Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Sultan, Dualisme Kepemimpinan?

12 Oktober 2011   03:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:03 356 0
Suksesi kepemimpinan di Yogyakarta nampaknya akan menjadi agenda utama. Ibarat sinertron episode selanjutnya masih ada. Ada kelompok yang mendukung Sultan agar tetap menjadi Gubernur dan ada kelompok yang setuju sebaiknya dilakukan pemilihan untuk menentukan Gubernur dan Wakil Gubernur di Yogykarta. Kedua kubu cenderung menutup mata dan tidak melihat bagaimana posisi Sultan sebenarnya. Walaupun dalam Pisowanan sudah jelas, apa keinginan Sultan. Dan yang utama jangan jadikan Jogja yang berhati nyaman jadi komoditas politik, untuk menutupi ketidakbecusan pemerintah pusat.

Pergulatan politik di Daerah Istimewa Yogyakarta semakin memanas. Bagaimana tidak, hampir di setiap pojok Yogyakarta baik di angkringan, di pasar, maupun di kampus masyarakat membahas tentang siapa yang akan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur di Yogyakarta.

Berdasarkan berita terakhir alsan Sultan Ground dan Pakualaman Ground mulai di utik-itik. Terlepas dari itu semua, bagaimana posisi Sultan HB X ? Berdasar perkembangan sejarahnya Sultan HB X selain menjadi Sultan, Gubernur, dan sekaligus sebagai tokoh reformasi 1998.

Sebagai Raja Yogyakarta tentu Sultan bertugas melindungi rakyatnya dari segala keterpurukan yang dialami oleh rakyatnya. Sultan HB X seperti halnya para pendahulunya bertugas memimpin masyarakat Yogyakarta. Rakyat dalam hal ini juga tidak keliru kalau mereka ngotot untuk menjadikan Sultan sebagai Gubernur, bahkan sampai seumur hidup, walaupun itu ditolak Sultan."Buat apa tahta dan menjadi raja kalau tidak membawa manfaat bagi rakyatnya" (HB IX, Tahta Untuk Rakyat).

Tugasnya sebagai Gubernur juga tidak jauh berbeda, untuk melindungi dan membantu rakyat dalam mencapai kesejahteraan. Menjadi Gubernur berarti Sultan bukan lagi sebagai penguasa tunggal di Yogyakarta, tetapi harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat Jakarta. Maka dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan kelangsungan masyarakat Yogyakarta, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia harus berkoordinasi dengan pusat.

Sebagai Sultan dan Gubernur, HB X juga menjadi tokoh reformasi 1998 yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Tokoh lain misalnya, Amin Rais sudah menjadi Ketua MPR, Megawati menjadi Presiden, Sultan tetap kembali ke daerah dan tetap menjadi Sultan dan Gubernur. HB X sadar akan dualisme kepemimpinannya. Maka dengan disyahkannya RUUK dualisme itu dapat diakhiri.

Secara sadar, Sultan paham betul kalau ia tetap menjadi Gubernur dan Raja maka ia mengkhianati reformasi. Karena reformasi menjunjung tinggi demokrasi, berarti untuk mengetahui siapa Gubernur Yogyakarta harus diadakan pemilihan. Kalaupun ada kebijakan lain dari pemerintah pusat itu masalah lain. Memang ini situasi yang kompleks bagi Yogyakarta, bahkan sampai ada yang mengusung wacana referendum. Namun reaksi itu syah-syah saja karena pemerintah pusat dinilai terlalu lamban dan "AROGAN". Dan sebagai pemimpin tentu Sultan punya sesuatu yang dianggap bernilai oleh rakyatnya maka harus diperjuangkan.

Hendaknya dalam menanggapi persolan tersebut kedua kubu baik yang mendukung memilih Gubernur melalui penetapan atau yang setuju dengan pemilihan dapat melihat persolan ini dengan jernih, agar konflik fisik dapat dihindarkan. Semua demi kemajuan Yogyakarta yang kita cintai ini.

Sekaligus ini juga suatu contoh kasus yang menarik dan patut mendapat perhatian karena otonomi daerah yang diberlakukan oleh pusat bukan berarti "menyeragamkan" atau "penyeragaman". Karena berbeda masyarakat berbeda pula sistem politiknya. Elite di Jakarta harus belajar tentang itu semua...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun