Kesenian yang hidup selama kurang lebih 50 tahun tersebut sering pula dijuluki dengan istilah jangkrik ngenthir. Istilah-istilah itu berasal dari Jawa yaitu gangsir: hewan jangkrik, dan ngenthir: berbagi suara. Filosofi sederhananya adalah gangsir yang berarti jangkrik sawah. Apabila salah satu bersuara pada waktu belum senja, maka jangkrik-jangkrik yang lain akan mendatangi lubangnya, dan kemudian memakan jenisnya (jangkrik-jangkrik yang lain)-kanibal.
Menurut penuturan Mbah Jimu-seorang sesepuh desa, kesenian itu diambil dari cerita Keraton Mataram. Akar ceritanya adalah peperangan Babad Tanah Jawa, antara Haryo Penangsang dengan Sutowijoyo yang berebut kekuasaan di Demak Bintoro.
Awal mula lahirnya kesenian ini yaitu dari Mbah Marto Sutar yang dirintis sejak tahun 1956. Kemudian diteruskan oleh Mbah Jimu sampai sekarang ini.
Dari sejarah pertunjukannya, kesenian ini dimainkan pertama kali di Desa Banaran, Kelurahan Keningar, dalam ritual mitoni (tujuh bulanan) Sutar (anak mbah Marto), yang saat itu masih dalam kandungan. Namun dalam perkembangannya, kesenian ini dapat disajikan dalam upacara adat apapun yang berkembang dalam masyarakat sekitar. Di antaranya, yaitu syukuran, mauludhan, suran dan lain-lain.
Musik dan tariannya sejak dahulu sampai sekarang tidak mengalami perubahan yang signifikan, hanya saja terdapat penegasan gerak tari yang bertujuan untuk mendalami karakter tokoh yang dimainkan. Mereka tetap menjaga eksistensi dan keaslian kesenian yang diberikan oleh sesepuh dulu dan sebagai amanah yang harus dijalaninya.
Permainannya pun tidak begitu sulit dan rumit, di mana musiknya cenderung seragam (monotone). Teknik gerakan tariannya pun sederhana, yang banyak mengadopsi dari tarian Jaran Kepang gaya Yogyakarta dan peperangan. Kesenian ini telah melakukan pementasan di berbagai tempat di sekitar kota Magelang sampai keluar daerah.
Instrumen yang dipakai untuk mengiringi gangsir ngenthir ada 3 buah bende, yang masing-masing bernada 1 (pangarep), 6 (pendamping), 5 (penutup/jur), dan sebuah trunthung dalam laras slendro. Pangarep dan pendamping dibunyikan secara imbal, serta penutup berfungsi sebagai aksen ketukan. Sedang trunthung berfungsi sebagai pembuka, pengatur irama dan tari selain peluit. Warna suara trunthung ada dua macam, yaitu dengan dipukul secara polos dan dipukul seketika ibu jari menekan membran, sehingga menghasilkan warna suara yang berbeda.
Dikutip dari laporan hasil PKL Jurusan Etnomusikologi Angkatan 2009, tanggal 21 Februari 2012.