1. Pandangan tentang Sifat Dasar Manusia:
Hobbes memiliki pandangan pesimistis tentang sifat dasar manusia. Menurutnya, manusia secara alami bersifat egois dan memiliki dorongan untuk mempertahankan diri serta memenuhi kebutuhan mereka. Dalam kondisi alami (state of nature), manusia hidup tanpa aturan, hukum, atau pemerintahan. Dalam keadaan ini, Hobbes menggambarkan kehidupan manusia sebagai penuh ketidakpastian, ketakutan, dan kekerasan. Ia menyatakan bahwa dalam kondisi alami, manusia hidup dalam keadaan perang (bellum omnium contra omnes), yaitu perang semua melawan semua.
Hobbes percaya bahwa tanpa kekuasaan yang mengatur, manusia tidak dapat hidup dalam harmoni. Dorongan untuk mempertahankan diri akan mendorong setiap individu untuk saling mencurigai dan bersaing demi sumber daya. Dalam kondisi ini, tidak ada keamanan atau stabilitas, karena setiap orang memiliki kebebasan penuh untuk melakukan apa saja demi kelangsungan hidupnya.
2. Teori Kontrak Sosial:
Hobbes mengajukan solusi untuk keluar dari kondisi alami yang penuh kekacauan melalui gagasan kontrak sosial (social contract). Ia percaya bahwa manusia, yang menyadari betapa berbahayanya hidup dalam kondisi alami, akan setuju untuk menyerahkan kebebasan individu mereka kepada otoritas yang lebih tinggi demi mendapatkan keamanan dan ketertiban.
Dalam kontrak sosial versi Hobbes, individu-individu secara sukarela memberikan sebagian besar hak alami mereka kepada penguasa, yang disebut Leviathan. Leviathan adalah simbol negara yang kuat dan berdaulat, yang bertugas menjaga kedamaian dan melindungi warganya. Penguasa ini memiliki kekuasaan absolut dan tidak dapat diganggu gugat, karena hanya dengan otoritas absolut, negara dapat menjamin stabilitas dan menghindari kembalinya kondisi alami.
3. Kedaulatan Absolut:
Hobbes mendukung gagasan bahwa penguasa harus memiliki kedaulatan absolut. Dalam pandangannya, kekuasaan yang terpecah-pecah atau terlalu lemah hanya akan memicu perselisihan dan memperburuk kondisi masyarakat. Hobbes percaya bahwa otoritas absolut diperlukan untuk memastikan kepatuhan warga negara terhadap hukum dan mencegah potensi konflik.
Namun, penting untuk dicatat bahwa menurut Hobbes, kedaulatan absolut ini bukanlah bentuk tirani. Penguasa, meskipun memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan melindungi kehidupan warganya. Jika penguasa gagal melaksanakan tugas ini, maka kontrak sosial dianggap batal, meskipun Hobbes tidak secara eksplisit memberikan ruang untuk pemberontakan.
4. Pandangan tentang Negara:
Hobbes menggambarkan negara sebagai makhluk buatan manusia yang berfungsi untuk mengendalikan dan mengorganisasi masyarakat. Dalam bukunya Leviathan, Hobbes menggunakan analogi bahwa negara adalah seperti monster laut raksasa yang melambangkan kekuasaan dan otoritas yang besar. Negara ini terdiri dari individu-individu yang bersatu melalui kontrak sosial, dan penguasa adalah kepala dari Leviathan tersebut.
Negara yang dibayangkan oleh Hobbes memiliki kekuatan penuh untuk menetapkan hukum, memungut pajak, dan memaksa ketaatan dari warganya. Hobbes juga percaya bahwa negara harus bersifat sekuler, artinya kekuasaan agama tidak boleh mengganggu atau menyaingi otoritas negara. Hal ini menunjukkan pandangannya yang pragmatis dalam menghadapi konflik antara otoritas keagamaan dan politik yang sering terjadi pada zamannya.
5. Hukum dan Keadilan:
Hobbes melihat hukum sebagai alat utama untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Dalam pandangannya, hukum adalah perintah dari penguasa yang harus ditaati oleh seluruh warga negara. Tanpa hukum, manusia akan kembali pada kondisi alami yang penuh konflik. Hobbes juga menekankan bahwa keadilan tidak ada dalam kondisi alami, karena keadilan hanya dapat eksis dalam masyarakat yang memiliki hukum dan otoritas.
Menurut Hobbes, keadilan adalah kepatuhan terhadap kontrak. Oleh karena itu, tindakan yang melanggar kontrak sosial dianggap tidak adil. Namun, keadilan ini bukan berdasarkan moralitas atau agama, melainkan semata-mata untuk menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat.
6. Hubungan antara Individu dan Negara:
Hobbes memandang hubungan antara individu dan negara sebagai hubungan timbal balik yang didasarkan pada kontrak sosial. Individu menyerahkan sebagian besar kebebasan mereka kepada negara, dan sebagai gantinya, negara bertanggung jawab untuk melindungi mereka dari ancaman internal maupun eksternal. Hobbes menekankan pentingnya ketaatan individu terhadap negara, karena tanpa ketaatan, otoritas negara akan runtuh dan masyarakat akan kembali ke kondisi alami.
Namun, Hobbes juga mengakui bahwa ada batasan dalam ketaatan individu terhadap negara. Jika negara tidak mampu melindungi individu atau bertindak sewenang-wenang sehingga menyebabkan kekacauan, maka kontrak sosial dianggap gagal. Dalam kasus ini, individu memiliki hak untuk mencari perlindungan lain, meskipun Hobbes tidak mengadvokasi revolusi secara eksplisit.
7. Pandangan tentang Agama dan Kekuasaan:
Hobbes hidup pada masa ketika agama memiliki pengaruh besar terhadap politik dan kehidupan masyarakat. Dalam Leviathan, ia menekankan pentingnya memisahkan agama dari kekuasaan negara. Hobbes percaya bahwa otoritas agama sering menjadi sumber konflik dan mengancam stabilitas politik. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa penguasa negara harus memiliki kendali penuh atas urusan keagamaan, sehingga tidak ada otoritas lain yang dapat menyaingi kekuasaannya.
Namun, Hobbes tidak menolak agama secara keseluruhan. Ia mengakui nilai-nilai agama sebagai alat untuk mendukung ketaatan kepada penguasa. Menurut Hobbes, agama dapat digunakan untuk memperkuat legitimasi penguasa dan mendorong warga negara untuk mematuhi hukum.
8. Relevansi Pemikiran Hobbes:
Pemikiran Hobbes tentang kekuasaan dan kontrak sosial memiliki relevansi yang signifikan dalam perkembangan teori politik modern. Gagasannya menjadi landasan bagi pandangan realis dalam hubungan internasional, yang menekankan pentingnya kekuatan dan otoritas dalam menjaga stabilitas. Hobbes juga dianggap sebagai pelopor dalam mengembangkan gagasan tentang negara modern, yang menekankan kedaulatan dan otoritas terpusat.
Namun, pemikiran Hobbes juga menuai kritik. Banyak yang berpendapat bahwa pandangannya tentang sifat dasar manusia terlalu pesimistis dan tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan. Selain itu, gagasan tentang kedaulatan absolut sering dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Meski demikian, pemikiran Hobbes tetap menjadi salah satu fondasi utama dalam filsafat politik dan terus dipelajari hingga hari ini.