Inspirasi judul ini berawal ketika terjadi kecelakaan yang menimpa salah satu dosen kami di sekitar kalasan, jogja. Dosen kami menuturkan bahwa sepulangnya dari Kab. Gunung Kidul untuk mengecek persiapan Ujian Nasional 2012 siswa SMA disalah satu sekolah swasta. Kecelakaan tersebut terjadi tgl 14 April 2012 sekitar pukul 16.00 WIB mengakibatkan patah tulang iga sehingga harus dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Untuk memastikannya, dosen kami dibawa oleh warga ke Rumah Sakit terdekat untuk di beri tindakan medis. Namun, setelah diberitahu bahwa untuk menyembuhkan patah tulangnya harus di operasi, ia malah menolaknya dan lebih memilih ke sangkal putung untuk diobati secara tradisional. Meskipun ia seorang dosen yang setiap hari berkutat dengan civitas akademik kampus, namun tingkat kepercayaan terhadap pengobatan tradisional lebih tinggi dari pada pengobatan yang ilmiah seperti operasi.
Fakta diatas menggambarkan bahwa warisan metode pengobatan yang dimiliki bangsa ini sangat besar. Kepercayaan publik terhadap tindakan “irasional” menjadi alternatif ketika kehadiran ilmu kedokteran cenderung mahal dan rumit. Adigium yang sering digunakan biasanya, orang miskin dilarang sakit. Namun, ini realitas yang sudah menjadi kesepakatan publik, bahwa pengobatan tidak mesti harus ilmiah namun juga alamiah.
Hal ini mungkin tidak berlaku pada salah satu profesi ini, “sangkal putung”. Profesi yang tak pernah dicari orang, namun kehadirannya sangat dibutuhkan. Ini saya alami, ketika harus mengantarkan dosen saya ke salah satu pengobatan alternatif di daerah Pantai Baron, Gunung Kidul. Meski waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB akan tetapi itu tak menjadi halangan meskipun harus kesasar ditengah hutan. Dalam Majalah Warisan Indonesia Vol.01 No.12, dikatakan bawah telah ratusan tahun keahlian menyambungkan tulang patah ini dikuasai terapis di Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, ataupun Cimande, Sukabumi, Jawa Barat. Kini, sangkal putung menyebar ke kota-kota besar di Nusantara.
Profesi Warisan
Ada yang menarik dalam profesi ini, menurut penuturan ahli tulang yang kami kunjungi, bahwa profesi ini merupakan profesi warisan atau turun temurun. Bagi penulis, ada kemungkinan keahlian itu bersifat “klenik” yang tak perlu di ilmiahkan. Ibarat Tuhan, yang tak perlu dicarikan kebenaran ilmiahnya. Kebenaran yang mutlak, sehingga tak perlu dipertanyakan. Seperti yang di ungkapkan Buya Hamka, ketika harus menghadapi kaum intelektual hasil pendidikan belanda yang merasa dirinya istimewa, mencoba untuk merasionalisasikan “kebatinan”. Namun sebenarnya apa yang dianutnya atau difahami nya itu pun belum tentu rasional.
Mula nya, apa yang dilakukan oleh ahli tulang ini bagi penulis sangat tidak rasional. Akan tetapi, ketika dijelaskan ternyata nuansa akademiknya sangat kental. Bahkan mereka faham betul apa bagian-bagian yang ada dalam tulang manusia. Tak heran jika banyak kaum intelektual lebih memilih pengobatan tradisional (alternatif), selain tidak ada istilah malpraktek, di sisi lain pengobatan ini akrab dengan kelas menengah ke bawah. Mungkin, di Barat pengobatan ini dianggap menyesatkan, karena perbedaan kultur yang mencolok.
Hari ini, kapitalisme berwujud pengobatan ilmiah ternyata cukup menyita keprihatinan. Masyarakat miskin sulit untuk mengakses karena biaya nya cukup mahal. sangat mafhum, ketika biaya pendidikan kedokteran pun harus dibayar tinggi oleh mahasiswa. Sehingga, negosiasi pasar pun menjadi pembenaran. Moderenisasi yang tidak diimbangi dengan empati (rasa) akan menyesatkan akal manusia. Dominasi kekuasaan “uang” menjadi ancaman keberlangsungan peradaban manusia.
Kelompok-kelompok pengobatan ini menjadi benteng terakhir warisan leluhur bangsa Indonesia. Sejak zaman Kerajaan dulu, pengobatan ini sangat terkenal, mungkin “ilmu rawa rontek” yang selama ini kita kenal dalam film kolosal itu merupakan bagian didalamnya. Dengan penuh keluwesan dan ketenangan jiwa, ahli tulang ini berikhtiar untuk membantu sesama, meski hanya bermodal pengalaman, namun bagi mereka pengalaman itu adalah guru terbaik. Tak pernah mengenal waktu, siapa pun yang hendak meminta bantuan pengobatan, ia layani dengan senang hati. Nuansa non-materialisme sangat jauh dari kehidupan mereka, dengan kebersahajaannya lah mereka diterima oleh semua kalangan. Sungguh, ini merupakan budaya asli Indonesia. Budaya tanpa ada motif kekuasaan dan kepentingan.
Ini yang kemudian penulis sebut sebagai pekerjaan yang tak pernah ada lowongannya. Karena, memang tak semua orang memiliki “kelebihan”. Ketika ada perusahaan yang suka dan gemar membuka lowongan pekerjaan berarti itu isyarat adanya akumulasi kapital yang sedang dibangun. Mengumpulkan pundi-pundi demi membangun kerajaan duniawi dengan memeras keringat sesama kaumnya. Sangkal putung bukanlah sebuah komoditas pasar yang di produksi, namun sebuah nilai yang sengaja dihadirkan untuk membantu sesama. Pengobatan yang tak mengenal dominasi kelas dan realitas peradaban yang pernah ada di masa lalu. Super sekali.
AML, 24 April 2012, pukul 04.00 WIB