Sempat kaget ketika penulis sedang asik menulis artikel kompasiana “Negara ini lagi galau kang...^_^”tiba-tiba datang Ibu Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Delegasi Indonesia Bidang HAM di Organisasi Kerjasama Islam baca: OKI) mengajak penulis untuk menghadiri undangan Konsultasi Masyarakat Sipil Agenda Advokasi HAM ASEAN dan OKI di Treatikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga selama 2 hari kedepan.
Forum ini ternyata diikuti oleh berbagai Lembaga Sosial Masyarakat baik tingkat lokal sampai nasional. Perjumpaan dengan mereka membuat penulis semakin peduli dengan berbagai persoalan HAM yang sedang dihadapi bangsa ini. Seiring meningkatnya keterlibatan Indonesia dalam mekanisme HAM regional ASEAN dan Multilateral Organisasi Kerjasama Islam (OKI), indonesia telah menjadi aktor penting dalam pembangunan dan pemajuan HAM tersebut.
Salah satu persoalan yang penulis ajukan mengenai persoalan Transgender yang masih belum tuntas. Upaya yang dilakukan oleh para aktivis untuk memperjuangkan hak minoritas tidak semudah yang dibayangkan. Temuan dari Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas perempuan, bahwa Persoalan utama yang dihadapi adalah Agama. Kemudian dijelaskan bahwa Penafsiran ajaran agama yang mendiskreditkan kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender)sangat sulit untuk diubah sehingga stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap LGBT mendapatkan pembenaran dari masyarakat. Karena, Kelompok LGBT ini menganggap bahwa konstruksi sosial itu bukan hanya gender, namun juga seks/jenis kelamin, orientasi seksual maupun identitas gender adalah hasil konstruksi sosial.
Jika kita lihat australia, negara tersebut memperolehkan Visa berjenis kelamin ‘X’, di Pakistan transgender diperbolehkan untuk mendapatkan pekerjaan, di Thailand pun sudah memperbolehkan transgender bekerja sebagai pramugari. Hal tersebut tentu melewati proses negosiasi yang panjang melihat transgender masih menjadi barang tabu di masyarakat. Misalnya di Indonesia, transgender masih dianggap sebagai kelainan. Data dari Komnas perempuan, bahwa seksualitas menurut pandangan masyarakat indonesia bersifat ‘terberi’ sehingga tidak dapat diubah. Pandangan tersebut mendapatkan legitimasi dari ajaran agama maupun budaya sehingga kelompok orang yang seksualitasnya tidak sejalan dengan konsep tersebut (kelompok LGBT) dianggap sebagai abnormal, mendapatkan perlakuan buruk baik dalam bentuk diskriminasi maupun kekerasan.
Lebih jauh lagi, tafsir agama yang tidak berpihak pada kelompok LGBT tersebut mendapatkan pengesahan dari negara melalui aturan hukum seperti pada UUPerkawinanyangtidak mengakuiperkawinansejenis.Persoalan tersebut penulis utarakan dalam kesempatan yang mulia tadi, mengingat hal ini merupakan kesempatan untuk sedikit menyuarakan hak minoritas yang masih terpasung. Kita tunggu terobosan bagi OKI dalam membangun peradaban HAM dan Kemanusiaan di dunia Muslim Kontemporer, terutama tak kala OKI semakin memberikan pengaruhnya dalam diskursus di tingkat Global (PBB). Karena keyakinan penulis, Tuhan tak pernah salah menciptakan sesuatu. Wallahu A’lam bi shawab.
Senja hari di Sapen, 18.25 WIB. 10.02.2012