Di pihak pemerintah (khususnya DPR), desakan ini adalah pukulan telak bagi DPR. Potret DPR di mata rakyat sedang buruk berhubung beberapa anggotanya tersangka korupsi. DPR "mungkin" merasa ditelanjangi. Bagaimana tidak, KPK dengan genjarnya mengejar korupsi di kalangan DPR dan pada saat yang sama KPK mengajukan pembangunan gedung baru yang harus mendapat persetujua DPR. Bisa dibayangkan wajah-wajah anggota DPR ketika membahas anggaran KPK ini. Mungkin merah padam dan penuh amarah. Tetapi akan sangat memalukan jika ini sungguh terjadi di kalangan DPR, sebab mereka ada di sana, sebenarnya bukan atas nama pribadi pun partainya, melainkan terutama karena rakyat. Maka, mau tidak mau, DPR harus mengambil sikap. Apalagi sebagian anggotanya, justru tidak mendukung sikap mereka yang menunda guyuran dana itu.
Saat tiba saatnya DPR harus menentukan sikap, mulailah bermunculan opini para elite partai politik. Mereka beramai-ramai mengajukan pendapat yang pada akhirnya cenderung menyetujui guyuran dana itu. Ini adalah kesempatan bagi partai politik untuk merap citra "pro rakyat". Mengapa pro rakyat? Karena rakyat menyetujui guyuran dana itu, sehingga untuk mengambil hati rakyat, para elite partai mengambil kesempatan. Pertanyaannya adalah dimana para elite partai ini sebelum rakyat bergerak? Mengapa mereka baru muncul? Di sinilah rakyat Indonesia dihadapkan pilihan yang sulit.
Bagi KPK, penomena ini adalah tanggung jawab besar. Apabila kinerja mereka tidak membuahkan hasil, maka habislah mereka dihujat rakyat. Tetapi KPK kelihatannya sudah memperhitungkan ini, sebab dari beberapa kasus yang mereka kerjakan, sebagian besar sudah menunjukkan hasil. Kita hanya bisa berharap, dengan dukungan rakyat yang sangat besar, KPK mampu menjadi lebaga penyelamat negeri ini.