Minggu masih hangat. Dan waktu menjelang siang menunjukkan pukul 10 aku bersama temanku memutuskan perjalanan ke makam raja-raja Imogiri. Awalnya, ia hanya merindukan suasana yang inspirasional untuk memicu daya kreasinya dalam menulis. Saat makan di sebuah warung sederhana dengan tiba-tiba ia berkata kepadaku" Yo, kita ke makam raja-raja Imogiri". Aku pun langsung mengiyakannya. Temanku yang sudah menetap 7 tahun di Yogyakarta dan tinggal menyisakan skripsinya ini ternyata belum pernah menginjakkan kakinya ke makam raja-raja Jawa tersebut. Dan sekarang dengan tiba-tiba ia mengajakku tanpa persiapan terlebih dahulu. Tapi, itu tak masalah bagiku. Semua dibiarkan mengalir saja, pikirku dalam hati. Kemudian berangkatlah kami dengan motor yang berpelat luar daerah yaitu Magetan. Ia hanya membawa sebuah telepon genggam yang berkamera untuk mengabadikan perjalanan ini nantinya. Kami benar-benar tak membawa suatu bekal apapun. Hanya diri inilah sebagai sesama pemuda pada perantauannya yang mencoba katakanlah sekadar silaturrahmi dengan para raja-raja Jawa itu. Ia masih bolehlah dikatakan sebagai orang Jawa walaupun Jawa Timuran, lalu aku yang orang Batak ini
kok bisa-bisanya ikut-ikutan??? Tak lain dan tak bukan hanya untuk menggenapi bagaimana ungkapan yang ada selama ini bahwa di mana bumi di pijak di situ langit di junjung. Ya, hanya berdasarkan kearifan lokal macam itu aku mau dan meniatinya pula dalam hatiku. Singkat cerita tibalah kami di lahan parkiran makam Imogiri. Kami memandang sekitaran dan...wou.., tangga yang berundak-undak itu saja sudah membikin lutut kami gemetaran untuk menapakinya. Tapi, kami harus mampu hingga ke puncak Makam raja -raja itu, begitu niatan kami berdua dalam hati. Kami pun melangkah menapaki tingkatan itu satu per satu hingga ke puncak. Pada sela-sela pinggir tingkatan itu ada juga para pedagang yang mencari penghidupan keluarganya dengan berjualan di sekitarannya. Dengan jerih payah karena kelelahan kami akhirnya berhasil menaiki puncak tingkatan makam-raja-raja itu. Di sana sudah menanti para juru kunci yang berpakaian khas Jawa menyambut setiap tetamu yang datang. Kami beristirahat sejenak pada bangsal disekitaran makam itu. Setelah itu kami mendatangi para juru kunci agar kami dapat melihat makam Sultan Agung yang terkenal itu. Para juru kunci mengatakan bahwa kami harus menggunakan busana adat Jawa untuk bisa bepergian ke makam raja-raja itu. Dan kami pun hanya mengamini saja perataan dari juru kunci makam yang tampak berseliweran karena banyaknya turis asing maupun turis lokal yang datang. Kami mengenakan busana Jawa yang langsung dipakaikan oleh para juru kunci makam itu. Hmmm... begitu megahnya untuk sebuah makam, pikirku. Tak percuma ini makam raja-raja. Dinasti Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran semua bersatu padu di sini. Tapi, hari itu makam raja Surakarta kebetulan sedang di tutup sehingga kami hanya bisa melihat makam dari raja Yogyakarta saja. Dan ini semua kami lakukan dengan bertelanjang kaki karena aturannya memang begitu. Begitu memasuki bangsal Sultan Agung inilah suasana tampak sedikit mencekam. Ruang terasing yang bagaikan sebuah lorong gelap dan sempit sedikit membuat kami kehilangan keleluasaan bergerak. Pada makam Sultan Agung sudah menanti pula dua juru kunci sebelah kanan dan kiri makam. Makam itu seakan terbuat dari besi saja. Kami mencoba melakukan sedikit doa dan mengkontemplasikan keberadaan diri kami. Saat akan beranjak dari makam itu muncullah sekawanan turis asing tua dan muda berbaur bersama kami dalam suasana temaram yang dilingkupi kelambu putih dan lampu minyak yang kecil dan sederhana. Wah, orang barat ini memang orang-orang yang sangat ingin memahami budaya suatu bangsa, pikirku. Pada makam Sultan Agung itu mereka terus berbicara pelahan dengan bahasa yang tak kumengerti entah berasal dari mana mereka. Dua juru kunci itu hanya sibuk dengan dirinya, entah apa pula yang mereka pikirkan saat itu. Hanya berkomat-kamit saja sebentar lalu merapalkan doa-doa dalam batinnya sendiri. Barangkali, yang menarik sekaligus juga tak mengenakkan sebenarnya, apalagi pemuda seperti kami yang hidupnya masih sederhana ini untuk tidak mengatakan diri ini miskin, adalah bahwa setiap usai mengunjungi atau mendatangi suatu tempat makam raja -raja itu diharapkan memberikan uang yang seikhlasnya saja. Pada saat itu kami juga mengunjungi makam HB IX yang cukup besar dan terbuat dari marmer yang mengkilap-kilap. Tampaknya makam itu lebih besar dan mengkilap dibandingkan makam HB VII atau HB VIII. Juru kunci memberikan petunjuk yang sekadarnya saja kepada kami. Semua hanya mengandalkan
roso. Begitulah.
KEMBALI KE ARTIKEL