Fitradjaja Purnama, calon Walikota Surabaya dari unsur independen terus bertambah dukungannya. Selain konstituen yang berada dilapisan bawah (grassroot) memperkuat dukungannya, Fitra diundang kawan-kawannya dari Institut 10 Nopember Surabaya (ITS). Pertemuan para alumni yang digelar di The Orasinil Café, Tjap Toegoe, Pahlawan BG Jungtion, sangat merespon diusungnya Fitra sebagai calon Walikota Surabaya.
“Kami sangat apressied sekali dengan diusungnya Fitra sebagai calon walikota Surabaya. Sebelumnya kami ucapkan terima kasihkapada Konsolidasi Arek Surabaya, yang menginginkan Fitra sebagai walikota, “ kata Kurnia KP. Pratomo penggagas acara.
Masih kata Tatok, paggilan alumni ITS angkatan1993 ini, akan all out mengerahkan semua kebutuhan pencalonan Fitra. Baik berupa spiritual, moril maupun materiil. “Kami sepakat urunan. Meskipun tidak banyak materiil yang kami berikan. Cukup sebagai bentuk solidaritas sesama alumni, “ jelasnya.
Tatok juga berpendat, dilakukannya acara yang dikemas Fitra Diantara Kawan ini, karena Fitra seorang visioner sejak mahasiswa. Banyak ide-ide original yang dilakukannya. “Sangat tepat kalau dia dicalon sebagai walikota. Dia ada seorang pemimipin yang egaliter. Meskipun pribadi yang dia miliki ssangat keras. Keras dalam dirinya adalah bentuk ketegasan, “tandas aktivis Komite Aksi Mahasisiwa Indonesia (KAMI) ini.
Sementara itu Siswo Adi Tjahyono alumni ITS angkatan 1999, juga punya pendapat sama. Bahkan pria berpenampilan unik ini, sudah all out sejakawal Fitra digagas KAS untuk dicalonkan. “Sebagai alumni saya harus membangun komitmen. Apalgi mas Fitra punya kans untuk jadi walikota. Jujur saja mas Fitra dalam perjuangannya terhadap kaum tertindas sudah teruji, “katanya.
Siswo juga mengaku sangat concern dengan sosok Fitradjaja Purnama. Selain sebagai senior. Fitra juga mentor dalam dunia pergerakan. Sehingga Fitra pernah diminta Siswo untuk memberikan advokasi soal tanah kas desa di Desa Urangagung, Sidoarjo. “Ini yang membuat saya tahu persis, sejauh mana perjuangannya, “ tandasnya.
Dasar yang dibuat penilaian keduanya memang sebuah kenyatannya yang ada. Sama-sama sebagai alumni bukan berarti memuji atau menyanjung. Dunia pergerakanlah yang menggerakkan mereka tetap membangun hubungan emosinal itu. Karena mereka sama-sama pernah merasakan pahit getirnya, ketika melakukan perlawanan terhadap sistem yang buruk.