Semua berawal dari dua situs berikut ini, Republika dan Detikcom yang sama-sama mengulas tentang ilmuwan fisika yang menjadi mualaf karena keilmuwannya.
Sosok yang diberitakan sebagai ilmuwan mualaf itu adalah Demitri Bolykov, seorang ilmuwan asal Ukraina yang masuk Islam setelah melakukan sejumlah penelitian ilmiah. Bolykov, bersama rekan satu timnya Nicolai Kasinikov, melakukan percobaan tentang perputaran bumi pada porosnya, yang ujungnya menyimpulkan bahwa kutub magnet bisa berubah, dan bumi bisa berputar ke arah sebaliknya. Hal ini, sebagaimana tersirat dalam tulisan Detikcom, membenarkan ajaran kepercayaan Islam bahwa di hari kiamat matahari bisa terbit dari sebelah barat.
Oke, saya tidak akan membahas dari segi benar-salahnya teori tersebut secara fisika. Saya juga tidak akan membahas soal benar-salahnya agama Islam. Saya tertarik pada kecerobohan redaktur Republikaonline dan Detikcom dalam mengangkat suatu issue, mengingat dua media tersebut adalah media cukup ternama di Indonesia, yang semestinya bisa jadi acuan informasi.
Cerita Demitri Bolykov jadi mualaf tersebut, telah lama saya baca di sebuah blog di internet. Artinya, cerita tersebut memang bukan pertama kali muncul di Republikaonline maupun Detikcom. Sejak pertama kali membaca kisah tersebut, saya sudah menduga bahwa kisah tersebut cuma hoax internet yang menjadi viral. Banyak kok kisah mualaf palsu yang beredar di internet, salah satunya adalah kisah Jaques Cousteau masuk Islam yang tidak jelas sumber asalnya dari mana. Sampai akhir hayatnya, Cousteau adalah penganut Katolik dan dimakamkan secara Katolik. Tidak pernah ada pernyataan resmi atau sumber internet resmi yang bisa dijadikan acuan valid bahwa Cousteau telah masuk Islam. Demikian pula kisah Neil Armstrong yang juga dikabarkan masuk Islam setelah mendengar adzan di Bulan.
Tokoh Fiktif
Baik Cousteau maupun Armstrong, adalah tokoh prominent yang kita semua telah kenal. Keduanya bukan sosok fiktif. Mudah mencari profilnya di google. Yang fiktif hanya cerita masuk Islamnya. Lain halnya dengan Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov, keduanya tidak jelas siapa profilnya.
Siapakah Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov? Jika anda search di google dengan kata kunci kedua tokoh tersebut, anda tidak akan menemukan apa-apa kecuali artikel hoax yang menyebut nama mereka. Jika ejaan nama kedua tokoh tersebut anda rubah sedikit, dengan asumsi barangkali Republika atau Detikcom keliru mengeja secara tepat nama tokoh tersebut, tetap saja anda tidak akan menemukan apa-apa yang relevan dengan fisika, kecuali cerita hoax tersebut.
Jika Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov memang betul tokoh fisika, dengan karyanya yang diceritakan tersebut pasti merupakan sosok prominent di bidangnya, dan pasti tidak akan sulit mencari informasi dan profilnya via google. Bahkan, jika ejaan yang kita ketik salah pun, google akan secara otomatis mengkoreksinya. Dan pastinya, tidak akan sulit mengetahui bagaimana wajah tokoh-tokoh tersebut sehingga Republika dan Detikcom tidak sembarang menaruh foto orang lain yang diklaim sebagai Demitri Bolykov.
Ini kesalahan kedua: Republikaonline dan Detikcom telah gegabah memasang foto orang lain sebagai “Demitri Bolykov”. Lucu sekali! Apakah kedua media mainstream tersebut profesional? Apakah mereka memahami etika jurnalistik?
Siapakah profesor berwajah oriental yang dipajang sebagai Demitri Bolykov tersebut? Ternyata adalah Profesor Xinsheng Sean Ling dari Brown University! Bahkan dengan mudah kita bisa tahu email pribadinya: xsling@brown.edu
Kisah hoax di internet bukanlah barang baru. Sejauh ini, saya telah membaca banyak sekali informasi dan extraordinary claims yang tidak jelas asal muasalnya. Namun yang menyedihkan, adalah ketika cerita-cerita hoax tersebut dimuat di media mainstream seperti Republikaonline dan Detikcom.
Sejauh ini saya memandang Republikaonline cukup baik. Walaupun sajiannya cenderung bias ke arah Islam, saya pikir wajar asal masih berbasis fakta. Demikian juga Detikcom, yang walaupun dalam beberapa pemberitaan terkesan lebay, saya menilai masih dalam taraf kewajaran asalkan tetap berbasis fakta. Namun setelah membaca artikel berita di atas, sejujurnya saya mulai ragu terhadap kredibilitas dan kebenaran sajian media Republia dan Detikcom.
Media massa boleh bertendensi miring ke kiri maupun ke kanan. Tapi sebaiknya tetaplah menjunjung tinggi etika mendasar dalam jurnalistik, yaitu hanya memberitakan fakta, dan memperhatikan betul aspek “sumber berita”. Saya membayangkan, bagaimana kalau berita di Republika dan Detik tersebut diupload di Kompasiana oleh Kompasianer, pasti bisa dilaporkan ke admin dan diberangus. Apalagi itu diupload oleh media ber-SIUPP sekelas Republika dan Detik. []
Note: Terima kasih kepada Jessica Siscawati yang pagi-pagi kasih sudah kasih link blog ulasan pribadinya. Tema sejenis telah pula diupload di Kompasiana.