Kasus Sorbatua Siallagan, seorang pemimpin komunitas adat Ompu Umbak Siallagan, yang terjerat dalam sengketa lahan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), adalah contoh nyata dari konflik yang sering terjadi antara hukum agraria dan hak masyarakat adat di Indonesia. Sorbatua dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar karena dituduh menduduki lahan yang merupakan konsesi TPL, meskipun tanah tersebut telah dikelola oleh komunitasnya selama lebih dari 11 generasi. Kasus ini tidak hanya menyoroti ketidakadilan dalam sistem hukum agraria, tetapi juga mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam mempertahankan hak mereka atas tanah yang telah mereka kelola selama ini. Hukum agraria di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak atas tanah bagi rakyat dan mengatur penguasaan serta pemanfaatan sumber daya alam. UUPA mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat, tapi pada kenyataannya pengakuan ini tidak diterapkan secara konsisten. Masyarakat adat seperti Ompu Umbak Siallagan sering kali tidak memiliki sertifikat resmi atas tanah yang mereka kelola, membuat tanah mereka mudah di klaim perusahaan besar. Kasus ini menunjukkan bagaimana hukum agraria dapat digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat. Pengadilan memutuskan bahwa hak TPL atas lahan lebih kuat daripada hak masyarakat adat, meskipun ada bukti bahwa masyarakat adat telah mengelola tanah tersebut secara turun-temurun.
KEMBALI KE ARTIKEL