Mohon tunggu...
KOMENTAR
Dongeng

[FFA] Hadiah Terindah

19 Oktober 2013   22:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:18 80 0

Liburan sekolah telah usai. Tahun ajaran barusebentar lagi dimulai. Dengan penuh semangat Hanu berangkat ke sekolah. Prestasinya tahun kemarin sungguh memuaskan. Dia menjadi juara pertama. Berkat belajar dengan tekun.

Sampai di kelas, anak-anak telah ramai. Hari pertama masuk sekolah anak-anak biasanya berangkat pagi-pagi sekali. Mereka berebut tempat duduk.

Hanu melihat teman-temannya bergerombol. Rupa mereka tengah mengerubuti Doni. Teman sebangkunya di kelas V itu tengah menjadi pusat perhatian.

“Lihat Hanu, Doni membawa mainan terbaru!” kata Anto menunjuk mainan yang tengah dibawa Doni.

“Bagus sekali, Don,” kata Hanu.

Seperti yang lain, Hanu juga takjub dengan mainan yang dibawa Doni.

“Tentu saja bagus. Ini harganya sangat mahal. Ayahku membeli mainan ini di kota,” kata Doni dengan bangga.

“Boleh pinjam?” pinta Hanu.

“Jangan!” sergah Doni. “Kamu belum bisa memainkannya. Nanti malahan rusak. Ini hadiah dari ayahku karena aku menjadi juara tiga kemarin.”

Hanu tampak kecewa. Tetapi ia hanya diam saja.

“Kamu sendiri mendapat hadiah apa dari ayahmu?” tanya Doni. “Kemarin kan kamu juara pertama.”

Hanu menggeleng. “Aku tidak mendapat hadiah apa-apa.”

“Sayang sekali,” kata Doni kasihan.

Hanu kembali terdiam. Tetapi dalam hati ia mulai berpikir, nanti sepulang sekolah ia akan meminta hadiah pada ayah. Doni yang juara tiga saja mendapatkan hadiah sebagus itu. Harusnya dia mendapat hadiah yang lebih bagus lagi. Karena dia kan yang juara pertama.

Sesampai di rumah, Hanu benar-benar meminta pada ayahnya untuk memberikan hadiah untuk prestasinya yang telah dicapainya. Tetapi ayah menolaknya.

“Ayah tidak punya uang lebih untuk membeli hadiah, Nak,” kata Ayah.

Serta merta Hanu menjadi kecewa.

“Tapi Yah, Doni yang juara tiga saja mendapat hadiah dari ayahnya. Masa aku yang juara satu tidak mendapat apa-apa,” sungut Hanu.

“Nak, ayah Doni kan orang kaya. Mereka memiliki banyak uang. Sedang uang Ayah tidak banyak. Hanya cukup untuk makan,” terang Ayah.

Hanu terdiam. Ia sangat kecewa dengan jawaban ayahnya. Padahal tadinya ia berpikir Ayah akan mengabulkan permintaannya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

“Kalau kamu menginginkan sesuatu kamu harus menabung dulu, Nak,” kata Ayah lagi.

Hanu berlari ke dalam kamar. Ia sungguh kecewa dengan perkataan ayahnya. Ia merasa prestasinya tidak dihargai oleh ayahnya.

“Hanu,” terdengar ketukan di pintu kamarnya.

Tetapi Hanu diam saja. Ia pura-pura tertidur. Perasaannya sungguh kesal.

“Ayah berangkat kerja dulu, ya,” kata Ayah dari luar kamar.

Hanu tak menyahut. Dari jendelanya yang terbuka, Hanu melihat ayahnya berangkat menjajakan bakso keliling kampung. Ayah Hanu seorang penjual bakso keliling. Tiap sore hari Ayah berjualan. Kadang pulangnya sampai larut malam. Tergantung banyak atau tidaknya orang yang membeli dagangan ayah. Jadi penghasilan ayah juga tak menentu.

Bahkan pernah suatu kali ayah pulang dengan tangan hampa karena baksonya tidak laku. Saat itu sedang musim hujan. Orang-orang enggan keluar rumah untuk membeli bakso. Hanu sampai kasihan melihat ayah. Sudah basah kehujanan, uang pun tak dapat.

Capek dengan kekesalan hatinya, Hanu pun tertidur. Tengah malam Hanu terbangun karena merasa perutnya lapar sekali. Tadi sore ia belum sempat makan. Maka Hanu keluar dari kamarnya untuk mencari makanan.

Ruang tamu masih benderang. Hanu menengok jam dinding. Pukul dua belas malam. Kenapa lampu masih menyala?

Hanu terus melangkah. Di meja makan Hanu melihat ibu. Beliau terkantuk-kantuk di kursi.

“Bu,” Hanu menggoyang-goyang bahu ibunya.

“Ada apa?” Ibu tampak kaget. “Eh, Hanu. Kenapa kamu terbangun?”

“Hanu lapar, Bu,” katanya.

“Tentu saja kamu lapar. Kamu belum makan sore tadi. Ibu ketuk-ketuk kamarmu, kamu tidak mendengar. Duduk dulu, biar ibu ambilkan makanan. Mudah-mudahan sayurnya belum basi,” kata ibu beranjak ke dapur.

“Ibu sendiri kenapa tidur di sini?” tanya Hanu.

“Ibu menunggu Ayah,” kata ibu seraya mengangsurkan piring kepada Hanu.

“Ayah belum pulang?” tanya Hanu keheranan.

Ibu menggeleng. Tidak biasanya Ayah berjualan sampai tengah malam. Paling malam Ayah pulang jam sepuluh.Tapi kini sudah jam dua belas.

“Ayah kenapa ya, Bu?” tanya Hanu cemas.

“Entahlah. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan Ayahmu.” kata Ibu. Ia berusaha menyembunyikan kecemasan di wajahnya. “Sudahlah, kamu makan saja dulu.”

Mendadak rasa lapar Hanu sirna. Berganti dengan rasa cemas luar biasa. Iateringat dengan keinginannya tadi sore untuk mendapatkan hadiah atas prestasinya. Jangan-jangan Ayah berdagang sampai larut untuk mengumpulkan uang lebih agar bisa memberikan hadiah yang Hanu minta. Kasihan ayah, desis Hanu.

Selama ini Ayah bekerja keras membanting tulang sampai larut malam untuk keluarganya. Semata-mata demi mewujudkan kasih sayangnya pada Hanu. Kenapa pula ia masih membebani Ayah dengan keinginan yang tak penting seperti itu? Dalam hati Hanu merasa menyesal.

Tiba-tiba terdengar suara gerobak memasuki halaman. Sontak Ibu dan Hanu lari menghambur keluar. Memang benar itu gerobak Ayah.

“Ayah!” seru Hanu menyongsong Ayahnya. “Kenapa pulang sampai larut?”

Ayah tersenyum. Diusapnya kepala Hanu dengan penuh kasih sayang.

“Ayah mendapat panggilan di acara hajatan. Alhamdulillah, dagangan Ayah laris malam ini,” kata Ayah tersenyum.

“Hanu cemas karena Ayah tidak pulang-pulang,” kata Hanu.

“Ayah kan harus mencari uang lebih. Katanya kau ingin hadiah. Alhamdulillah, Ayah mendapat banyak uang malam ini. Jadi besok kita bisa membeli hadiah yang kau inginkan,” kata Ayah.

Hanu menggeleng, “Hanu tidak mau hadiah apa-apa.”

“Kenapa?” Ayah keheranan. Bukankah tadi sore Hanu ngambeg gara-gara keinginannya untuk memperoleh hadiah tidak terkabul? Kenapa sekarang ia menolak?

“Hanu tidak mau hadiah seperti milik Doni. Kasih sayang yang Ayah dan Ibu berikan merupakan hadiah yang paling indah yang Hanu terima. Hanu tidak ingin apa-apa lagi,” katanya sambil memeluk ayah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun