Begini kisahnya...
Malam itu pada sebuah angkringan depan rumah sakit yang merupakan milik organisasi sosial kemasyarakatan terbesar di Yogyakarta, tiga pemuda bertemu dan berkumpul katakanlah untuk membahas perihal kehidupan yang dirasa semakin sulit. Singkatnya, perbincangan pun semakin hangat dan akrab diantara ketiganya. Obrolannya hanyalah suatu perbincangan yang menyangkut hajat penghidupan bersama ; yakni ingin membuka suatu usaha entah apa saja demi menopang kebutuhan ekonomi sehari-hari!
Di pinggiran jalan dengan suasana lalu lalang kendaraan yang melintas, semua dinikmati sekadarnya saja, gorengan ditambah kupi item bagi penikmatnya sendiri serta teh hangat bagi yang menyukainya pada malam yang dingin itu. Pas rasanya.
Obrolan yang berlarut seru itu terpecah karena tiba-tiba kehadiran seorang bisu, BUKAN biksu, yang tampilannya gaul dan parlente. Dengan topi cupluk yang dikenakannya, jarum tindik di bibir bawah sebelah kanannya, rantai yang dikalungkan pada lehernya berikut gembok kecil sebagai hiasannya lengkap sudah sosoknya makin dikenal sehari-harinya. Ia tampak sebagaimana pemuda gaul pada umumnya. Penampilan memang sering mengecoh. Don't judge a book by it's cover, begitu ungkapan yang sering terdengar kalau teringat hal beginian. Obrolan mendadak beku terdiam saat pemuda diantara yang mengobrol itu menyambut bahasa isyarat si bisu. Lalu lalang kendaraan yang lewat seakan turut terdiam sunyi melihat aksi si bisu yang tampil begitu bersemangat.
Ia terus berceracau memberikan sesuatu informasi yang berharga bagi pemuda yang memahami bahasa isyarat yang digunakannya. Tak bisa diam , ia juga mengutak-atik aplikasi yang ada pada ponsel keluaran terbaru. Ia bahkan sempat memotret suasana malam di pinggiran jalan itu.
Ketiga pemuda tadi terkesima dengan ulah dan aksi si bisu malam itu. Seorang pemuda berkelakar bahwa orang seperti inilah yang terkadang memiliki kelebihan tertentu. Pemuda yang lain tampak mengamini pernyataan itu dalam hatinya. Pemuda yang memahami bahasa isyarat itu menjelaskan bahwa si bisu ini memang banyak bergaul akrab dengan anak-anak muda dalam suatu grup band. Tak heran ia berkelakuan macam itu. Meski begitu, ia juga seorang pekerja keras dan sempat pula ia berjualan poster-poster di emperan jalan dulunya. Si bisu berlalu begitu saja meninggalkan para pemuda dengan jetmatic yang dikendarainya. Ia tampak terburu-buru. Barangkali ada janji dengan seseorang. Begitulah ...
Perbincangan tak berhenti di situ saja. Obrolan yang semakin larut dan mendalam itu terasa menemukan bentuknya saat kedatangan seorang penyair asal Madura yang sekarang juga mulai merambah dunia cerpen Indonesia. Begitu mengamat-amati hidangan angkringan yang ala kadarnya itu, tangannya langsung mengambil beberapa sego kuching dan memesan segelas susu putih pada penjual angkringan. Begitu lepasnya para pemuda bersenda gurau dan berkelakar satu sama lain tiba-tiba si bisu itu kembali muncul. Dan kali ini tanpa motor jetmatic yang dibawanya tadi...
Kesigapan, barangkali, begitulah kisah yang bisa diambil sebagai pelajaran atau hikmah untuk si bisu yang gaul ini...