Ck. Ternyata sudah selama ini aku berada di dalam sana. Bahkan teman sekelompokku tidak ada satupun yang ingin menemaniku menyelesaikan tugas yang wajib dikumpulkan sebelum jam delapan malam. Kalau seperti ini, untuk apa dibuat kelompok? Bahkan para dosen yang memberikan tugas itupun tak peduli pada keadaan mahasiswanya. Tak peduli pada perjalanan panjang yang akan ditempuh beberapa mahasiswa yang berkuliah di sini. Seperti diriku. Berjalan sendirian melewati trotoar yang sepi. Kendaraanpun sangat jarang yang berlalu-lalang di sekitar sini.
Dikarenakan terlalu lama berjalan dan udara malam yang semakin menusuk hingga ke tulang---apalagi dengan kondisiku yang hanya memakai kemeja lengan pendek---sampai-sampai aku merasa sangat menggigil. Buku-buku jariku mulai membiru. Saat ini aku merasa bagaikan ada suatu beban yang mengikat kakiku sehingga aku merasa bahwa kaki ini sudah tak sanggup lagi untuk melangkah. Tubuhku sudah sangat lelah. Rasanya aku ingin segera merebahkan tubuh ini diatas kasur yang empuk. Namun apa daya, kakiku sudah tak sanggup lagi untuk menahan tubuh ini apalagi dipaksakan untuk berjalan.
Sampai akhirnya kedua netraku melihat sebuah kursi panjang di trotoar ini. Tapi ada satu yang mengherankan disini. Ku lihat seorang perempuan dengan seragam---seperti pakaian dinas dari pers mahasiswa yang ada di kampusku---sedang terduduk di sana. Dengan kamera DSLR yang menggantung di bahu, serta tangannya yang menari-nari diatas buku berukuran kecil. Raut wajahnya terlihat begitu serius ketika ia menulis. Seolah-olah tak ingin ada satu detailpun yang tertinggal. Karena sudah terlalu lelah, akupun memutuskan untuk duduk disebelahnya---tentu saja tanpa berniat untuk mengganggu---sekaligus mengistirahatkan tubuhku ini barang sejenak.
"Halo.. Apakah aku boleh duduk di sini?" tanyaku meminta izin. Takut saja jika kedatanganku malah mengusik konsentrasinya.
"Oh, iya. Silahkan," balas wanita itu singkat, akan tetapi pandangan matanya masih terpaku pada catatan kecil yang sedari tadi ia pegang.
"Terima kasih."
Kemudian akupun duduk disebelahnya, lalu memejamkan mata seraya menyilangkan tangan di depan dada. Angin yang berhembus terasa menenangkan hatiku sehingga membuatku merasa nyaman dan rileks. Keadaan ini membuat diriku seakan-akan diculik ke alam bawah sadar.
"Kalau mau tidur jangan di sini," ucap gadis yang berada disebelahku. Membuatku seketika membelalakan mata saking terkejutnya.
'Bagaimana tidak terkejut? Di saat suasana lagi hening begini, tiba-tiba dia bersuara seperti itu. Ck. Mengganggu saja,' pikirku.
"Padahal aku cuma mau memejamkan mata saja," ucapku yang masih jengkel kepadanya. "Lagipula, kenapa kamu masih di sini? Di tempat sepi, sendirian, tidak ada manusia lain."
"Memangnya kamu bukan manusia?"
'Sial.'
"Ya, tentu manusia, dong! Maksudku, sebelum aku datang, 'kan kamu cuma sendirian."
"Aku sudah biasa seperti ini. Sendirian membuatku nyaman. Memangnya kamu tidak merasa seperti itu?"
"Hm. Akupun sebenarnya lebih suka menyendiri. Tapi kalau menyendirinya di sini sih, ya jelas saja aku nggak mau," jawabku. "Kamu sendiri dari Universitas Persada Nusantara, 'kan?"
"Iya. Hm, kenalin, aku Karin dari Fakultas Sastra dan Ilmu Budaya," ucapnya seraya menjulurkan tangannya.
Aku segera menyambut uluran tangannya. "Aku Nathan," jawabku tanpa ingin menyebutkan asal fakultasku.
"Oh, ok. Kayaknya aku pernah ngeliat kamu, deh," ucapnya yang membuatku jadi penasaran.
"Hah? Di mana?"
"Nah itu aku lupa. Hm.. kalo nggak salah, waktu demo di kampus semester lalu. Kamu ikut 'kan, ya?"
"Ah, iya. Aku ikut. Ingatanmu hebat juga, ya. Padahal baru ngeliat sekali."
"Jelas dong. Hahaha. Waktu itu aku lagi ngeliput di sana, pas lagi rusuh-rusuhnya itu. Terus ngeliat kamu. Ya udah, aku jadi inget sampai sekarang."
"Segitu berkesannya aku, ya?"
"Hahahaha. Nggak juga," balasnya seraya tertawa ringan. "Oh, iya. Karena tugasku udah selesai. Aku pamit dulu, ya."
"Memangnya tau jalan pulang?"
"Ya, taulah. Memangnya aku anak kecil? Sudah, ya. Aku pergi dulu," ucapnya, yang kemudian langsung pergi menyebrangi jalan.
"Perlu aku antar?" teriakku ketika dia sudah berada di sebrang jalan.
"Nggak perlu. Terima kasih, Nathan," ucapnya yang langsung pergi begitu saja dan memasuki salah satu jalan setapak tanpa lampu yang ada di sebrang jalan. Lalu, dengan perlahan bayangannya pun mulai menghilang ditelan kegelapan.
Setelah kepergiannya, aku mulai merenungkan tentang sosok yang baru saja pergi meninggalkanku sendirian di sini. Siapa gadis bernama Karin itu? Kenapa mengenaliku yang notabennya adalah mahasiswa unpopular dan tidak memiliki banyak relasi dari fakultas lain? Lalu, pikiranku mulai menerawang ke masa lima bulan yang lalu. Saat terjadinya demo. Karin. Anggota pers mahasiswa. Mahasiswa Fakultas Sastra dan Ilmu Budaya.
Ah, sial! Aku benar-benar tidak mengenal dia siapa. Tapi rasanya wajah itu memang familiar di otakku. Tapi, siapa?
Karena terlalu penasaran, akhirnya aku membuka smartphone-ku dan menuju ke google untuk mencari tahu tentangnya. Siapa tahu memang ada, 'kan? Jadi tidak salahnya aku mencari di sana.
Selang beberapa menit kemudian, mataku sontak terbelalak. Rasanya mata ini seperti ingin melompat begitu saja saking terkejutnya. Headline berita ini sungguh membuatku terkejut.
'SEORANG MAHASISWI TEWAS SAAT DEMO DI UNIVERSITAS PERSADA NASIONAL'
Seketika pikiranku langsung melesat pada saat di mana aku memang melihat seorang mahasiswa perempuan yang terinjak oleh mahasiswa lain ketika dirinya tengah meliput demo yang terjadi di kampusku. Hal itu terjadi ketika kepolisian sedang membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata ke mahasiswa yang ada di sana. Ketika sedang berlari menghindar, aku melihat tubuh seorang mahasiswi lemah tak berdaya akibat terinjak-injak. Kemudian aku langsung menghampirinya, tetapi ia sudah dalam kondisi pingsan, lalu akupun mengangkat tubuhnya dan ku bawa sampai menuju ambulance yang lumayan jauh dari tempatku berdiri. Dengan gerakan cepat, petugas yang ada di ambulance itu segera pergi menuju ke rumah sakit terdekat. Dan setelahnya, aku tidak mengetahui kabarnya lagi.
Ternyata cepat aku melupakan hari itu. Hari di mana aku pernah menyelamatkannya. Bahkan aku agak lupa dengan wajahnya karena keadaan waktu itu benar-benar membuatku panik di tengah suasana yang sedang kalut.
Kemudian kepalaku menoleh ke sebrang jalan. Tepatnya ke arah jalan setapak yang sempat dilewati oleh gadis bernama Karin. Dan baru aku sadari, bahwa ternyata jalan setapak itu merupakan salah satu akses menuju pemakaman.[]