Berbeda dengan pesta peringatan kemerdekaan yang biasa diselenggarakan dengan adanya panggung hiburan dan bagi-bagi hadiah lomba tujuh belasan di akhir pekan setelah tanggal 17 Agustus, tirakatan adalah acara yang jauh dari kesan meriah. Bahkan sebaliknya, cenderung khidmat dan hening. Di kampungku, demi membangun suasana hening itu, lampu jalan dan teras rumah sepanjang jalan menuju tempat tirakatan sengaja dipadamkan. Diganti dengan lampu minyak yang diletakkan di dua sisi jalan menuju tempat tirakatan.
Di RT-ku, warga berkumpul dan duduk bersama di atas tikar. Dari anak-anak, remaja, pemuda hingga yang dewasa. Di tengah mereka terdapat nasi tumpeng dengan bendera merah putih di pucuknya, beberapa aneka jajanan pasar dan aneka jenis minuman dalam beberapa ceret air. Ada teh, kopi, jahe dan air putih. Tinggal pilih sesuai selera. Tapi tunggu dulu, ada rangkaian acara sebelum makanan dan minuman itu disentuh.
Indonesia Raya adalah lagu wajib. Seluruh warga bersikap berdiri sempurna. Indonesia Pusaka adalah lagu berikutnya. Semua warga bernyanyi. Dilanjutkan dengan acara kilas balik refleksi kemerdekaan. Ketua RT dengan sendirinya akan menjadi pembicara kilas balik detik-detik proklamasi. Maka selanjutnya adalah terbukanya lembaran-lembaran sejarah. Mengalir cerita-cerita patriotis dengan tokoh yang kemudian disebut pahlawan. Meski kisahnya berlatar proklamasi kemerdekaan Indonesia, ternyata akan selalu berbeda di setiap tirakatan. Bisa jadi pada tirakatan tahun-tahun sebelumnya, kisah yang dibeberkan adalah pasca proklamasi. Yaitu perang-perang yang terjadi untuk mempertahankan kemerdekaan. Tentang kepemimpinan Panglima Besar Jendral Sudirman dengan perang gerilyanya dan strategi capit urang. Ada juga kisah perjuangan diplomasi atau perundingan-perundingan tentang kedaulatan Indonesia. Pada tirakatan yang sudah-sudah ada pembicara yang mengambil dari sudut pandang figur Soekarno dan Hatta sebagai proklamator. Namun ada yang tidak kalah menarik, yaitu detik-detik menjelang proklamasi. Siapa yang menyangka jika proklamasi 17 Agustus 1945 didahului perdebatan sengit antara golongan muda dan tua.
Pada saat sahur di tanggal 16 Agustus (pada waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadhan), beberapa orang dari golongan muda membawa paksa Soekarno dari rumahnya di jalan Pegangsaan No. 56 Jakarta. Tujuannya agar Soekarno jauh dari pengaruh Jepang. Istrinya, Fatmawati beserta Guntur yang baru berusia 9 bulan diajak serta. Beserta Mohammad Hatta mereka dibawa ke Rengasdengklok.Sebuah wilayah di Karawang, Jawa Barat. Disanalah para pemuda progresif revolusioner mendesak agar Soekarno dan Mohammad Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Mereka, para pemuda itu tidak bisa menunggu pemberian hadiah kemerdekaan dari sebuah negara yang nyata-nyata telah kalah perang. Maka kemerdekaan harus diraih dengan perjuangkan.
Progresif revolusioner adalah sebutanku jauh kemudian untuk pemuda Wikana, Chaerul Saleh, Sukarni dan kawan-kawan yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dan tak mau menunggu. Soekarno-Hatta adalah orang-orang yang berdiri dalam golongan tua yang menginginkan Proklamasi Kemerdekaan dalam restu Jepang. Sementara Wikana, Chaerul Saleh dan Sukarni adalah golongan muda yang menilai Jepang tidak perlu dilibatkan, sehingga Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan upaya sendiri tanpa campur tangan asing tak terkecuali Jepang.
Hingga suatu ketika disepakatilah bahwa proklamasi tidak dilakukan pada hari itu, melainkan keesokan harinya, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Sementara di Jakarta Wikana dan Mr. Ahmad Soebardjo segera pergi ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno-Hatta agar besok sebelum jam 12 siang Soekarno-Hatta bisa memproklamasikan kemerdekaan. Laksamana Maeda memberikan jaminan keselamatan selama persiapan dilakukan di kediamnnya. Seperti yang kita ketahui, pembuatan naskah proklamasi dilakukan di jl. Imam Bonjo No. 1 Jakarta.
Selain itu pada kesempatan tirakatan yang lain, ada pembicara yang mengatakan ketika proklamasi kemerdekaan dibacakan, Soekarno dalam keadaan sakit malaria. Ini membuatku kaget karena aku belum pernah mendapatkan informasi ini dari pelajaran sejarah di sekolah.
Dari tahun ke tahun selalu ada tirakatan. Dan dari tirakatan ke tirakatan selalu saja ada kisah sejarah perjuangan bangsa untuk memperoleh kemerdekaan dan mempertahankannya. Kisah sejarah itu sendiri berisi tokoh-tokoh yang diperankan oleh seseorang yang berjiwa pahlawan. Dengan demikian, tirakatan tidak sekadar kumpul-kumpul warga untuk mengenang detik-detik proklamasi, melainkan juga cara untuk menanamkan jiwa kepahlawanan terhadap anak bangsa. Lebih dari itu, tirakatan menjadi upaya warga untuk tidak melupakan sejarah dirinya, bangsanya dan negaranya. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, begitu pesan BUng Karno.