Tulisan ini muncul karena rasa keperihatinan, serta mencoba menyampaikan pandangan saya terkait dengan persoalan T3D di Kutai Kartanegara yang semakin tak jelas, serta sekaligus mencoba memenuhi permintaan salah seorang sahabat, yang sebelumnya meminta tanggapan atas ditetapkannya Perbup Kukar No 19 tahun 2010 melalui pesan facebook kepada saya, yang kebetulan baru sempat saya baca tadi malam. Meski terlambat, mudah-mudahan tulisan ini tetap bisa menjawab permintaan sahabat tersebut, karena saya teringat sebuah pepatah lama "lebih baik terlambat, daripada tidak ada sama sekali".
Persoalan T3D memang menjadi agak sedikit redam, ketika Bupati Kutai Kartanegara mengeluarkan Perbup Kukar No. 19 tahun 2010 tentang Tenaga Harian Lepas (THL) [selanjutnya baca: perbup], namun persoalan kembali muncul ketika THL ini ternyata belum mampu menyelesaikan persoalan yang ada sebelumnya terkait pembayaran gajih T3D..? karena toh masih banyak T3D yang belum dibayar gajihnya. Keberadaan perbup yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan T3D, ternyata tak bisa mengakomodir sepenuhnya permasalahan T3D, perbup tak mampu sepenuhnya menjadi solusi polemik T3D, karena ada beberapa keganjilan terkait dengan isi dari perbup itu sendiri. Hal ini tidak lain, terdapat beberapa redaksi dari perbup tersebut multi tafsir, dan bahkan terdapat ruang abu-abu mengutif tulisannya Bayu Eka Yulian ( http://www.facebook.com/note.php?note_id=453330713936&id=1403526574&ref=mf&fbb=r422467f6&refid=12 ) dalam perbup tersebut. Diantaranya, terkait dengan sistem penggajihan, serta sanksi-sanksi terhadap THL apabila melakukan kesalahan dan masa tugas THL.
Saya tidak akan membahas satu persatu persoalan T3D, melainkan hanya yang berkaitan dengan tulisan ini yang akan saya
Bahas sedikit, agar tulisan ini tidak terlalu panjang. Karena sebagian besar saya fikir sudah banyak yang tahu mengenai persoalan T3D ini, khususnya masyarakat Kutai Kartanegara. Bagi yang belum mengetahui tentang T3D bisa mengakses di www.kutaikartanegara.com atau search aja di Om Google. Mengutif dari berbagai media massa, persoalan T3D ini sudah muncul sejak beberapa tahun silam, namun baru tahun 2010 ini menjadi lebih heboh, karena tak kunjung ada penyelesaian terkait dengan pembayaran gajih T3D untuk tahun 2010, sehingga menimbulkan gerakan massa yang cukup besar. Namun kembali lagi, gerakan massa seperti ini yang dilakukan oleh T3D sebenarnya bukan yang pertama kali, namun sudah sering terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Gerakan yang sering dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya dengan tuntutan yang sama selalu berhasil dan gajih T3D pun dibayarkan. Agak berbeda dari sebelumnya, gerakan masa yang dilakukan pada 2010 belum lama ini, ternyata tak mampu menggoyah nurani daripada Bupati Kutai Kartanegara yang baru saja terpilih pada pilkada 2010 beberapa bulan yang lalu, untuk langsung membayar gajih yang dituntut tersebut, gajih yang notabene sudah dianggarkan dalam APBD 2010. Padahal pada saat pilkada, sang Bupati tersebut sudah berjanji untuk memenuhi tuntutan T3D tersebut yang tertuang dalam kontrak politik. Hal inilah yang menyebabkan kekecewaan besar dari para tenaga honor ini.
Kembali lagi menurut statement pemkab di beberapa media, tidak dibayarnya gajih tersebut, dikarenakan tidak adanya payung hukum yang menaungi pembayaran gajih tersebut, dan terutama ini akibat dari lahirnya PP no 48 tahun 2005 yang digunakan oleh Bupati untuk dijadikan alasan tidak membayarkan gajih T3D, padahal sudah jelas dalam PP tersebut hanya mengatur tentang pelarangan mengangkat tenaga honor utk menjadi CPNS, jadi konteks PP itu adalah terkait dgn T3D yg masuk formasi CPNS, selagi tenaga honor tidak menuntut untuk masuk formasi CPNS, sah-sah saja utk diangkat kembali, yang kemudian disesuaikan dengan kemampuan daerah.
Tidak dibenarkannya pengangkatan tenaga honorer yang digembar-gemborkan oleh bupati berdasarkan PP tersebut, ternyata termentahkan oleh perbup yang dikeluarkan oleh Bupati untuk pengangkatan THL, sekarang muncul pertanyaan, apa bedanya T3D dan THL..? menurut saya bedanya hanya sebutan nama dan masa kerjanya saja, sementara statusnya tetaplah sama yaitu “Honorer”. Artinya kalau THL bisa diangkat, seharusnya T3D juga masih dibenarkan untuk diangkat kembali..? lalu dimana letak bertentangan pengangkatan tenaga honorer dengan PP 48/2005 ketika melihat dibenarkannya pengangkatan THL yang statusnya sama saja honorer. Hal ini tentu saja menjadi bomerang bagi Bupati apabila diketahui oleh para T3D, yang selama ini ikut terbawa pemahaman yang keliru terkait dengan PP tersebut diatas. Dan terkait dengan penafsiran PP tersebut diatas, sebenarnya sudah pernah saya sampaikan kepada Bupati Kutai Kartanegara melalui pesan singkat (SMS), karena kebetulan sangat sulitnya mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Bupati.
Kembali pada solusi yang dikeluarkan oleh Bupati dengan menjadikan T3D sebagai THL saya lihat hanya sebatas untuk meredam gerakan T3D, dan bisa dikatakan bahwa perubahan dari status T3D menjadi THL adalah bagian dari skenario untuk menghapus T3D yang jumlahnya ribuan tersebut. Hal ini bisa dilihat dari masa kerja THL hanya selama 3 (tiga) bulan dan baru bisa diperpanjang apabila betul-betul dibutuhkan atau tergantung kepala SKPD dimana THL tersebut berada. Kalau memang hal ini yang terjadi, berarti Bupati Rita Widyasari tidak konsisten dengan janji politiknya yang disampaikan pada saat berkampanye tersebut. Tentu saja, hal ini sudah terlihat dari proses penyusunan RAPBD 2011, menurut salah satu anggota panggar legislatif bahwa, untuk APBD 2011 tidak dianggarkan penggajihan THL. Berarti sangat jelas disini, bahwa solusi pengangkatan T3D menjadi THL, memiliki agenda tersembunyi, yaitu pemusnahan T3D di Kutai Kartanegara. Belum tuntas persoalan pembayaran gajih T3D yang tertunda sampai hari ini, kembali mereka akan dihadapkan pada persoalan lain, yaitu terancamnya nasib pekerjaan mereka. Maka bisa dibayangkan, belum 1 (satu) tahun pemerintahan Rita Widyasari, ribuan T3D akan menambah deretan pengangguran di Kutai Kartanegara.
Saya fikir, sudah saatnya Bupati lebih berani mengambil sikap yang tegas dalam hal ini, bukan malah bersikap abu-abu seperti apa yang tergambar dari perbup tersebut diatas. Kalau memang T3D harus dihapuskan, maka secara terbuka Bupati harus berani menyampaikannya kepada publik, begitu juga sebaliknya, kalau mereka masih diperlukan, Bupati juga harus dengan tegas menyampaikannya kepada publik, agar ada kepastian terkait dengan status T3D atau THL dan beberapa persoalan yang seiring dengan polemik T3D sebelumnya. Saya fikir Bupati Kutai Kartanegara dengan staf khususnya yang cerdas-cerdas tersebut, mampu menyelesaikan sepenuhnya persoalan T3D ini, tentunya penyelesaian yang tuntas, bukan sepotong-sepotong atau abu-abu.