Hati itu tidak bisa dipaksa. Mau ditekan bagaimana pun, senang ya senang, susah ya susah. Rasa yang hadir tidak bisa dipesan sesuai kehendak. Rasa itu unik, dan terkadang membingungkan.
Kalau berbicara rasa, tentu tidak sedikit cerita yang bisa diungkap. Ada jutaan kata yang bisa melambangkan rasa, tetapi tiada satu pun huruf yang benar-benar mewujudkan rasa itu. Himpunan alpabet terlalu miskin untuk memvisualisasi rasa.
Sama dengan apa yang dirasakan oleh insan sekarang ini, terlalu banyak pilihan di depan mata. Memilih untuk maju atau diam di tempat, bukanlah sebuah perkara mudah.
Adakalanya seseorang ringan saja melangkah ke depan. Tetapi tidak sedikit yang keberatan, karena ada rasa yang ditanggung sebagai beban. Menepikan rasa untuk kepentingan semata tidaklah mudah. Ada gejolak hati yang harus dilawan.
Kebaikan itu harus diatas segalanya. Tidak boleh tercampur oleh berbagai noda dan kotoran dosa. Begitu pun rasa, ia harus suci dari debu-debu pesimisme.
Untuk mendapatkan kemenangan melawan dilematis, perlu perjuangan yang berat. Kekuatan harus diperjuangkan, dan perjuangan memerlukan pengorbanan.
Waktu yang tersita, tenaga yang terkuras, pikiran yang terngiang-ngiang hingga ke dalam sanubari, merupakan wujud pengorbanan untuk memenangkan hati, agar siap menghadapi ujian hidup.
Melatih mental sekuat baja, tidak seperti memanaskan kopi di dapur senja. Membangun karakter kuat nan berani, bukan perkara mudah, layaknya memainkan seutas tali dibalik kain sutera.
Ada mahar yang harus ditunaikan, ada jiwa yang harus menunaikannya. Lagi-lagi, ini adalah soal pilihan hidup. Bergerak maju, atau diam menunggu.
Hingga harus engkau pilih satu diantara dua, pilihan yang terbaik untuk rasa, juga baik untuk kehidupan.