Kebakaran hutan dan lahan telah berdampak pada kadar pencemaran udara juga berada pada kondisi terparah, berdasarkan data yang dirilis BNPB Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di beberapa Propinsi yaitu Jambi, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah sampai minggu pertama Oktober 2015 masih berada dalam kategori BERBAHAYA bagi manusia. Ini artinya kondisi udara tersebut yang dapat menyebabkan iritasi mata, batuk, dahak dan radang tenggorokan bahkan kematian. Walaupun sempat terjadi penurunan jumlah kadar asap beberapa hari namun potensi bencana yang ditimbulkan masih sangat mungkin terjadi kembali.
Korban sudah berjatuhan, menurut data BNPB bencana asap ini mengakibatkan sedikitnya 75 ribu jiwa(data 4/10) telah terjangkit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan sekitar 25 juta jiwa masyarakat yang berpotensi terpapar bencana asap, ini sangat potensial terjangkit ISPA secara massal jika tidak cepat diatasi.
Ditengah ketidakjelasan kapan berakhirnya bencana asap ini, akhirnya pemerintah pekan lalu (7/10) menyetujui untuk meminta bantuan Negara-negara tetangga Malaysia, Singapura dan Australia untuk membantu pemadaman api dengan pesawat khusus. Langkah yang dilakukan pemerintah patut diapresiasi , namun saat ini puluhan juta masyarakat yang telah 3 bulan lebih menghirup udara yang mematikan butuh kepastian dan tindakan yang cepat dan tepat.
PERMASALAHAN
Pertama, permasalahan utama yang dihadapi dalam penanganan bencana asap di Sumatera dan Kalimantan adalah kesulitan memadamkan api dalam waktu yang cepat. Hal ini disebabkan oleh kendala kondisi alam yang kurang mendukung, petugas dilapangan sulit mendapatkan sumber air dan cuaca yang kering serta luasnya wilayah yang terbakar. Selain itu sarana dan prasarana terutama pesawat dan helikopter khusus belum mencukupi karena luasnya sebaran titik-titik api.
Kedua, masalah kedua yang menjadi penghambat dalam pemadaman hutan dan lahan ini secara cepat dan tepat adalah lemahnya koordinasi antar lembaga terutama dalam penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran baik perusahaan maupun perorangan. Bebasnya para pelaku dari jeratan hukum menyebabkan kebakaran kembali berulang.
Ketiga, aspek kemampuan pemerintah daerah yang sangat minim dalam menangani pemadaman kebakaran hutan dan lahan sekarang ini. Hal ini disebabkan sumber daya yang terbatas secara kualitas dan kuantitasnya sehingga yang terjadi adalah ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Keempat, lambannya pemerintah pusat dalam merespon potensi resiko bencana yang bakal terjadi sejak awal. Padahal kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan ini telah terjadi sejak Februari 2015. Disini seolah-olah terjadi pembiaran oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.