Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Hidup dalam Bayangan

4 Oktober 2024   19:46 Diperbarui: 4 Oktober 2024   21:02 60 0
Hari yang selalu saja sama. Pergi ke sekolah, makan siang, pulang, mengerjakan pr, tidur, bersiap sekolah, begitu saja terus hingga ajal menjemput. Semenjak ayah dan ibu membuangku ke rumah nenek, hidup ini rasanya semakin hambar, dan Aku benar-benar mulai jenuh.

Sesampainya di sekolah, Aku berjalan menuju kelasku di lantai satu. Lagi-Lagi, kedatanganku hanya disambut oleh sapuan debu, dan hembusan angin. Meski begitu, kelasku pernah meraih berbagai prestasi di sekolah. Salah satunya, ialah juara 'kelas paling rusuh' seantero kota. Terdengar sangat hebat bukan? Seandainya teman-temanku di kelas bisa berbicara sepatah dua patah kata denganku, mungkin akan lebih baik lagi. Aku cukup puas dengan segala kondisi ini, mengingat di dunia ini tidak ada yang mau berteman dengan seorang bocah tanpa orang tua seperti diriku ini. Bukan bermaksud mengeluh, tetapi jujur saja Aku benar-benar sudah muak dengan semua omong kosong ini.

"Kriiiiiiing! " Bel istirahat berbunyi kencang. Ibu guru menapakkan kakinya di lantai-lantai kelas sembari menggenggam tangan seorang gadis, yang aku bahkan tidak pernah melihat orang sepertinya selama hidupku. Ia berdiri di depan papan tulis, sebelah kanan meja guru. "Selamat pagi, namaku Greys." Aku memandangnya dari kejauhan. Kulitnya putih, rambutnya krem, matanya coklat, dan mukanya sangat cerah. Saat ibu guru mulai menjelaskan satu persatu apa yang sebenarnya sedang terjadi, tubuhku kembali ke setelan pabrik. Indera mataku memudar (buram) dan pikiranku melayang kemana-mana. Aku tertidur tepat setelah bu guru mengucapkan kata 'teman'.

Aku terbangun saat jam istirahat telah tiba. Teman-Temanku memandangiku sambil mengernyitkan dahi mereka. "Sepertinya banyak tugas yang telah kulewatkan, tapi biarlah, nanti malam juga semuanya beres" pikirku. Tas kecil dalam ransel kuambil, kemudian bekal masakan nenekku Aku keluarkan. Tidak lupa, buku pelajaran yang ada di atas mejaku kubuka, dan kubaca. Tidak lama setelah itu, ada seorang anak yang berdiri tepat di belakang kursiku. Aku menoleh dan mendapati Greys yang ternyata dieja G-R-A-C-E melambaikan tangannya kepadaku. Aku merasa aneh. "Halo, siapa namamu? Aku sudah berkenalan dengan semua orang di kelas ini, dan sekarang giliranmu :D." Tanya Grace. Aku pun menjawab "Hei, berhati-hatilah, aku bukan orang yang bisa berteman dengan siapapun (karena semua orang membenciku)." Dia pun tertawa terbahak-bahak. Aku semakin merasa bingung. Apa yang sebenarnya dia tertawakan, mengapa dia mendatangiku, dan bagaimana dia bisa berbicara seperti itu kepadaku? "Kamu jangan kebanyakan nonton film deh, namaku Grace, dan Aku sekarang tinggal di kota ini sendirian," cakapnya. "Kamu aneh, pelajar seperti kita tidak mungkin bisa hidup sendirian" jawabku. "I-i-iya juga ya, haha" grace menjawab dengan murung dan pergi meninggalkanku.

Waktu berlalu seperti biasa, dengan suasana yang biasa juga. Aku mengangkat ranselku dan bersiap untuk pulang ke rumah. Di tengah perjalananku, Grace menghadang, dan berkata "Hei kamu, ikutlah denganku sekarang!" Tak punya waktu menjawab, tanganku langsung dipegangnya, dan dibawalah aku menuju daerah taman di pusat kota. Entah apa yang kupikirkan hingga tidak berani menolak permintaan Grace. Kami berhenti dan menghampiri seorang bocah laki-laki yang seumuran dengan kami. "Loh ini dia yang kamu bilang siswa paling pintar di sekolahmu? Kelihatan biasa-biasa saja," ucap bocah itu. "Aku tidak tahu namanya, tetapi dia sepertinya cocok dengan kita, di kelas dia juga diam saja, mulai sekarang kita harus bikin geng!" Saut Grace. Aku yang keheranan hanya bisa terdiam dan mengikuti permainan mereka.

Bocah itu mengambil satu kerikil kecil lalu menggambar logo F besar di hamparan pasir taman. "Ini logo kita F, artinya _Friends_ ya!"  Lagak bocah itu. "Aku sukaa, lucu banget deh, sekarang kita fix temenan" taut Grace. "Kalian benar-benar aneh sekali, apa kalian tidak waras?" Ucapku Menggerutu.

"Hei, sekarang kamu perkenalkan dirimu dulu! Jangan bersikap kasar begitu dong!" Bantah Grace. Karena Aku benar-benar tidak memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi, Aku langsung saja mengenalkan diriku. "Setya namaku" ucapku lirih. "Behh, keren banget tuh nama, kenalin aku Anton," ucap bocah yang namanya Anton itu.

Tidak lama setelah itu, mereka mengajakku untuk berbincang mengenai beberapa hal. Sejauh ini, beberapa hal inilah yang Aku ketahui:

1. Mereka berdua baru saling mengenal selama sehari;
2. Anton juga tinggal bersama pamannya, dia tidak memiliki kedua orang tua sejak lahir;
3. Mereka ingin berteman denganku, karena aku sama dengan mereka (tidak punya orang tua).

Kami berbincang cukup lama di taman itu. Ternyata mereka adalah orang yang benar-benar baik, usil, dan aneh. Ternyata memiliki teman itu seru juga ya, aku kira teman hanya berguna di saat tertentu saja, padahal kalau bisa bermain seperti ini seru sekali. Semenjak hari itu, hari-hariku menghabiskan waktu di sekolah menjadi berwarna kembali. Aku sering berbincang bersama Grace. Pada saat pulang sekolah pun juga sama, kami berdua menghabiskan waktu yang super duper menyenangkan bersama Anton.Entah berapa hari aku telah menghabiskan waktuku hanya untuk menanti kedatangan mereka dan bermain bersama. Mungkin sudah 2 minggu? Aku tidak pandai menghitung waktu yang sudah terlewat.

Hari ini, Aku juga melakukan rutinitas yang sama seperti biasanya. Bangun, bersiap, berangkat sekolah, dan menunggu waktu bermain kami tiba. Setibanya diriku di pintu kelas, Aku segera menghampiri tempat duduk Grace dengan semangat. Namun, sebelum aku bisa menyentuh ujung mejanya, Ia pergi dengan tiba-tiba. Tatapannya sinis sekali. Aku kembali ke mejaku dan mulai berpikir "Dia kenapa sih? Apa aku ada buat salah? Perasaan kemarin semua baik-baik saja."

Sungguh aneh, sebenarnya Aku ingin bersikap tidak peduli dan mengganggap hal tersebut hanya angin lalu lalang, tetapi Grace benar-benar mengacuhkanku, bahkan saat jam pelajaran berlangsung.

5 jamku habis hanya untuk memikirkan sikap Grace yang aneh. Setiap kali Aku menghampiri dia, Aku selalu dibiarkan, dan dijauhi olehnya. Hal itu membuatku kesal sekaligus sedih. Rasanya hidupku menjadi hambar kembali. Harapanku saat ini adalah agar Anton bisa mendengar keluh kesahku. Lantas, begitu bel pulang sekolah berbunyi, Aku langsung menggendong ranselku dan berlari sekencang-kencangnya menuju taman. Langkah demi langkah kulalui, napasku terasa berat, pikiranku kacau, dan hatiku bertumpu pada harapan. Taman sudah terlihat di depan mata. Namun, langkah cepatku berubah menjadi langkah pelan. Tatapanku kosong. Aku mendapati benar-benar tidak ada orang disana. Padahal Anton senantiasa menunggu kedatanganku dan Grace ditiap harinya. Aku benar-benar tidak percaya. Pikiranku kalut dalam kebingungan dan kesedihan. Aku berjalan perlahan menuju bangku tempat kami berbincang tiap harinya. Disana aku langkahku berhenti. Tulisan 'F' yang dibuat oleh Anton hilang dicoret oleh seseorang. Di sebelahnya terdapat jejak kaki. Aku menaruh kaki kananku di sebelah jejak kaki tersebut. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Ukurannya sama seperti sepatuku. Bukankah itu ukuran anak seusiaku? Itu pasti Grace dan Anton yang tidak mau berteman denganku lagi. Aku menangis dan kembali ke rumah nenek.Mulai dari waktu asar hingga waktu isya, Aku mengurung diriku dalam kamar. Aku suka sekali berteman, rasanya menyenangkan. Aku jadi tidak mau mati kalau ada teman. Aku juga bukan orang yang tidak baik sehingga tidak bisa dijadikan teman. Aku menangisi kepergian temanku. Aneh sungguh aneh sekali diriku ini. Pikiranku kosong, badanku lemas, dadaku sakit sekali, dan rasanya memuakkan.

Pada jam 10 malam, Aku sudah mengeringkan air mataku. Kini aku hanya butuh udara segar. Pintu kamar kubuka perlahan dan kuambil kunci rumahku. Aku menyelinap keluar rumah. Langkah kecilku kuusahakan senyap agar nenek tidak tahu Aku pergi sebentar. Setelah kunci kuputar, pintu terbuka, dan Aku segera berlari menuju taman.

Sesampainya di sana, Aku duduk di bangku kesayanganku. Menatap terangnya bulan purnama, berusaha melepaskan segala beban di hatiku. Rasanya aku ingin mengakhiri hidup ini saja, orang yang Aku sayangi semua sirna. Aku memejamkan mataku sekilas. Namun, ada yang aneh. Tiba-Tiba mulutku ditutup oleh sapu tangan wangi dan membuat kesadaranku menghilang.

Rasanya seperti mimpi, Aku tertidur nyenyak, dan tidak bisa bangun lagi.

Mataku terbuka seiring dengan ocehan orang di sekitarku. Butuh waktu supaya Aku sadar, tetapi sepertinya itu bukan waktu yang lama. Aku melihat sekelilingku gelap. Aku terkejut, apakah ini mimpi yang menjadi kenyataan? Karena ada Anton dam Grace di sebelahku. Aku merasa jijik, tetapi juga senang. Pada jam 10 malam, Aku sudah mengeringkan air mataku. Kini aku hanya butuh udara segar. Pintu kamar kubuka perlahan dan kuambil kunci rumahku. Aku menyelinap keluar rumah. Langkah kecilku kuusahakan senyap agar nenek tidak tahu Aku pergi sebentar. Setelah kunci kuputar, pintu terbuka, dan Aku segera berlari menuju taman.

Sesampainya di sana, Aku duduk di bangku kesayanganku. Menatap terangnya bulan purnama, berusaha melepaskan segala beban di hatiku. Rasanya aku ingin mengakhiri hidup ini saja, orang yang Aku sayangi semua sirna. Aku memejamkan mataku sekilas. Namun, ada yang aneh. Tiba-Tiba mulutku ditutup oleh sapu tangan wangi dan membuat kesadaranku menghilang.

Rasanya seperti mimpi, Aku tertidur nyenyak, dan tidak bisa bangun lagi.

Mataku terbuka seiring dengan ocehan orang di sekitarku. Butuh waktu supaya Aku sadar, tetapi sepertinya itu bukan waktu yang lama. Aku melihat sekelilingku gelap. Aku terkejut, apakah ini mimpi yang menjadi kenyataan? Karena ada Anton dam Grace di sebelahku. Aku merasa jijik, tetapi juga senang."Shh, jangan bercakap Setya! Kita bertiga dalam bahaya!" Ucap Anton. "Aku benar-benar takut sekali Anton," ucap Grace dengan tangis di matanya. Sepertinya aku diculik oleh orang-orang yang tidak menyukai anak tanpa orang tua. Aku segera bangkit dan mencari jalan keluar. Miris, bahkan pencuri tidak berani mengikat tangan kami. Aku meraih tangan kedua temanku dan mulai mencari jalan keluar. Sudut ruangan kami selidiki satu persatu. Rasanya benar-benar tidak ada jalan keluar disini. Di tengah-tengah pencarian kami ada sekilas cahaya yang diarahkan kepada kami. Panik, takut, dan kehilangan akal adalah reaksi kami bertiga. Sampai ada suara "Grace! Mau kemana kamu?" Tanya seorang pria tua. "Grace apakah kamu mengenalnya?" Tanyaku. "Kita sebaiknya segera keluar dari sini! Ayolahh ini bukan waktunya berbincang!" Balas Setya. Pria tua itu mulai mendekati kita hingga kelihatan sedikit mukanya. Tiba-Tiba Grace berucap "Tunggu! Aku kenal dia." Aku heran, bagaimana bisa Grace mengenali seorang penculik anak? Grace kemudian mendekati pria tua tersebut. Mereka sepertinya berbincang mengenai suatu hal. Aku dan Anton hanya busa terdiam sembari menunjukkan muka ketakutan.

Mungkin sudah 10 menit kami menunggu? Kakiku sudah pegal berdiri. Aku sedikit menguping (walaupun ini adalah hal yang tercela). Aku mendapatkan kesimpulan terkait kondisi ini:

1. Pria tua itu adalah saudara jauh Grace (setidaknya itu yang Aku dengar);
2. Grace bukan anak biasa, dia kaya, tetapi kabur dari rumah;
3. Aku dan Anton dituduh sebagai orang yang membuat Grace kabur dari rumah.

Aneh kedengarannya, tetapi suasana ini tetap tidak membuatku betah. Semua hening seketika. Grace mendatangi kami dengan kondisi muka lesu. "Kalian pulang saja sekarang, ini adalah Paman Bren, semuanya aman sekarang kalian tidak usah khawatir," kata Grace. Aku dan Anton saling berpandangan sebentar sebelum kami bertiga berpelukan. "Hei, besok kita main ya, Aku sudah sangat lelah hari ini," seru Anton. "Besok janji kita main lagi ya, Aku rindu dengan candaan kalian," balasku. Akhirnya Aku dan Anton berjalan pulang dan meninggalkan semua kegaduhan ini.

Aku bangun pagi ini lebih siang dari biasanya akibat kejadian kemarin malam. Nenekku memberikan aku suatu kabar. Setelah itu Aku menyalakan TV di ruang tamu. Kebetulan hari ini libur, jadi Aku menghabiskan seluruh waktuku di rumah sendirian.

Keesokan harinya, Aku mendatangi taman tempat kami biasanya berkumpul. Aku duduk sembari melihat mentari yang sebentar lagi tenggelam. Sebenarnya aku menunggu Anton, tetapi nenekku menyeru agar Aku tidak berlama-lama di taman. Omong - Omong aku hari ini mengenakan kemeja hitam yang megah. Oh, kalau perasaanku saat ini sedang hampa. Bukan karena dimusuhi oleh Anton dan Grace, tetapi karena hal lain. Minggu-Minggu ini membuatku tersadar akan suatu hal. Hidup itu indah dan ada waktunya. Contohnya, ketika Aku bertemu Grace dan Anton. Terkadang hidup juga sangat sulit dimengerti, tetapi Aku saat ini sungguh penasaran mengenai masa depanku. Kira-Kira apa yang akan terjadi? Aku masih ingin hidup dan melihat segalanya

Satu lagi! Aku lupa mengatakan sesuatu. Sebenarnya ini adalah detik-detik perjalananku menuju ke pemakaman teman baikku, Grace. Dia dibunuh oleh orang yang menyebut dirinya sebagai 'Paman Grace'. Hidup itu memang penuh kejutan ya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun