Menyambung dari tulisan sebelumnya, mohon maaf jedanya lama banget, maklum Ane bukan penjaga warnet atau pengangguran yang bisa setiap saat nongkrongin Kompasiana atau menjawab setiap komentar yang masuk ke tulisan Ane, terutama sejak pindah tugas ke Banjarmasin, kesibukan Ane menjadi berkali-kali lipat. Pada tulisan kali ini, Ane akan mengisahkan mengenai bergulirnya LPI, Kongres PSSI 2011, Kongres Pemilihan Ketum PSSI 2011-2015 sampai dengan bergulirnya IPL . Bagi yang menanyakan link sumbernya bisa searching di google, banyak sekali tersedia referensinya. Ane ga masukin karena terlalu banyak, padahal artikelnya sudah terlalu panjang.
BERGULIRNYA LIGA PRIMER INDONESIA (LPI)
Dengan segala keterbatasan, LPI bergulir di tengah-tengah musim bergulirnya ISL. Pada Oktober 2010, 17 perwakilan klub beserta konsorsium mendeklarasikan berdirinya LPI di Semarang. LPI sendiri mengadopsi sistem yang digelar oleh MLS (Liga Amerika Serikat), karena di Indonesia saat ini belum ada klub yang sudah benar-benar kuat secara marketing, finansial dan managerial. Hal ini menyulut kemarahan para petinggi PSSI, yang sudah mencoba menghambat dengan tidak mengeluarkan perizinan. Namun, sayangnya PSSI tidak pernah menyebutkan alasan pasti penolakan mengeluarkan izin bergulirnya LPI, selain dengan istilah kompetisi ecek-ecek, tarkam, banci, dan sebutan negatif lainnya. Ditambah lagi dengan bergabungnya 4 klub barisan sakit hati dari ISL, yaitu Persema Malang, Persibo Bojonegoro, PSM Makassar dan Persebaya Surabaya. Jika Persebaya Surabaya sakit hati karena "sengaja didegradasikan" di tahun 2009 untuk menyelamatkan Pelita Bakrie, maka Persibo Bojonegoro, Persema Makassar dan PSM Makassar sakit hati karena semakin parahnya kualitas kompetisi ISL di edisi tahun ketiga (2010) tsb. LPI akhirnya mendapatkan izin bergulir dari BOPI dan Kementrian Pemuda dan Olahraga.
Jika pada edisi pertama tahun 2008, PTLI masih terlihat sangat baik dalam mengatur kompetisi, maka pada tahun-tahun berikutnya kualitas ISL semakin amburadul, dan ditengarai semakin banyaknya kasus pengaturan skor. Jika beberapa tahun sebelumnya kasus pengaturan skor melibatkan korps berbaju hitam (Wasit) dengan terbongkarnya MAFIA WASIT, maka di ISL edisi kedua dan ketiga bukan hanya wasit yang "bermain", tapi sampai ke tingkat elit pengurus PSSI. PTLI yang menjadi operator liga tidak lagi berdaya (tidak lagi bisa independen) melawan kekuatan pengurus PSSI yang menunjuk mereka. Klub-klub yang tidak diinginkan pun mulai digerogoti dengan hujan kartu ataupun hukuman partai tanpa penonton. Penonton-penonton siluman yang disusupkan untuk membuat kerusuhan pada suatu pertandingan, sehingga suatu klub harus menjalani partai usiran, tujuannya adalah memiskinkan klub-klub tsb untuk mempromosikan klub-klub yang bisa mendatangkan keuntungan lebih karena banyaknya bantuan subsidi dari pemerintah. Belum lagi pertandingan-pertandingan yang ditunda, jika ada partai-partai yang saling menentukan terjadwal secara bersamaan. Akibatnya kompetisi yang molor dari jadwal sebelumnya menjadi pemandangan yang lumrah di kompetisi persepakbolaan kita.
Kasus-kasus pengaturan skor tsb menjadi sulit dibongkar, karena hampir seluruh petinggi PSSI, PTLI dan peserta ISL dibuat saling terlibat. Ditengarai uang-uang tsb mengalir ke rekening-rekening tertentu untuk persiapan pergantian pengurus di tahun 2010. Begitu juga penentuan klub-klub yang promosi dan degradasi ditengarai ada kaitannya dengan partai-partai tertentu untuk persiapan pergantian pengurus serta Pemilu 2014. Jika Anda masih tertipu bahwa Nurdin Halid ingin terpilih menjadi Ketum PSSI lagi di tahun 2010, berarti Anda seperti Ane dan kebanyakan pengamat sepak bola Indonesia lainnya. Sebenarnya Nurdin Halid mengincar kursi ketua AFF yang akan dihelat tahun 2011. Kursi ketua umum PSSI yang ketiga kalinya hanyalah kamuflase untuk memperlihatkan bahwa Nurdin Halid begitu hebat dan kharismatik, serta memperlihatkan bahwa sepakbola Indonesia sudah sedemikian sukses dengan berhasil menggelar Asian Cup 2007 dan AFF Cup 2010 dengan animo yang begitu besar.
Awalnya LPI akan diikuti oleh 16 tim, kemudian ada penambahan menjadi 18 dan hampir menjadi 20 tim. Namun, belakangan Persik Kediri belum siap dan memilih menunda bergabung, sehingga LPI finally diikuti oleh 19 tim, yaitu Persebaya Surabaya, Persema Malang, Persibo Bojonegoro, PSM Makassar, Atjeh United, Bintang Medan, Medan Chiefs, Minangkabau FC, Batavia Union, Jakarta FC, Bogor Raya, Bandung FC, Tangerang Wolves, Real Mataram, Solo FC, Semarang United, Bali Devata, Manado United dan Cendrawasih Papua. Seperti Ane ungkap sebelumnya, beberapa pertandingan di LPI berjalan kurang gereget. Status sebagai klub-klub baru, membuat mereka masih belum banyak dikenal oleh masyarakat. Tercatat hanya 4 klub eks ISL, Semarang United, Bali Devata, Real Mataram, Solo FC dan Bogor Raya yang berhasil menarik minat banyak suporter untuk datang ke stadion. Belakangan Bandung FC, Atjeh United, Tangerang Wolves dan Batavia Union perlahan mulai mendapatkan perhatian dari publik pecinta sepakbola di daerahnya masing-masing.
Meskipun beberapa pertandingan kurang gereget, LPI mampu bergulir dengan lancar dan cukup baik. Munculnya minat yang kian besar, membuat PSSI dan PTLI merasa terancam sehingga menghukum pemain-pemain yang terlibat di LPI dengan dicoret dari tim nasional. Selain itu, 4 tim diancam akan dikeluarkan dari keanggotaan PSSI. Mendapat ancaman tsb, para pemain dan klub-klub eks IPL tidak mempedulikan, karena 4 klub tsb memang berniat keluar dari PSSI. Petinggi PSSI pun mengirimkan surat ke FIFA mengenai adanya kompetisi profesional yang bergulir di luar yuridiksi PSSI. FIFA pun akhirnya mengeluarkan surat kepada PSSI (meskipun banyak yang menganggap surat dari FIFA yang ditunjukkan PSSI adalah palsu) yang salah satunya adalah menyatakan LPI sebagai breakaway league. Padahal seharusnya PSSI tidak perlu mengindahkan LPI, karena yang bermain adalah klub-klub di luar anggota PSSI serta 4 klub yang mundur dari ISL. Toh, mereka juga tidak akan bisa kemana-mana, selain hanya memberikan hiburan alternatif kepada para penggila sepakbola Indonesia. Tapi, di sini bukan hanya soal uang, tapi menyangkut kekuasaan. Kalau PTLI sampai kalah pamor, kemudian klub-klub ISL menyeberang ke LPI dan suporter kemudian berduyun-duyun menonton LPI, maka bisa-bisa ambisi 2014 terkubur.
KONGRES PSSI 2011
Pada 22 Januari 2011, PSSI menggelar Kongres tertutup di Bali. Padahal seharusnya kongres ini berjalan terbuka, karena hanya kongres tahunan biasa. Kongres ini ditengarai untuk memuluskan langkah Nurdin Halid sebagai Ketum PSSI yang ketiga kalinya berturut-turut sekaligus batu loncatan untuk menjadi ketua AFF 2011-2015, sehingga Kongres ini diundur dari tadinya akan dilaksanakan pertengahan tahun saat jeda kompetisi menjadi usai gelaran AFF Cup 2010 yang sudah dipoles sedemikian rupa sebagai ajang pencitraan. Selama jalannya kongres, arena kongres dijaga ketat oleh ormas-ormas bayaran untuk mencegah wartawan dan berbagai elemen suporter di tanah air yang menggelar demo masuk ke arena kongres, serta tidak mengundang 4 klub anggota PSSI yang menyeberang ke LPI. Padahal mereka masih sah sebagai anggota PSSI karena hanya mengundurkan diri dari ISL, dan secara statuta keanggotaan mereka hanya bisa dihapuskan kalau disetujui oleh minimal 3/4 peserta melalui kongres tahunan PSSI.
Kongres Bali menghasilkan 10 keputusan, yang mana salah satu keputusannya soal 4 klub yang membangkang berbeda-beda. PSSI sendiri tidak bisa menjelaskan latar belakang pasti alasan membuat keputusan yang berbeda terhadap 4 klub tsb, selain hanya dalih-dalih yang tidak masuk akal, seperti PSM belum memulai pertandingan dsb. Padahal realitanya Kongres dimajukan sebelum jadwal pertandingan yang melibatkan PSM dilaksanakan. Uniknya lagi adalah Persebaya Surabaya, yang mana perwakilannya yang hadir di kongres PSSI adalah official Persikubar Kutai Barat. Jadi, dari 4 klub eks ISL, 2 klub kecil Persema dan Persibo dipecat, sedangkan klub tempat asal Nurdin Halid, PSM Makassar dan Persebaya Surabaya, yang memiliki animo penonton besar tidak dipecat oleh PSSI, untuk tetap menjaga suara di 2014. Dari sinilah asal muasal Persebaya DU eks Persikubar muncul, di mana tim Persebaya DU adalah tim bedol desa dari Persikubar Kutai Barat. Selain fakta unik Persebaya eks Persikubar, fakta unik lainnya adalah PSM Makassar, di mana dalam hasil kongres Bali PSM diberi sanksi turun ke Divisi 1, tapi tahun lalu PSM Makassar versi baru dari Kadir Halid (saudara Nurdin Halid) memulai kompetisi dari Divisi 3. Benar-benar pikun yang sangat akut.
10 hasil Kongres Bali adalah (1) Laporan Pertanggungjawaban pengurus PSSI periode sebelumnya; (2) Penetapan program kerja selama tahun 2011; (3) Pengesahan pemecatan Persema Malang dan Persibo Bojonegoro; (4) Kongres merestui pelatnas jangka panjang untuk SEA GAMES 2011 di mana tim dilatih oleh Alfred Ridle dan ditargetkan meraih emas; (5) Penetapan 23 anggota baru PSSI; (6) Memberikan sanksi kepada PSM Makassar turun ke Divisi 1; (7) Pemecatan Persma Manado, Persegi Gianyar dan Gaspa Palopo akibat sanksi dari FIFA karena tidak melunasi pembayaran gaji pemain asingnya; (8) Pengembalian 99% saham PTLI kepada klub-klub ISL saat itu; (9) Menargetkan tahun 2014 seluruh klub ISL bebas APBD (hal yang sama dikatakan saat pertama kali bergulirnya ISL tahun 2008); (10) Kongres Pemilihan Ketum PSSI 2011-2015 di Bintan 19 Maret 2011.
KONGRES PEMILIHAN KETUM PSSI 2011-2015
Setelah beberapa kali gagal menggelar kongres akibat ulah dari beberapa oknum yang mengaku reformis, akhirnya Kongres Pemilihan Ketum PSSI berlangsung lancar di Solo, Jawa Tengah, yang dikoordinir oleh Komite Normalisasi pimpinan Agum Gumelar. Sebetulnya Komite Normalisasi sudah pernah menggelar Kongres di Jakarta sebagai pengganti kongres di Pekanbaru yang chaos, tapi ternyata kongres ini pun gagal karena terlalu banyaknya interupsi dari kelompok yang menamakan K78. Tapi, hal yang luput dari perhatian adalah K78 membawa gerbong panjang pengurus lama, karena di dalam kelompok ini tidak ada satupun orang yang terlibat dalam LPI maupun kaum-kaum reformis sepakbola Indonesia. Setelah RASN November 2011, orang-orang ini muncul lagi dengan topeng baru bernama KPSI yang sudah dimodifikasi dengan penambahan personel-personel dari pengurus PSSI era 2007-2011.
Dalam perjalanan menuju Kongres Solo ini, berbagai intrik bermunculan di antaranya beberapa orang lama yang mulai memecah kekuatan untuk masuk ke berbagai kalangan. Ada yang menyatakan sementara mundur dari persepakbolaan nasional, ada yang mendaftar menjadi Exco, ada yang menyusup ke dalam K78 serta ada yang pasang topeng reformis. Berbagai siasat disusun untuk membuat seolah sepakbola Indonesia tidak bisa lepas dari pengurus lama. Salah satunya adalah menciptakan chaos pada kongres di Pekanbaru, Riau. Pengurus PSSI melaporkan bahwa kejadian itu dibacking oleh Arifin Panigoro dan George Toisutta. Hal ini sebagai antisipasi kalau NH dan NDB dilarang mencalonkan kembali. Dengan situasi yang seolah-olah terjadi perebutan kekuasaan oleh dua kubu antara kubu GT-AP dengan NH-NDB, maka FIFA akan melarang keduanya mencalonkan diri. Ternyata skenario berjalan mulus, tanpa GT-AP reformasi sepakbola nasional akan mudah dipatahkan.
Strategi kedua adalah membuat deadlock kembali kongres yang digelar Komite Normalisasi di Jakarta, dengan kembali menyodorkan nama GT-AP sebagai topik utama. Hal ini dimaksudkan agar seolah-olah GT-AP (khususnya AP) memang menjadi dalang kerusuhan sepakbola Indonesia. Namun, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba K78 luluh dan tidak lagi berontak di Kongres yang dilaksanakan di Solo. What Happen?. Ya, strategi mereka sudah berjalan mulus. FIFA telah menjatuhkan keputusan bahwa GT-AP tidak boleh maju mencalonkan diri sebagai Ketum-Waketum PSSI 2011-2015, meskipun keputusan itu ditengarai sengaja diada-adakan oleh pengurus PSSI, karena sejatinya FIFA merasa tidak pernah menjatuhkan sanksi apapun atas GT-AP, seperti yang disampaikan oleh Prince Ali bin Al Hussein (Wakil Presiden FIFA).
Dalam kunjungannya ke Indonesia, Prince Ali bin Al Hussein bertemu beberapa pihak, seperti ketua KOI (Rita Subowo), Menpora Andi Malarangeng, Ketua Normalisasi Agum Gumelar dan Arifin Panigoro. Dalam pertemuannya dengan Arifin Panigoro, beliau banyak mengajak diskusi dan memberikan nasehat, di antaranya Prince Ali meminta AP bisa menerima apapun keputusan jika nantinya ternyata dia tetap tidak boleh maju sebagai Waketum, menghentikan LPI demi kebaikan sepakbola Indonesia, tetap mendukung perkembangan persepakbolaan Indonesia dan mengawal proses transformasi sepakbola Indonesia. Dalam perbincangan tsb, AP memaparkan bagaimana konsep LPI dan latar belakang dia ikut terjun, hingga menghabiskan uang hampir Rp. 1 Triliun. Toh, selama ini dia juga menggulirkan Liga Medco tanpa bantuan PSSI sedikitpun. Namun, dalam diskusi tsb, AP minta kalau nanti LPI dihentikan, maka klub-klub LPI boleh ikut dalam unifikasi liga yang digulirkan oleh PSSI.
Akhirnya dalam Kongres yang berlangsung anti klimaks, Profesor Johar Arifin Husein terpilih sebagai Ketum PSSI yang baru, sedangkan Farid Rahman terpilih sebagai Waketum-nya. 9 Exco terpilih, yaitu Bob Hippy, Sihar Sitorus, La Nyalla Mataliti, Roberto Rouw, Tony Apriliani, Mawardy Nurdin, Tuti Dau, Widodo Santoso dan Erwin Dwi Budiawan. Sebenarnya dari sini sudah mulai tercium ketidakberesan, di mana tim verifikasi sepertinya tidak melihat aturan pemilihan di mana kandidat yang mencalonkan diri harus sudah berkecimpung di dunia persepakbolaan Indonesia minimal 5 tahun secara terus menerus. La Nyalla dan Farid Rahman adalah di antaranya orang-orang yang tidak memenuhi syarat tsb, tapi ternyata tetap bisa masuk bursa kandidat dan terpilih. Apalagi 4 Exco di antaranya adalah penghuni gerbong lama, yang akhirnya menjadi duri dalam daging dalam kepengurusan PSSI periode 2011-2015.
PEMBELOTAN PTLI DAN KLUB-KLUB ISL
Melihat komposisi 4 berbanding 5 antara gerbong lama dengan gerbong baru, maka para pendukung gerbong lama tidak mungkin bisa memenangkan persaingan dalam setiap pengambilan keputusan. Apalagi Ketum PSSI mengisyaratkan untuk memeriksa keuangan PTLI yang tidak sehat. Selama kompetisi 2009-2010 dan 2010-2011 PTLI merugi sekitar Rp. 55M. Secara logika sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin ISL yang pesertanya selalu lebih dari 18 tim terbaik negeri ini, yang penonton di stadionnya selalu penuh, dan sponsor yang mengantri untuk menjadi rekanan klub yang berlaga, didukung perusahaan besar seperti Djarum dan HM Sampoerna, serta hadiahnya yang tidak seberapa, bisa merugi sebanyak itu?. Kalau Anda sebagai pemilik perusahaan (dalam hal ini PSSI), apakah berlebihan kalau meminta laporan keuangannya?. Nah, di sinilah awal pembelotan terjadi. Djoko Driyono mendadak menyatakan mundur dari dunia persepakbolaan nasional, dan PTLI tidak kunjung memberikan laporan keuangan untuk keperluan audit.
Diam-diam selama keluar dari PSSI, Djoko Driyono mulai menghubungi klub-klub ISL untuk kembali memutar ISL setelah SEA GAMES, serta menyusun siasat penggulingan kekuasaan. Memang tidak semua klub ISL tertarik dengan ajakan Djokdri. Klub-klub yang bersedia ikut kembali ISL kemudian dikenal dengan kelompok 14. Nah, mulai ketahuan kan siapa yang suka menamakan diri dengan istilah Kelompok XX. Nah, di sinilah mereka menjadikan Persib sebagai umpan untuk memuluskan strategi. Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa Persib?. Begini, selama ini Persib dicitrakan sebagai klub yang sudah mapan, tidak mendukung pihak manapun, bebas APBD, memiliki sponsor yang banyak, ditambah lagi dukungan dari bobotoh di seantero Jawa Barat dan sekitarnya. Coba cek lagi, siapa-siapa orang di balik baju Persib.... Ada Dada Rosada dan Erick Thohir (Direktur Viva Grup). Coba cek sponsor-sponsor yang masuk ke Persib didominasi perusahaan yang berafiliasi dengan kedua nama tsb. Jadi, masih yakin kalau Persib itu tidak berhubungan dengan APBD dan gerbong pengurus lama?. Coba diingat-ingat lagi, siapa nama klub yang sering nongol saat kericuhan kedua kubu kalau bukan Persib?. Saat LPI bergulir, nama Persib disebut-sebut akan keluar dari ISL dan bergabung dengan LPI. Kemudian, saat liga dimulai Persib tetap bertanding untuk mengacaukan susunan jadwal IPL. Lalu saat undangan-undangan dari PSSI, siapa klub ISL yang selalu hadir?. Siapa klub yang menyatakan ingin kembali ke pangkuan PSSI?. Persib bukan?. Persib selalu memberikan harapan semu, agar seolah-olah mereka netral. Maklum, jarak Jakarta-Bandung bukanlah masalah yang berarti. Tapi, nyatanya Persib tidak pernah bergabung dengan LPI, IPL ataupun kembali ke pangkuan PSSI. Waduh, kasihan bener para bobotoh yang berhasil dikibulin Persib selama bertahun-tahun.
Awalnya klub-klub ISL menyebut unifikasi liga tidak adil, karena mengikutkan klub-klub LPI yang tidak mengikuti kompetisi dari awal, tidak berdarah-darah, melanggar hasil kongres Bali (lihat kembali hasil kongres Bali di bagian Kongres PSSI 2011, apakah menyebut jumlah peserta ISL), kemudian masalah hak siar televisi juga diangkat. Padahal klub-klub LPI yang ikut IPL adalah klub-klub eks ISL, tidak ada klub yang murni dari LPI yang mendaftar sebagai peserta IPL. Mengenai hak siar, coba dipikir lagi, apa ini menjadi urusan klub?. Bukankah kalau hak siar lebih tinggi menjadi keuntungan bagi klub?. Tapi, entahlah jalan pikiran klub-klub ISL, yang jelas alasan-alasan tsb menurut Ane hanyalah dalih untuk mencari pembenaran pembangkangan mereka.
LAHIRNYA INDONESIAN PREMIER LEAGUE (IPL)
Melihat gelagat negatif PTLI, PSSI mencoba membujuk PTLI untuk tetap memutar kompetisi sesuai jadwal yang disepakati yaitu bulan Oktober 2011. Namun dengan berbagai alasan Djokdri tetap menyatakan mundur. Akhirnya PSSI menggelar rapat Exco untuk mencari jalan keluar, dan disepakati membentuk operator baru yang diberi nama LPIS dan diketuai oleh Wijayanto. Permasalahan pertama timbul karena tim verifikasi diisi oleh gerbong lama, yaitu Tony Apriliani yang belum banyak tahu mengenai aturan sepakbola. Akibatnya sengketa yang terjadi pada beberapa klub seperti Persija dan Arema tidak teratasi. Exco gerbong lama yang lain ikut mengompori, seperti Roberto Rouw yang ikut menerjunkan anggota-anggota Ormas Pemuda Pancasila yang menyamar menjadi the Jakmania untuk melakukan demo The Jakmania di kantor PSSI. Padahal kalau yang tahu seluk-beluk Persija pimpinan Ferry Paulus yang menjegal kursi kepemimpinan Hadi Basalamah secara tidak fair, maka Ane yakin kalian tidak akan melabeli Persija yang ada Bepe-nya yang asli. Akhirnya Hadi Basalamah beserta 27 klub anggota Persija membentuk Jakarta FC untuk berkompetisi di LPI.
Masalah kedua adalah LPIS tidak murni diisi orang yang memutar LPI, orang-orang reformis dan orang-orang yang berpengalaman menangani persepakbolaan Indonesia. Akibatnya sponsor-sponsor besar yang sebelumnya ikut menggawangi LPI seperti Coca Cola (saat itu akan menggunakan brand Big Cola sebagai sponsor) dan Microsoft, masih belum terlalu yakin dengan kapasitas LPIS, sehingga menunda untuk mensponsori IPL (masih wait & see). Begitupun dengan konsorsium yang terlibat, ada bagian-bagian dari gerbong lama yang ikut menumpang.
Kabar menyedihkan tentu saja datang kepada klub-klub LPI. Setelah sebelumnya mereka dipaksa mengalah dengan menghentikan kompetisi di tengah jalan, untuk menghormati PSSI dan bersatunya persepakbolaan Indonesia, maka saat penyatuan kompetisi pun mereka tidak boleh berpartisipasi secara langsung, karena mereka bukan anggota PSSI. Jalan keluarnya mereka diminta merger dengan klub-klub yang sudah ada, untuk bisa ikut berkompetisi. Dengan waktu yang mepet (hanya 2 bulan), tentu saja sulit bagi mereka untuk mencari rekanan merger, apalagi klub-klub Indonesia rata-rata tidak memiliki manajemen murni karena dipimpin oleh kepala daerah. Belum lagi klub-klub ISL yang pongah karena merasa bisa mengandalkan fanatisme yang padahal tidak terkelola dengan baik. Akhirnya dari 15 klub LPI (non eks ISL) yang ada hanya 5 klub yang berhasil merger dengan klub yang berkiprah di tier 1, yaitu Atjeh United (Persiraja), Bintang Medan (PSMS), Jakarta FC (Persija), Bogor Raya (Persijap) dan Bandung FC (Persiba). Sedangkan 7 klub merger dengan klub Divisi Utama (Minangkabau FC - Persik; Batavia Union - Pro Duta; Tangerang Wolves - Persikota; Real Mataram - PSS; Solo FC - Persis; Semarang United - PSIS; Bali Devata - Persires Rengat), serta 3 klub harus membubarkan diri karena tidak mendapatkan rekanan merger (Medan Chiefs, Manado United, Cendrawasih Papua).
Melihat hal yang tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, AP mengurangi dukungannya kepada Djohar dkk, karena PSSI dianggap terlalu mengakomodir semua kepentingan karena khawatir kurang mendapatkan dukungan dari publik tanah air. Akibatnya PSSI menjadi tidak terarah, keputusannya sering berubah-ubah dan orang-orang reformis satu persatu mulai mundur teratur. Hal yang sama dilakukan oleh sponsor-sponsor besar, Big Cola, Bank Saudara dan Bank Mandiri enggan menjadi sponsor utama IPL. Apalagi ditambah kenyataan IPL ternyata hanya berhasil menggaet 12 peserta untuk berkompetisi.
Dengan ketiadaan sponsor, pengelolaan yang amburadul, kurangnya publikasi dari MNC, membuat IPL kalah gemerlap dengan ISL di tahun yang sama. Namun, IPL mampu menciptakan diferensiasi dengan hadirnya klub-klub dari luar Indonesia untuk beruji tanding dengan klub-klub IPL. Di sini kembali PSSI kurang bisa mengendalikan kerja sama uji coba dengan klub-klub luar, karena klub-klub luar rata-rata hanya ingin beruji coba dengan Persebaya Surabaya yang memiliki fanatisme suporter yang tinggi. Padahal seharusnya PSSI bisa mengelola klub-klub yang ingin beruji tanding dengan klub Indonesia dengan cara pembagian secara merata. Misalnya tetap ada Persebaya tapi juga melibatkan klub-klub besar lain seperti Persiba Bantul, Arema Malang, Persija Jakarta, Semen Padang, PSM Makassar, misalnya dengan membuat turnamen mini di jeda kompetisi. Hal ini memicu kecemburuan dari klub-klub yang tidak menerima ajakan uji tanding.
Kembali ke persiapan kompetisi. Munculnya La Nyalla menjadi biang kekisruhan dengan menyebarkan selembar kertas hasil Kongres Bali palsu mengenai jumlah peserta kompetisi yang harus 18. Padahal hasil keputusan rapat Exco, memutuskan 24 klub yang akan ikut kompetisi sesuai hasil tertinggi dari verifikasi AFC. Namun, sayang dari 34 klub yang diikutkan verifikasi, hanya 6 klub yang berhasil memenuhi 5 syarat klub profesional oleh AFC. Namun, ke-6 klub tsb tidak ada satupun yang merupakan klub ISL. Sayang fakta ini sengaja dikaburkan, untuk memuluskan usaha pembelotan klub-klub ISL dari kompetisi yang dibentuk oleh PSSI. Klub yang lulus verifikasi adalah Persibo Bojonegoro, Persik Kediri, PSIS Semarang, Persikota Tangerang, Persis Solo dan Persebaya Surabaya. Oleh karena hanya 6 klub, (belum memenuhi kuota minimal liga profesional AFC 10 klub), maka akhirnya kompetisi diputuskan menjadi 24 klub. Namun, di luar La Nyalla membuat isu bahwa IPL akan diikuti 18 klub, kemudian beberapa hari kemudian dia berkamuflase dengan marah-marah karena Exco merubah kembali peserta menjadi 24 klub. Padahal sejatinya Exco tidak pernah memutuskan kompetisi diikuti 18 klub. Kamuflase La Nyalla ini seolah mencitrakan PSSI plin-plan dalam memutuskan peserta kompetisi dan dilambungkan menjadi isu utama untuk membenarkan pembelotannya beserta klub-klub ISL. Baca lagi beberapa paragraf di atas, gerbong lama tidak mungkin berjuang di dalam organisasi karena mereka kalah jumlah. Jadi, isu-isu ini hanyalah akal-akalan para exco gerbong lama ini untuk berjuang di luar koridor PSSI. Dengan berada di luar kantor PSSI, mereka akan leluasa membuat siasat dan strategi.
Dengan persiapan yang mepet, ditambah amburadulnya proses verifikasi, LPIS memulai kompetisi IPL dengan kembang kempis. Namun, kick off tetap dihelat sesuai jadwal, meskipun ada beberapa pertandingan yang batal digelar karena mundurnya klub-klub ISL dari kompetisi. Persib Bandung bermain imbang dengan Semen Padang dalam partai pembuka IPL 2011-2012. Di sini klub-klub ISL berhasil mencitrakan bahwa kinerja LPIS tidak baik dan amburadul, dan mulai menyebut-nyebut kinerja PTLI lebih baik.
Kompetisi dihentikan sementara untuk helatan SEA GAMES 2011. Di sini juga terlihat kekacauan PSSI yang terkesan memaksakan liga bergulir di bulan Oktober 2011, padahal mereka tahu bahwa di bulan November 2011 akan digelar SEA GAMES 2011. Namun, dengan berbagai permasalahan yang mendera, LPIS tetap mengerjakan tugasnya dengan baik sampai kompetisi selesai, meskipun banyaknya gangguan dari pihak luar, sehingga LPIS paling tidak harus merevisi jadwal sampai lebih dari 10 kali. Ini tentu saja menyulitkan LPIS dalam menggarap pekerjaan lain yang sama pentingnya, yaitu berburu sponsor.
Tunggu artikel terakhir dari serial ini yang akan mengungkap jalannya dua kompetisi, munculnya KPSI sampai pembunuhan berencana terhadap LPIS dan klub-klub yang terlibat di dalamnya pada seri ketiga minggu depan. Untuk komentar yang masuk, sabar dulu untuk mendapatkan balasan dari Ane. Terima kasih, tetap semangat dengan persepakbolaan nasional!!!
Salam Sepakbola Bangkit!!!