Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Obrolan Gender dari Balik Warteg: Kisah Perempuan dalam Taksi

11 Januari 2012   05:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:03 2693 5

Sabtu 7 januari 2012. Tulisan ini sebenernya merupakan sebuah ketidaksengajaan saya. Pada hari itu saya baru saja pulang berkunjung dari sebuah acara pernikahan teman saya di cengkareng (Jakarta barat), tak disangka begitu sampai di bekasi hujan deras beserta angin kencang mengguyur bekasi, sehingga begitu turun dari angkot K-40 yang saya naiki mata saya langsung tertuju ke sebuah warteg yang biasa saya lewati jika saya menggunakan angkot untuk jalan pulang. Maka jadilah saya berteduh di dalam warteg tersebut. Dengan tergopoh-gopoh saya langsung masuk kedalam warteg, dan meminta izin untuk berteduh kepada wanita setengah baya yang saya pikir pemilik warteg tersebut.didalam warteg tersebut saya melihat ibu pemilik warteg , seorang laki-laki yang saya pikir pasti suami ibu pemilik warteg, seorang gadis muda pelayan warteg, serta seorang pelanggan yang sedang makan.

Saya agak terperanjat ketika saya mendapati satu-satunya pelanggan di dalam warteg tersebut adalah seorang pengemudi taksi perempuan. Kenapa?? Karena jujur saja saya merupakan salah satu yang sangat jarang menaikki taksi sebagai pendukung mobilitas saya sehari-hari (maklum kantong mahasiswa ), artinya saya sangat jarang melihat dan berinteraksi dengan pengemudi taksi (apalagi yang perempuan). nah disinilah Insting saya berbicara “Sepertinya akan ada obrolan menarik didalam warteg ini”, tentu saja bukan tanpa alasan insting saya berbicara seperti itu, saya yakin jika pemilik warteg tersebut akan mengajukan banyak pertanyaan kepada supir taksi perempuan tersebut. Bukan meremehkan tapi sebagai orang awam dan pemikiran yang tradisional, pasti pemilik warteg itu agak asing melihat keberadaan seorang wanita yang bekerja sebagai pengemudi taksi, dan jika saya lihat ada gesture dari sang pemilik warteg yang menginginkan adanya obrolan dengan supir taksi wanita tersebut. Karena pemilik warteg tersebut tidak berada ditempat dia yang seharusnya ( debelakang lemari makanan) tetapi berada dibangku pelanggan persis didepan (jika pengemudi taksinya duduk agak menyerong) pengemudi taksi perempuan itu. Maka untuk mengulur waktu, saya memesan segelas teh manis panas, serta membeli 2 batang rokok kretek agar saya mempunyai alasan berada lebih lama di warteg tersebut. Tanpa pikir panjang saya mengeluarkan hand phone saya untuk merekam moment tersebut, agar tidak dicurigai saya menampakkan gesture.seperti sedang mengetik SMS. Artinya dalam cerita ini saya hanya sebagai pendengar pasif sekaligus mengambil video dari obrolan ini.

Cerita ini di mulai ketika pengemudi taksi perempuan tadi menambah porsi nasi “ bu nasinya tambah setengah ya..sama telornya juga deh . dengan senyum pelayan warteg mengambil piring untuk kemudian mengisi piring tersebut dengan pesanan supir perempuan tadi. Sekilas saya juga melihat ibu pemilik warteg yang duduk di depannyapun tersenyum juga. Sadar dirinya jadi pusat perhatian dengan pesanannya tadi. Pengemudi taksi perempuan itu lalu menjelaskan kepada ibu warteg tadi jika itu adalah makanan pertama yang masuk ke perutnya hari ini sejak jam 03:30 pagi. Dari sinilah obrolan terus berlanjut. Ibu pemilik warteg mulai bertanya asal pengemudi taksi perempuan tersebut., dan didapatilah jika sopir wanita tersebut berasal dari salatiga (jawatengah). Lalu sambil melihat keluar warteg obrolanpun bergeser mengenai suka duka mengemudi dikala hujan. pengemudi taksi perempuan tersebut bercerita jika pada hujan yang sebelumnya mobilnya bahkan bergoyang akibat kencangnya angin pada waktu itu.

Hujan semakin deras, didepan warteg sebuah angkot K-40 memarkirkan angkotnya, untuk kemudian bergabung bersama kami didalam warteg, ternyata supir angkot tersebut sudah mengenal pemilik warteg beserta suaminya, karena supir angkot tersebut adalah langganan pemilik warteg bila berbelanja. Jadi peserta obrolan ini bertambah satu lagi. Obrolan ini sekarang mulai bergeser tema tentang jam operasional taksi serta berapa banyak pengemudi taksi perempuan dalam brand taksinya ??. pengemudi taksi perempuan menjawab jika jam operasional taksinya dari jam 12:00 hingga 08:00 karena perusahaan taksi tempatnya bekerja tidak memperbolehkan shift malam untuk pengemudi taksi perempuan, pengemudi taksi perempuan itu juga menjelaskan jika taksi yang dikemudikannya menggunakan system target sebesar Rp 450 ribu. System target ini memang saat ini banyak dipergunakan perusahaan taksi, perempuan itupun mau menjadi pengemudi taksi karena system target tadi, hal ini sempat saya dengar ketika pengemudi taksi perempuan ini menjelaskan kepada ibu pemilik warteg tentang keputusannya manjadi pengemudi taksi, “ wah kalo setoran repot bu, kalo perusahaan saya sistemnya target, makanya klo udah dapet Rp 450 ribu saya mendingan pulang,karena udah pasti dapet komisi” system target menurutnya mempunyai keunggulan berupa system komisi yang membuatnya tidak terlalu cape dan repot memikirkan uang setoran.

Obrolan kini mulai berlanjut, sang suami pemilik warteg beserta supir angkot mulai bertanya suka-duka menjadi supir taksi perempuan, lalu pengemudi taksi perempuan itu bercerita banyak dari pelanggannnya yang sering salah menyebut dirinya dengan panggilan pak ketika pelanggan tersebut masuk ke taksinya “ iya pak (ditujukan kepada suami pemilik warteg), banyak yang salah sebut, wajar aja pak kalo taksi saya ini satu pull (dengan jumlah 170 taksi) perempuannya Cuma 2 orang, jadi mungkin penumpang saya rada kaget ngeliat saya ” dia juga bercerita tentang tipe-tipe penumpang versi baik dan buruk ala dia. “ saya pernah narik penumpang dari pancoran ke bogor, yang allhamdulillah penumpangnya ngasih duit tol buat saya balik kejakarta, kan ada juga penumpang yang ngasih duit Cuma ongkos taksinya doang, nah duit tol buat balik ke jakarta bisanya kita ( supir taksi) yang nanggung,” . Obrolan dilanjutkan dengan tema tentang bagaimana Pull taksinya memberlakukan pembatasan trayek bagi semua pengemudinya, hal itu dilakukan guna menjaga supir dan armada taksi tersebut dari kejadian-kejadian yang tak dinginkan. “taksi saya ini Cuma boleh dibawa sampe bogor aja pak, tapi klo sampe cipanas juga juga wajib lapor ke PULL  dulu, klo dapet ijin baru deh saya tarik”.

Hujan mulai reda, pengemudi taksi perempuan itupun pamit, dengan menyerahkan uang sebesar Rp15000 kepada pemilik warteg sebagai harga yang harus dibayar atas menu yang ia santap, sambil memegang koran untuk menutup kepalanya pengemudi taksi perempuan  lalu mengucap kata permisi dan terima kasih kepada seluruh orang di warteg . Begitu pula saya dengan membayar harga teh panas saya sebesar Rp 2000 rupiah, saya juga pamit dari warteg tersebut.

It’s About Gender

Saya sendiri mencoba meramu kisah diatas dialam pikiran saya seperti sebuah ruang kelas dimana supir taksi tersebut menjadi seorang guru bagi muridnya (Ibu pemilik warteg dan suaminya serta pelayan warteg supir angkot) mengenai gender (walaupun saya agak kurang pintar dalam gender) . Secara tidak sadar pengemudi taksi perempuan tersebut memberikan pengetahuan tentang gender dari kacamata Nuture (peran social). Memang Nuture ini agak sulit diterima mengingat budaya timur kadang jadi “penghambat” nuture tersebut, banyak sekali institusi terutama nilai budaya, institusi agama, serta pendidikan yang menenggelamkan nuture para perempuan dalam ranah dogma dan mitos.

Dalam pendidikan sendiri rata-rata gender dipahami sebagai “bicara tentang perempuan” padahal gender sejatinya berbicara tentang laki-laki dan perempuan yang mengalami penindasan secara structural yang dititik beratkan pada pembagian peran, fungsi dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang dihasilkan dari konstruksi social (Nuture) yang mempunyai ciri-ciri:buatan manusia, tidak bersifat kodrat, dapat di rubah serta dapat di tukar. Namun memang di Negara kita penindasan itu mendera para perempuan.

Gender Dalam dunia pendidikan masih berjalan sangat lambat, Padahal setahu saya program pemerintah (Kemendikbud ) adalah menjadikan Suatu lembaga pendidikan (sekolah) yang memperhatikan secara seimbang kebutuhan spesifik untuk anak laki-laki dan anak perempuan, pada aspek akademik, sosial, lingkungan fisik, dan partisipasi masyarakat. Adapun factor utama yang membuat program gender berjalan lambat adalah dikarenakan banyak guru yang masih belum Responsif Gender, Masih adanya bias gender dalam buku ajar, Minimnya tenaga pendidik & kependidikan mengenali isu gender bidang pendidikan, Kurang tersosialisasinya gender disekolah. Serta masih banyak guru belum menguasai proses pembelajaran yang responsif gender.

Kisah diatas tadi juga menjadi pembuktian bahwa masih banyak dari masyarakat kita yang masih “menaikkan alisnya” ketika sekilas melihat perempuan dalam balutan profesi yang mereka anggap tidak wajar, walaupun akhirnya sang guru (pengemudi supir perempuan) berhasil membuat muridnya ( hadirin didalam warteg) menerima perannya dengan “lapang dada” berkat  adanya penyampaian yang rasional, serta pembuktian dari pengemudi taksi perempuan ini  jika perannya sebagai pengemudi taksi dapat dijalaninya dengan penuh tanggung jawab guna dapat menghidupi keluarganya

Mudah-mudahan kisah ini dapat menjadi inspirasi  bagi perempuan yang senasib dengan pengemudi taksi perempuan tadi, agar tak putus asa dan dapat berjuang dengan perannya di masyarakat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun