Masa silam, timnas PSSI cukup sering kedatangan tamu hebat. Mulai dari Dinamo Moskow dengan Vladimir Bubukin-nya, Santos dengan Pele-nya, tim nasional Uruguay, hingga dua klub Eredivisie (kompeni) Belanda yakni PSV Eindhoven atau Feyenoord. Lalu ada juga dua klub dari negeri Ratu Elizabeth yaitu Stoke City dan Queen’s Park Rangers, selain itu tak ketinggalan juga Brno (Ceko), Kristiansand (Norwegia), Ebsbjerg (Denmark) untuk datang ke Bumi Nusantara. Ketika itu di bulan Juni 1983, Arsenal melakukan lawatan ke Indonesia. Namun reputasi klub elite London tersebut masih belum sekeren saat ini. Karena saat itu di Inggris eranya masih eranya Liverpool, Nottingham Forest atau Aston Villa, dan seorang bintang Aston Villa kala itu yakni Peter White, juga pernah menangani timnas Indonesia pada 2004-2007. Peter White juga pernah mencetak gol tunggal ke gawang Bayern Muenchen saat mengantar klub asal Birmingham tersebut merebut Piala Champions (masih belum bernama Liga Champions) 1981/82, yang sebelumnya digenggam oleh Liverpool.
Niac Mitra Surabaya Sementara itu The Gunners (julukan Arsenal), melakukan lawatan ke Indonesia dengan membawa kiper legendarisnya Pat Jennings, lalu terdapat juga dua pemain tim nasional Inggris saat itu Kenny Sansom, dan Graham Rix serta David O’Leary. Dan tujuan utama mereka ke Indonesia adalah berlibur ke Bali. Selama di Indonesia The Gunners berhasil meledakkan PSMS Medan Plus dengan skor 3-0 di Medan, lalu mempecundangi PSSI Selection 5-0 di Senayan. Namun mereka tidak bisa lagi seenaknya meluluh lantakkan Indonesia, karena setelah itu yakni pada 17 Juni 1983 ketika menghadapi juara Galatama, Niac Mitra di Surabaya, dunia membelalakkan mata. Sekarang giliran Arsenal yang dibikin menangis dengan skor 0-2. Prestasi ini jauh lebih membanggakan dibanding ketika menahan 3-3 atas PSV Eindhoven yang masih diperkuat oleh Eric Gerets dan Ruud Gullit di Senayan. Banyak kabar tak sedap mengiringi kekalahan Arsenal ini, salah satunya adalah Kompas yang pada waktu itu mengabarkan banyak pihak yang mencibir jika kekalahan Arsenal ini memang sengaja dibuat. Salah satunya faktornya adalah dilangsungkannya pertandingan ini pada jam 2 siang (yang memang sangat terik sekali, apalagi untuk ukuran pemain Inggris), atau juga dikeluarkannya Alan Sunderland oleh wasit Ruslan Hatta. Namun terlepas dari itu publik Stadion 10 Nopember menyebut dua pemain Singapura, kiper David Lee dan Fandi Ahmad, sebagai pahlawan kota Pahlawan. Fandi, yang masih memiliki darah Pacitan ini membuat gol di menit 37, sebelum ditutup Joko Malis di menit 85. Usai membela Niac Mitra, Fandi Ahmad hijrah ke Groningen, karena kebijakan PSSI yang kala itu dipimpin oleh Sjarnoebi Said, melarang keberadaan pemain asing di persepakbolaan (semi) profesional Indonesia (7 Juni 1983). Maka pertandingan ini juga disebut sebagai perpisahan dengan pemain tersebut. Formasi
Niac Mitra saat itu: (G) David Lee; (B) Budi Aswin, Wayan Diana, Tommy Latuperissa, Yudi Suryata; (M) Rudy Kelces, Rae Bawa/Yusuf Malle, Joko Malis, Hamid Asnan/Syamsul Arifin; (F) Fandi Ahmad, Dullah Rahim/Yance Lilipaly. Dan komposisi
Arsenal adalah: Jennings; Hill (Robson), Sansom, Talbot, O'Leary, Whyte (Lee), McDermott, Sunderland, Meade (Chapman), Davis, Rix Jangankan Persija yang kalah dari Persebaya di partai pamungkas Liga Indonesia, Inggris saja selalu menderita di Surabaya. November 1945, komandan perang Brigjen Mallaby tewas terbunuh oleh para pejuang dalam “Battle of Soerabaia”. Lalu Juni 1983 giliran Arsenal yang dibekap Niac Mitra. Dengan begitu sebenarnya ada baiknya, PSSI menetapkan saja Surabaya sebagai markas tim nasional untuk partai internasional. Karena disinilah Neraka yang sebenarnya bagi negara Inggris dan para penjajah lainnya.
*Disadur/dikutip dari berbagai sumber.
KEMBALI KE ARTIKEL