DEO AD MAJOREM DEI GLORIAM. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun