Tulisan ini bukan sindiran ataupun perintah paduka pada hamba. Kenyataannya memang begitu, kaum muda akan menjadi sapi perah bagi tetua malas yang enggan belajar.
Peristiwa ini terjadi di kota-kota besar. Kelompok muda dan perkumpulan tetua terlihat sekali perbedaannya. Sebut saja di kantor, para senior, atau mereka yang sudah menghantui gedung sekian tahun, malas berkreasi terhadap perubahan zaman.
Agar perusahaan tetap bergerak, omset meningkat, pengeluaran minimalis, menjadi beban kaum muda. Seolah-olah keberhasilan hari esok ditentukan dari keringat pemuda yang mengucur deras dari kening hingga sekujur tubuh.
Pejabat di kantor plat merah juga demikian. Pegawai baru yang belum merasakan panasnya kursi, sedemikian rupa disetting menjadi babu kantor. Layaknya seorang hamba, tak jarang mereka melayani pekerjaan para senior itu. Bahkan, kepentingan di luar kantor ikut masuk dalam rangkaian pekerjaan pemuda.
Ayolah, kawan. Zaman perbudakan sudah lepas sekian abad lalu. Bukan berarti pemuda yang freshgraduate ini boleh engkau main-mainkan.
Wajar saja jika pemuda enggan berkontribusi lebih di masyarakat. Mereka seringkali dimanfaatkan, bukan diberdayakan. Alasan tetua, sebab mereka masih muda dan harus berkarya. Sementara yang tua, hanya diam saja menunggu malaikat pencabut nyawa.
Suatu organisasi saling membutuhkan kedua generasi. Tetua dengan pengalaman hidupnya, pemuda dengan kamus pengetahuannya. Kombinasi keduanya tentu akan melahirkan peradaban manusia yang berkemajuan, unggul dan beradab.
Tetapi, tidak semua angan tersebut berjalan mulus. Terkadang masih ada pula tetua kampung yang enggan melakukan perubahan. Mereka terjebak dalam retorika hidup yang sederhana.
Silakan saja tuan puan hendak begitu. Tetapi ingat, pemuda bukan budak ataupun babu. Mereka adalah cerminan masa depan bangsa.Â