Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Tiga Cerita

13 November 2012   08:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:29 138 0
Orang yang mengerti agama belum tentu mempraktikan ilmu yang dimiliki. Sebaliknya, bisa jadi, orang yang belajar sedikit tentang agama akan memegang teguh ajarannya dan mempraktikan atas ilmu yang didapatkannya. Ilustrasi inilah yang bisa dijadikan cermin untuk melihat Kementerian Agama saat ini. Menurut hasil survey Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian tersebut menduduki peringkat terbawah dalam indeks integritas dari 22 instansi pusat yang diteliti, yaitu hanya 5,37. Menurut wakil Ketual KPK M Jasin, rendahnya angka indeks integritas tersebut menunjukkan bahwa masih banyak praktis suap dan gratifikasi dalam pelayanan publik (Kompas, 29/11/2011). Dengan demikian, Kementerian Agama dan para pemegang kebijakan di dalamnya masih belajar tentang agama ketimbang bagaimana beragama sesuai dengan cerminan agamanya.

Terkait dengan itu, meskipun kurang terlalu berkait, saya jadi teringat dengan cerita teman-teman saya dan dari teman ke teman bagaimana “susah” dan “gampangnya” untuk melamar CPNS di Kementerian Agama (Selanjutnya disingkat KEMENAG), entah menjadi dosen, praktisi, ataupun bidang administrasi. Dikatakan susah karena tidak semua orang bisa diterima untuk menjadi abdi Negara di KEMENAG. Selain harus bersaing dengan ribuan orang Indonesia lainnya, kerapkali mereka harus berhadapan dengan sistem administrasi “tebang pilih” dalam tahapan seleksi administrasi pendaftaran. Kalaupun sudah sampai pada tahapan wawancara, mereka juga harus berhadapan dengan orang-orang pesanan yang berada di dalamnya. Dikatakan gampang apabila kita memiliki sejumlah orang penting di dalam Kementerian Agama yang memudahkan kita melangkah ke tahapan selanjutnya hingga sampai terpilih menjadi calon abdi Negara. Namun, ada juga kondisi tahapan gampang-gampang susah dan susah-susah gampang. Di sejumlah daerah, ada teman-teman saya yang murni masuk CPNS KEMENAG karena jerih payahnya bersaing dengan ribuan calon abdi Negara lainnya. Mereka berjuang tanpa jaringan orang dalam, tanpa dukungan orang penting dalam Kementerian Agama, dan tanpa ideologi besar organisasi kemasyarakatan Islam di belakangnya, serta tanpa kucuran uang jutawan yang mesti dikeluarkan. Mereka inilah orang-orang yang benar-benar percaya bahwa rejeki memang di tangan Tuhan.

Di bawah ini saya akan memberikan tiga cerita bagaimana proses dinamika aplikasi lamaran CPNS yang dialami oleh teman-teman saya dan ataupun temannya teman saya terkait dengan relasi orang dalam, dukungan orang penting, dan ataupun ideologi ormas Islam yang menjadi penentu dan penghalang gagal/suksesnya seseorang diterima di Kementerian Agama. Memang, cerita di bawah ini sangat subyektif dan tidak bisa merepresentasikan dari proses penerimaan CPNS di KEMENAG secara keseluruan. Ini karena, banyak dari orang-orang yang jujur dengan semangat membangun negeri dan agama mendaftarkan diri dengan murni, tanpa embel apa-apa, juga keterima. Dus, ini adalah narasi subyektif saya tentang teman saya dan temannya teman saya.

Cerita Pertama

Sebut saja namanya Si Upin. Ia seorang intelektual muda yang produktif menulis di media massa dan kerap menjadi pembicara mengenai satu ilmu yang di dalaminya. Satu saat, ia mendapatkan tawaran untuk mengajar di sebuah Perguruan Tinggi Islam Negeri A. Untuk mengasah kemampuan mengajarnya dan berharap bisa menjadi dosen tetap di Perguruan Tinggi Islam Negeri tersebut, ia pun mengajar selama dua semester. Satu tahun genap menjadi dosen, ia mendengar bahwa KEMENAG sedang membuka lowongan. Kebetulan, Perguruan Tinggi tersebut membuka formasi yang sesuai dengan keahliannya. Ia lalu mendaftarkan diri. Tahapan demi tahapan ia lalui dengna lancer, hingga sampai pada ujian terakhir, yaitu wawancara. Setelah menunggu selama beberapa bulan, hasil pengumuman pun keluar.

Tak di sangka Si Ipin keterima dalam formasi CPNS yang diinginkan tersebut. Tapi, setelah diamati secara seksama hasil dari pengumuman tersebut, namanya tidak tercantum dalam perguruan tinggi di pula Jawa yang diinginkan. Lewat Surat Keputusan KEMENAG, namanya terlempar jauh di Ujung Sumatera. Ia tidak terima. Ia mengadu ke bagian administrasi penerimaan CPNS. Dengan enteng, pegawai yang dihubunginya hanya bilang, “Mas mesti bersyukur. Sudah untung keterima. Coba yang lain, belum tentu keterima”. “iya, tapi kan prosedurnya tidak seperti ini, saya daftar CPNS bukan di ujung Sumatera melainkan di pulau Jawa!” ungkapnya marah. Persoalan yang dialami bukan ditangani dengan baik, malah di lempar seperti pingpong. Si Upin lalu menyerah.

Setahun kemudian, ia mendaftarkan diri kembali dalam pertarungan perebutan jatah kursi CPNS di Perguruan Tinggi Islam Negeri di tempat yang berbeda. Ia berjuang keras belajar mati-matian terkait dengan soal-soal yang diujikan. Ia bersyukur tahapan administrasi telah dilewati dengan baik. Namanya tercantum untuk mengikuti ujian tulis. Selang beberapa minggu usai mengikuti ujian tulis, hasilnya pun diumumkan. Akh, betapa kaget dirinya. Namanya tidak tercantum dalam daftar peserta ujian CPNS. Ia tak diam. Ia lalu melaporkan terkait namanya yang tercantum dalam pengumuman tersebut ke Kementerian Agama. Salah satu pegawai yang menerima keluhannya memberitahu bahwa namanya sudah tercantum di Perguruan Tinggi Islam Ujung Sumatera. Dengan demikian, ia tidak boleh untuk mendaftarkan diri sebagai calon abdi Negara.

Pernyataan ini sungguh membingungkan dan menggelisahkan Si Upin. Bagaimana bisa ia diterima sebagai dosen di Ujung Sumatera, sementara ia sendiri tidak memasukan aplikasi persyaratan yang diminta. Dengan tidak memasukan aplikasi berarti namanya sudah dianggap gugur dan diganti dengan calon berikutnya. Sebagaimana ia sendiri pernah konfirmasi kepada salah satu pegawai dalam proses aplikasi lamaran CPNS sebelumnya.Ia lalu mencoba menghubungi kembali pegawai yang terkait dengan proses administrasi penerimaan CPNS. Tapi, tetap jawabannya samar dan membuat dirinya merasa dipermainkan. Akhirnya, lagi-lagi Si Upin menyerah sambil mengutuki Institusi yang berlabelkan atas nama agama tersebut.

Cerita Kedua

Panggil saja namanya Ipin. Ia lulusan dari Pascasajarna Sebuah Perguruan Tinggi Islam ternama di Jawa. Ia juga pernah kerja di sebuah yayasan yang berhaluan hijau di Jakarta. Dengan penuh semangat, ia mendaftarkan diri sebagai dosen di salah satu perguruan Tinggi Islam di daerah Jawa. Satu persatu ujian ia lewati dengan baik hingga sampai tahap wawancara. Tahap wawancara ini hanya tinggal dua orang; ia dan orang lain sebagai lawannya. Jedah sebulan, hasil tes seleksi diumumkan. Akh, betapa kecewa dirinya. Namanya tidak tercantum sebagai orang yang terpilih sebagai dosen tersebut. Ia tak patah arang. Ia menghubungi dan bertemu dengan orang-orang penting di Jakarta untuk bisa mempengaruhi keputusan tersebut. Dukungan orang penting di Jakarta ternyata tidak mengubah keputusan sebuah perguruan tinggi di Jawa tersebut. Bahkan, perguruan tinggi tersebut sempat memohon untuk tidak mendesak keputusan yang sudah dibuat.

Bagi Ipin, barangkali, ini adalah satu-satunya harapan yang bisa ia lakukan untuk diterima sebagai dosen dalam bendera Kementerian Agama. Ia pun tetap melakukan negosiasi dengan orang-orang Jakarta untuk mendapatkan dan diterima dalam formasi yang dibutuhkan dalam Kementerian Agama. Selang beberapa bulan, saya mendapatkan kabar dari seorang teman bahwa Si Ipin telah diterima sebagai dosen di Perguruan Tinggi Islam yang berada di samping Jakarta. Dalam hati saya bertanya, “bagaimana bisa orang yang sudah tidak diterima di sebuah perguruan tinggi tempat ia melamar CPNS lalu diterima di Perguruan Tinggi Islam yang berbeda dengan formasi tahun yang bersamaan”. Dengan demikian, “kemungkinan, ada orang yang dilempar dalam formasi dosen di perguruan tersebut, tempat di mana Si Upin tidak melamar”. Sebagai seorang teman, saya hanya memberikan ucapan selamat sambil berbicara lirih dalam hati, “tidak bisa dibayangkan kalau orang yang terlempat itu adalah saya”.

Cerita Ketiga

Tidak dipungkiri, setiap institusi dan ataupun perusahaan selalu memiliki kriteria khusus terkait dengan calon pegawai yang akan diterima. Kriteria ini terkait dengan kecakapan, keahlian, dan  kesesuaian bidang kesarjanaaan di atas kertas, yaitu ijasah. Dengan harapan, lewat kriteria tersebut, institusi dan ataupun sebuah perusahaan benar-benar memilih orang yang tepat. Namun, kriteria itu menjadi aneh bagi saya, ketika sebuah perguruan tinggi membuka lowongan pekerjaan untuk dosen tapi mengkhususkan bahwa sang calon dosen tersebut adalah lulusan dari Perguruan Tinggi tertentu. Kriteria tersebut seakan-akan hanya ditunjukkan oleh orang-orang khusus yang secara implisit sudah dipilih. Hal ini terjadi juga pada seorang teman yang saya kenal. Cerita ini saya dapatkan dari temannya teman saya.

Satu saat Si Apin memberanikan diri untuk melamar di sebuah Perguruan Tinggi Islam Negeri untuk menjadi dosen. Meskipun ia sudah tahu bahwa lowongan lamaran dosen CPNS itu sudah diperuntukkan untuk asisten dosen dari seorang Profesor ternama yang memiliki latarbelakang Ormas berlambang Matahari. Pembukaan lamaran dosen CPNS tersebut, dengan demikian, hanya formalitas semata. Namun, berhubung kriteria yang diinginkan oleh Perguruan Tinggi Islam tersebut sama persis dengan latarbelakang pendidikan yang dimiliki, ia tetap nekat untuk mendaftarkan diri.

Karena tahu bahwa dalam Perguruan Tinggi tersebut hanya punya dua haluan besar Ormas Islam yang mendominasi, yaitu Hijau dan Matahari, Ia, mau tidak mau, harus bersiasat dengan memanfaatkan identitas dua Ormas tersebut. Terlebih lagi Ia lahir di Jawa Timur di mana basis Ormas Hijau bertebaran di sana, tapi secara organisasi kemahasiswaan, mengikuti organisasi kemahasiwaan di bawah lambing matahari. Dua identitas ini yang menjadi modal dirinya untuk bertarung dengan asisten Profesor yang berhaluan Matahari tersebut. Sementara, untuk menguatkan kehijauannya ini, Si Apin melakukan kontak personal dengan orang-orang Jakarta. Untuk Perguruan Tinggi, ia memanfaatkan jaringan organisasi kemahasiswaan.Tahapan tes ia lalu dengan baik satu persatu hingga sampai tahapan wawancara. Hasil tes tersebut diumumkan. Tak disangka, selain memiliki kemampuan akademis, dengan dua modal identitas inilah ia bisa diterima sebagai dosen di Perguruan Tinggi tersebut mengalahkan asisten dosen Profesor yang sudah mengampuh beberapa tahun.

Namun, dua ideologi Ormas besar ini tak sepenuhnya berlaku. Ada Si Upun yang diterima di sebuah Perguruan Tinggi Islam untuk menjadi dosen dalam bidang tertentu, meskipun dua ideologi keagamaan ini selalu mewarnai secara dominan perguruan tersebut. Meskipun secara kultural ia berasal dari haluan hijau, ia tak memiliki dukungan dari organisasi keagamaan tersebut. Dengan kata lain, ia diterima secara murni berjuang untuk memperebutkan satu jatah dosen. Usut punya usut mengapa ia bisa diterima dengan proses murni seperti itu karena ada satu kondisi yang memungkinkan dirinya bisa diterima. Kondisi itu adalah karena Perguruan Tinggi tersebut sedang terjadi perang dingin di antara para dosen yang memiliki latarbelakang dua ormas keagamaan sehingga di antara dua tegangan itu proses penerimaan CPNS tidak terjadi tarik menarik, malahan proses pembiaran. Nah, ia mendapatkan berkah dari pembiaran ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun