Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Ria Ricis dan Peran Gender dalam Pernikahan

30 Mei 2024   11:35 Diperbarui: 30 Mei 2024   11:46 137 1
Belakangan di media sosial, salah satu publik figur Indonesia yakni Ria Ricis sedang ramai diperbincangkan. Isi surat gugatan cerainya kepada mantan suami memunculkan banyak perdebatan di media sosial. Salah satu isinya yang mengindikasikan sang suami kerap kali lebih membela ibunya sendiri dibandingkan Ria Ricis yang berstatuskan istrinya menjadi perhatian, banyak dari warga net terutama kaum perempuan yang kemudian bersimpati karena ternyata juga pernah merasakan hal serupa. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting tentang bagaimana peran gender dalam pernikahan dipahami dan dijalankan. Seringkali, ada ketidakseimbangan dalam memaknai peran suami sebagai anak dan suami sebagai pasangan hidup, yang akhirnya menimbulkan ketidakadilan dan konflik dalam rumah tangga.
 
Tidak dapat disangkal bahwa memang sejak dulu memuliakan ibu adalah kewajiban moral dan religius yang dipegang teguh oleh berbagai budaya dan agama. Dalam Islam, misalnya, kedudukan ibu sangat dimuliakan, bahkan Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa "surga berada di bawah telapak kaki ibu." Tradisi ini mengajarkan bahwa peran ibu dalam kehidupan seorang anak adalah fundamental dan harus dihormati dengan sebaik-baiknya. Namun, masalah muncul ketika penghormatan ini menjadi berlebihan sehingga mengorbankan peran istri dalam kehidupan seorang suami. Padahal di lain sisi, pernikahan adalah sebuah kemitraan yang seharusnya didasari oleh saling menghormati dan memuliakan antara suami dan istri.
 
Dalam konsep peran gender yang dikaji oleh Nur Aisyah, salah seorang pemerhati gender pada tahun 2013, konstruksi sosial budaya memang memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana peran gender dibagi dalam keluarga. Konstruksi ini bisa menciptakan relasi yang adil atau justru ketimpangan. Ketidakseimbangan dalam penghormatan dan peran antara suami, istri, dan ibu sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti penghasilan rumah tangga, nilai-nilai patriarkal yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan, perempuan yang lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak sering kali dianggap memiliki peran yang lebih rendah di luar tugas domestik, dan siapa yang memiliki posisi lebih menguntungkan dan mampu memaksakan negosiasi pembagian kerja rumah tangga sering kali meninggalkan pasangan jika negosiasi gagal. Kultur patriarkhi menempati urutan sebagai variable ke dua dalam memproduksi ketimpangan relasi gender, akan tetapi secara sadar maupun tidak, kultur patriarkhi telah memperteguh krontruksi perbedaan peran gender yang cenderung menguntungkan kaum laki-laki.
 
Padahal istri bukan hanya pelengkap dalam rumah tangga, tetapi juga partner sejajar yang berhak mendapatkan penghormatan dan kasih sayang yang sama seperti yang diberikan kepada ibu. Istri berkontribusi besar dalam berbagai aspek kehidupan keluarga, termasuk mendidik anak, mengelola rumah tangga, dan mendukung suami dalam berbagai kondisi. Ketika peran istri diabaikan atau tidak dihargai, keseimbangan dalam pernikahan terganggu, dan hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan dan konflik yang berkepanjangan. Ketidakseimbangan dalam memuliakan ibu dan istri sering kali berakar dari pemahaman yang salah tentang peran gender dalam pernikahan. Banyak suami yang merasa bahwa memuliakan ibu adalah bentuk kepatuhan yang tidak boleh diganggu gugat, sementara mereka menganggap peran istri lebih rendah atau kurang penting. Hal ini sering kali diperkuat oleh norma-norma sosial yang menempatkan ibu pada posisi yang sangat tinggi, sementara istri dianggap sekadar pelaksana tugas-tugas domestik. Pemahaman yang keliru ini menciptakan dinamika kekuasaan yang tidak seimbang dalam rumah tangga, di mana istri merasa kurang dihargai dan diabaikan.
 
Untuk mencapai keseimbangan dalam peran gender dalam pernikahan, pendidikan dan komunikasi yang efektif sangat penting. Pendidikan mengenai peran dan hak-hak dalam keluarga serta komunikasi yang terbuka antara suami, istri, dan ibu dapat membantu mengatasi masalah ini. Suami harus diberi pemahaman bahwa istri adalah partner hidup yang juga berhak mendapatkan penghormatan dan kasih sayang yang sama seperti yang diberikan kepada ibu. Di sisi lain, istri juga harus memahami pentingnya peran ibu dalam kehidupan suaminya dan mendukung suami dalam menjalankan kewajibannya sebagai anak. Fenomena suami yang memuliakan ibunya tetapi mengabaikan istrinya merupakan tantangan dalam mencapai keseimbangan peran gender dalam pernikahan. Memuliakan ibu adalah kewajiban yang sangat penting, namun hal ini tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan peran dan hak-hak istri. Suami harus mampu menyeimbangkan penghormatan kepada ibu dan kasih sayang kepada istri untuk menciptakan keharmonisan dalam keluarga.
 
Pendidikan mengenai peran dan hak-hak dalam keluarga serta komunikasi yang efektif antara anggota keluarga sangat penting untuk mencapai keseimbangan ini. Dengan memahami dan menjalankan peran masing-masing dengan baik, suami, istri, dan ibu dapat hidup dalam keharmonisan dan saling mendukung. Keluarga yang harmonis adalah pondasi bagi masyarakat yang kuat dan sejahtera. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan peran dalam keluarga dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan cara ini, kita dapat membangun keluarga yang kuat dan harmonis, serta masyarakat yang adil dan sejahtera.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun