Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mengatur Pengeras Suara Masjid

25 Mei 2012   08:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:49 542 1
Pidato Wakil Presiden Republik Indonesia Boediono dalam Pembukaan Muktamar Dewan Masjid Indonesia (DMI) ke-6, di Asrama Haji, Pondek Geda, Jakarta, Jumat (27/4), khususnya menyangkut pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid ketika azan, telah menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan.

Sayangnya, kebanyakan reaksi terhadap apa yang disampaikan oleh wakil presiden itu terlalu terburu-buru dan terkesan sangat emosional. Semua tanggapan tersebut menyerang dengan tajam masukan sang wakil presiden yang berkaitan dengan pengelolaan masjid  tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Hal ini dapat dilacak dengan mudah dalam berbagai pemberitaan media tanah air sepekan terakhir, baik media massa cetak maupun elektronik, bahkan merambah ke berbagai situs jejaring sosial.

Agar tidak terjadi kesimpangsiuran mengenai pidato wakil presiden saat itu, ada baiknya di sini dikutipkan secara utuh isi pidato tersebut khusus yang berkenaan dengan pengaturan pengeras suara masjid ketika azan seperti dilansir oleh situs resmi Sekretariat Kabinet pada Ahad (29/4/2012) pukul 07:38 WIB di www.setkab.go.id/berita-4250-pidato-lengkap-wapres-mengenai-masjid-dan-adzan.html sebagaimana berikut;

“Perkenankan saya menyampaikan satu hal lagi yang berkaitan dengan pengelolaan masjid. Dalam rangka mensyiarkan Islam dan memberikan citra positif bagi umat Islam, kita di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dapat memberikan contoh-contoh yang baik bagi dunia Islam.

Dewan Masjid Indonesia kiranya juga dapat mulai membahas, umpamanya, tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Kita semua sangat memahami bahwa azan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban salatnya.

Namun demikian, apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain, yaitu bahwa suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita. Alquran pun mengajarkan kepada kita untuk merendahkan suara kita sambil merendahkan hati ketika berdoa memohon bimbingan dan petunjuk-Nya.”

Dengan tetap mengedepankan baik sangka, tanpa perlu terjebak pada pembahasan yang tidak penting, serta coba menagkap inti dan maksud dari pernyataan sang wakil presiden, maka apa yang disampaikannya itu mesti disikapi dengan adil bahwa memang selama ini tidak ada pengaturan yang jelas mengenai penggunaan pengeras suara di masjid, sehingga tak jarang menganggu lingkungan sekitar.

Sebagai contoh tahun lalu telah terjadi dua peristiwa sebagai aksi protes oleh warga disebabkan penggunaan pengeras suara yang tidak semestinya oleh pengurus suatu masjid dan musala tertentu.

Aksi pertama sedikit anarkis, dimana salah seorang warga mencincang kabel pengeras suara masjid yang selalu memperdengarkan bacaan Alquran dengan keras setiap akan masuk waktu berbuka (salat Magrib), setelah salat Tarawih, dan sebelum salat Subuh. Padahal warga sudah berkali-kali memperingatkan. Sekarang bahkan masjid itu sepi dari suara azan.

Aksi kedua lebih beradab, setelah dua kali diingatkan warga, garin (pengurus masjid atau musala yang tinggal di masjid atau musala) segera mengecilkan volume suara dari kaset ceramah yang selalu diputar setiap selesai salat lima waktu. Di musala ini, kadang memainkan kaset lagu si Raja Dangdut, atau juga bacaan Alquran. Kedua peristiwa ini terjadi di ranah Minang, bahkan di bulan Ramadan.

Tidak dipungkiri, memang kebiasaan masyarakat di negeri mayoritas muslim ini untuk memperdengarkan bacaan Alquran (tadarus) setiap akan masuk waktu salat, baik itu di perkotaan maupun di perkampungan. Seakan sudah menjadi tradisi. Akan terasa ada yang kurang jika hal ini tidak dilakukan, walaupun bila dikaji lebih jauh hal tersebut sebenarnya tidak ada sumbernya dalam studi keislaman, bahkan larangan lebih pantas diketengahkan menyikapi kebiasaan ini.

Tadarus, ceramah agama, atau apa pun itu sebenarnya masuk dalam kategori zikir. Secara  sederhana zikir dapat diartikan dengan aktivitas melafazkan sesuatu. Dalam cakupan ibadah, zikir bermakna sebagai suatu amalan yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melafalkan kalimat-kalimat tertentu. Kalimat-kalimat ini utamanya adalah bacaan Alquran, doa-doa ma'tsur, dan kalimat taibah seperti tasbih, tahmid. tahlil, serta takbir.

Walaupun zikir seringkali diidentikkan dengan kalimat taibah saja, namun zikir tak melulu soal tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir. Bahkan seruan (dakwah) secara lisan untuk amar makruh nahi mungkar dan sejenisnya pun masuk dalam kategori zikir.

Zikir merupakan ibadah yang tata cara pengamalannya telah ada tuntunannya dalam Islam. Terlebih zikir yang masuk kategori ibadah mahdhah, seperti bacaan salat, azan, dan kalimat taibah. Susanan kalimat dan waktu pelafazannya tak sedikit pun boleh dimodifikasi, apalagi improvisasi. Pun tak boleh tersalah menempatkannya, seperti selalu membaca ta'awudz setiap kali selesai menguap atau membaca hamdalah tiap-tiap lepas berserdawa. Karena memang tidak ada tuntunan seperti itu dalam syariat Islam.

Begitu pula dengan kebiasaan yang mentradisi di masyarakat yang selalu memperdengarkan bacaan Alquran, baik bacaan itu rekaman dari qari terkenal ataupun bacaan langsung oleh seseorang dengan menggunakan pengeras suara. Selama Ramadan kegiatan seperti ini lebih semarak lagi, terkhusus untuk tadarus Alquran.

Yang terjadi di lapangan, bacaan Alquran menjelang masuk waktu salat ini telah dipahami secara keliru sebagai tanda akan masuk waktu salat. Memang tidak meniadakan azan, hanya saja jika bacaan Alquran telah diperdengarkan melalui pengeras suara oleh masjid atau musala beberapa saat sebelum kumandang azan, masyarakat lebih memahami ini sebagai tanda akan masuk waktu salat.

Padahal dalam Islam, sejarah telah mengabarkan bahwa azan dengan kalimat-kalimatnya yang khas  adalah satu-satunya pemberitahuan bahwa waktu salat tertentu telah masuk. Seperti riwayat para imam hadis tentang sejarah azan dan usualan agar menggunakan kobaran api atau bunyi lonceng untuk memberitahukan waktu masuk salat dan memanggil jamaah agar salat berjamaah di masjid. Tetapi semua itu tidak diperkenankan hingga akhirnya ditetapkanlah azan sebagaimana yang dikenal sekarang ini sebagai seruan resmi untuk salat wajib yang lima waktu.

Dengan demikian tidak diperlukan lagi pengantar-pengantar lain seperti pemukulan bedug, bunyi sirene, pembacaan selawat, ataupun pembacaan bacaan Alquran. Jika masih ada yang memaksa menambah-nambahi azan dengan pengantar maupun penutup dan sejenisnya, orang itu telah membuat sesuatu yang baru dalam agama ini.

Banyak hikmah bisa diambil dari pelarangan pembacaan Alquran dengan pengeras suara yang biasanya mendahului azan itu, seperti diabaikannya bacaan Alquran oleh orang-orang di lingkungan sekitar. Terlebih lagi jika masjid dan musala yang memperdengarkan bacaan Alquran dengan suara ini berada di kawasan padat penduduk seperti komplek perumahan atau pasar di mana orang-orang sangat sibuk dengan urusan masing-masing.

Padahal, Alquran tatkala dibacakan merupakan kewajiban bagi siapapun yang mendengarkan untuk diam dan memperhatikan bacaan Alquran tersebut. Seperti firman Allah, “Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah dengan sungguh-sungguh dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” (Q.S Al-A'raf [7]: 204). Sebagaimana maklum dalam kaidah bahwa perintah itu pada asalnya menunjukkan kepada kewajiban selama tidak ada dalil lain yang memalingkan perintah wajib ini kepada selainnya.

Yang ada malah dalil penguat lain seperti keluhan Nabi tentang diabaikannya Alquran, seperti firman Allah, “Dan Rasul (Muhammad) berkata, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Alquran ini diabaikan.'” (Q.S Al-Furqan [25]: 30). Tentu saja tak ada seorang muslim pun yang ingin masuk kategori kaum yang dikeluhkan Nabi itu, apalagi menyebabkan orang lain mengabaikan bacaan Alquran.

Tak salah kiranya jika ada yang merasa terganggu dengan pembacaan Alquran yang tidak pada tempatnya ini. Bahkan di dalam masjid saja seseorang tidak diperbolehkan mengeraskan zikir--kalimat taibah, bacaan Alquran, dan ceramah agama--karena akan mengganggu jamaah lainnya. Sedangkan masing-masing orang punya hak bermunajat di dalam masjid.

Perlu juga diperhatikan dalam hal zikir mengenai adabnya, bahwa kebanyakan zikir terlarang untuk mengeraskan suara pembacaannya. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahiih-nya pada Kitaab Al-Jihaad wa As-Siyaar dan Muslim juga dalam  Shahiih-nya pada Kitaab Adz-Dzikr wa Ad-Du'aa'i wa At-Taubah wa Al-Istighfaar, dari Abu Musa Al-Asy'ari ia berkata, “Kami dalam suatu perjalanan bersama Nabi. Ketika orang-orang mengeraskan suara ketika bertakbir, maka Nabi bersabda, 'Wahai manusia, kasihanilah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru kepada Zat yang tuli dan Zat yang tidak ada. Sesungguhnya Ia maha mendengar lagi maha dekat. Ia bersama kalian…'” (Lafaz hadis ini menurut riwayat Muslim).

Dari sini juga dapatlah dikatakan bahwa kebiasaan sebagaian orang meneriakkan takbir dalam beberapa kesempatan adalah bertentangan dengan sunah Nabi. Kepada mereka yang masih saja melazimkan takbir dengan teriakan ini patut merenungkan firman Allah, “Serulah Tuhan kalian dengan merendahkan diri dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S Al-A'raf [7]: 55). Menyombongkan  diri dengan tidak menyeru (berdoa) kepada Allah dan mengeraskan suara ketika zikir merupakan tindakan melampaui batas berdasarkan ayat ini.

Namun, sangat perlu dikritisi apa yang disinggung wakil presiden mengenai pengaturan pengunaan pengeras suara di masjid tatkala azan. Jika dimaksudkan agar azan sebagai suara panggilan salat dipelankan, tentu ini tidak dapat diterima karena menyalahi syariat. Sebagaimana telah dipahami bersama, banyak dalil dari sunah yang menerangkan dengan gamblang bahwa azan harus dikeraskan pelafazannya. Sebab azan berfungsi mengumumkan waktu salat telah masuk dan memanggil umat untuk salat berjamaah di masjid.

Hal tersebut tidak akan tercapai jika azan dipelankan atau hanya dapat didengar di dalam masjid saja. Jika mau sedikit menilik sejarah, muazin biasa menyerukan azan di puncak menara atau tempat tinggi lain agar umat yang hidup di zaman belum mengenal sound system modern seperti sekarang mampu mendengar seruan azan. Ringkasnya, inilah kekhususan azan terhadap keumuman dalil lainnya yang menganjurkan merendahkan suara ketika berzikir.

Meskipun demikian, tidak pula dapat dibenarkan jika azan ini diserukan dengan sekeras-kerasnya. Yang perlu dilakukan oleh umat Islam--ini juga merupakan tanggung jawab pemerintah--adalah bagaimana supaya pengeras yang digunakan di masjid-masjid yang menyerukan azan diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu pelan. Tentu saja ini membutuh perangkat pengeras suara yang baik, tidak seperti beberapa masjid yang dengan dana terbatas menggunakan pengeras suara ala kadarnya, sehingga seruan azan terdengar cempreng.

Selain itu, perlu juga ditunjuk muazin bersuara lantang namun merdu untuk melantunkan azan. Hal ini tidak lain ditujukan agar panggilan salat fardu lima kali sehari semalam tersebut mampu menyentuh relung kalbu setiap insan sehingga tergerak untuk bersegera menunaikan kewajiban paling utama, salat di awal waktu. Bahkan tak jarang, seruan azan seperti itu dapat memberikan cahaya hidayah kepada pemeluk agam lain untuk masuk dalam lingkaran keindahan Islam.

Tak ada salahnya bila pemerintah menganggarkan dana khusus untuk merealisasikan dua hal tersebut. Meskipun sebenarnya dengan sosialisasi persuasif mengenai azan dan pengaturan penggunaan pengeras suara sedemikian, umat muslim Indonesia tanpa kucuran dana pemerintah sangat mampu secara swadaya mewujudkannya.

Sangat tidak logis bila masih ada yang merasa terganggu dengan azan yang demikian. Seburuk-buruk suara yang mengumandangkan azan tentu lebih mulia daripada suara mendayu-dayu para penganjur kemaksiatan yang setiap saat mendengungkan kemungkaran berbalut seni. Taruhlah azan tersebut sangat mengganggu, maka tidakkah bisa bersabar barang lima menit untuk sejenak mengingat ilahi? Di sinilah iman berbicara. Tidak perlu heran jika keluhan semacam ini berasal dari nonmuslim yang fobia dan paranoia terhadap Islam. Tetapi mengapa ada pula yang mengaku muslim turut latah merasa terganggu?

Akhirnya, patutlah bagi kaum muslimin untuk menimbang kembali segala kebiasaan yang berlaku dengan timbangan Islam, yaitu Alquran dan sunah. Adat kebiasaan dan kebudayaan tidaklah menjadi suatu hal yang tercela jika memang bersesuaian dengan ajaran Islam. Akan tetapi,  jika adat kebiasaan dan kebudayaan itu bertentangan dengan Islam, sepantasnyalah hal itu ditinggalkan karena syariat Allah dan sunah Nabi-Nya lebih utama untuk diikuti.

http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=15247:mengatur-pengeras-suara-masjid&catid=11:opini&Itemid=83

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun