Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Sapi Betina dan Ibu Keramat

29 September 2010   17:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:51 368 0
Di antara hal paling keramat yang ada di dekat kita adalah ibu. Yang saya maksud di sini adalah ibu kandung kita sendiri, bukan ibu kota, ibu Negara atau ibu anggota dewan partai tertentu. Bang Haji Rhoma Irama mengabadikannya dalam karya monumental gubahan beliau, “dialah manusia satu-satunya…yang menyayangimu tanpa ada batasnya… Ridho Ilahi karena ridhonya… Murka Ilahi karena murkanya… bila kau sayang pada kekasih, lebih sayanglah pada ibumu…bila kau patuh pada rajamu, lebih patuhlah pada ibumu.” Charly ST 12 mungkin tinggal menunggu karya berikutnya. Atau sudah diciptakan, saya tidak tau. Keduanya sama-sama berdakwah dengan musik, kadang-kadang.

Pada masa kerasulan Nabi Musa AS seorang tua yang soleh. Ia hidup bersama istri dan seorang anak laki-lakinya yang masih kecil. Di akhir hayat orang tua itu berpesan kepada sang istri bahwa ia mewariskan kepada anaknya seekor sapi betina. Sapi ini tidak boleh digunakan kecuali untuk keperluan si anak kelak. Tidak seperti sapi pada umumnya ia membiarkan sapi itu lepas bebas di belantara hutan rimba. Sebelum melepaskan di sebuah hutan ia bermunajat.

“Ya Allah, saya titipkan sapi ini padamu untuk anak laki-lakiku hingga ia dewasa,” ucapnya khusyuk.

Seiring dengan berjalannya waktu sang anak bertambah dewasa selaras dengan berkembangan sapi di hutan yang semakin hari semakin besar. Jadilah sapi ini sapi yang paling gemuk, paling indah warnanya, paling cantik rupanya di belantara itu.

Sang ibu sekali waktu memberitahukan hal ihwal sapi betina warisan ayah kepada anak laki-lakinya. Anak laki-laki ini memang keturunan orang soleh. Daun jatuh tidak jauh dari pohonnya. Anak ini selalu berbakti kepada ibu. Setiap malam ia bagi waktu menjadi tiga bagian. Sepertiga untuk ibadah, sepertiga untuk istirahat dan tidur, sepertiga khusus untuk duduk di sisi ibunya kalau-kalau orang tuanya yang tinggal satu ini memerlukan bantuan. Jika pagi tiba ia pergi mencari kayu bakar ke hutan. Hasilnya ia jual ke pasar. Keuntungan dari menjual kayu bakar ia bagi menjadi tiga; sepertiga ia sedekahkan, sepertiga ia gunakan untuk keperluannya dan sepertiga khusus untuk ibunya. Demikian terus ia jalani hari demi hari untuk berbakti kepada ibu.

Suatu hari Ibu berkata kepada anaknya, “Juallah sapi warisan ayahmu itu. Kau pasti membutuhkan uangnya nanti. Juallah seharga tiga dinar dengan keridhoanku.” (Dinar adalah uang kepingan yang terbuat dari emas murni). Mendengar perintah ini sang anak langsung pergi ke hutan. Dengan cara yang biasa dilakukannya ia panggil sapi betina. Sapi yang sempurna itu datang kepadanya. Berangkatlah anak dengan membawa sapi ke pasar untuk di jual.

Tawaran pertama datang dari seorang laki-laki, “Berapa kau jaul sapi ini?”

“Tiga dinar, Tuan. Dengan keridhoan ibuku.”

“Saya beli dengan harga enam dinar dan tidak usah bilang ibumu. Bagaimana?” Tanya pembeli lagi.

“Saya hanya menjual dengan keridhoan ibuku,” kata anak laki-laki itu, “izinkan saya pulang untuk menanyakan harga tadi kepada ibuku.

Pergilah ia ke rumah menemui ibunya dan menceritakan tawaran yang terjadi.
“Juallah enam dinar dengan keridhoanku. Tidak lebih, tidak kurang,” fatwa sang ibu. Ia selalu mendengar fatwa umi, bukan fatwa mui.

Anak itu kembali ke pasar. Ia menemukan pembeli tadi masih menunggu. Sebelum anak itu berkata pembeli ini lebih dahulu membuka ucapan.

“Saya naikkan tawaran saya untuk sapi ini. Dua belas Dinar. Jangan lagi izin kepada ibumu! Sepakat?” kata pembeli.

“Jika kau beli sapi ini dengan emas seberat badannya, saya tidak akan menjualnya kecuali dengan ridho ibuku,” kata anak itu, “izinkan saya pulang untuk menanyakan harga tadi kepada ibuku.

Sampai di rumah, ibu yang keramat tersenyum pasti. Ia mendengarkan laporan anaknya. Ia berkata pelan, “Yang mengajukan tawaran kepadamu itu malaikat dalam rupa manusia. Ia diutus Allah untuk mengujimu. Kembali lagi ke pasar, Nak! Sampai di sana, katakan padanya apakah aku harus menjual sapi ini atau tidak.”

Sang anak kembali ke pasar untuk ke tiga kalinya. Pembeli tadi masih menunggu. Kali ini giliran sang anak membuka percakapan.

“Ibuku berpesan agar aku bertanya kepadamu, Haruskah sapi ini dijual atau tidak?” ujar anak itu.
“Katakan pada ibumu, tahan sapi ini. Jangan dijual hingga sekelompok orang dari kaum Nabi Musa membeli darimu.”

Sang anak kembali ke rumah. Pada waktu yang telah ditentukan datannglah sekelompok orang yang dimaksud mencari sapi betina. Mereka datang dalam keadaan lelah karena sulit menemukan sapi seperti yang diperintahkan Allah. Akhirnya sang anak menjual kepada mereka dengan emas seberat kulit sapi betina istimewa itu. Harga jual tertinggi berkat ketaatannya pada ibu.

Kisah ini merupakan alur tersendiri, namun masih terkait dengan kisah Bani Israil mencari sapi betina. Pencarian ini atas perintah Nabi Musa dengan jalan wahyu yang nantinya sapi betina itu disembelih untuk menghidupkan korban pembunuhan dari Bani Israil. Karena mereka terlalu banyak bertanya, maka perintah mencari sapi betina semakin berat. Sapi yang Allah perintahkan untuk disembelih adalah sapi betina dengan spesifikasi amat jarang ditemui. Untuk lebih lengkapnya silahkah membaca surat Al Baqarah : 67-71.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun