Masalah Papua, dilarang diseminarkan. Itu kira-kira kesimpulan orang awam menyaksikan kebringasan sejumlah pemuda asal Papua di Kampus universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Senin, 9 Juli 2012 lalu.
Sebagaimana diberitakan media, puluhan pemuda Papua tiba-tiba masuk ke ruang seminar yang digelar di kampus UGM . Mereka mengamuk karena tidak sepakat dengan paparan salah satu pembicara yang menilai hasil REFERENDUM masyarakat Papua 43 tahun lalu sudah sah.
Penyelenggara seminar, yakni Lingkar Pelangi Nusantara dan Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Intelektual Tanah Papua, akhirnya terpaksa menghentikan sesi seminar yang dimoderatori oleh Kania Sutisnawinataa dari Metro TV itu. Ada beberapa gelas yang pecah kareta tersenggol ketika pemuda-pemuda itu bergerak maju membubarkan acara seminar ini. Susana yang kian mencekam membuat para pembicara yakni, Julius Septer Manufandu (Sekjen Forum LSM Papua), Jaka Triana SH., LLM., MA (pakar Sejarah dan Hukum Tatanegara UGM) dan Prof.Drs. Purwo Santoso, MA,PhD (Guru Besar Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM) terpaksa meninggalkan ruang seminar.
http://www.tempo.co/read/news/2012/07/09/058415810/Seminar-soal-Papua-Dibubarkan
Jangan bicara Papua disini!
Setahun silam di tempat yang sama, tepatnya tanggal 20 Januari 2011, belasan pemuda Papua juga membubarkan seminar bertajuk “Dialog Konstruktif Jakarta-Papua” yang diadakan oleh Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik, UGM Yogyakarta. Ketika Prof. Hartono, Direktur Sekolah Pascasarjana UGM saat itu sedang memberikan sambutannya, tiba-tiba seorang laki-laki maju ke depan dan melakukan interupsi.
“Saya harap seminar ini segera dihentikan. Kalau mau bicara Papua silahkan ke Papua, jangan di Jogja. Di sini silahkan bicara Keistimewaan (Yogyakarta-red). Papua tanahnya luas, uangnya banyak, untuk apa bicara di sini. Tidak akan menyelesaikan masalah apapun, tidak ada manfaat untuk masyarakat Papua.” Teriak pemuda itu.
http://regional.kompasiana.com/2011/01/20/sekelompok-orang-papua-membubarkan-seminar-di-ugm/
Aksinya tidak berhenti sampai di situ. Para perusuh itu merampas kamera pantia untuk mengabadikan acara ini, Beberapa orang pesarta yang mencoba memoto juga direbut kameranya. Pada umumnya pesera diam saja melihat aksi para lelaki tersebut dan tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab beberapa lelaki yang berada di pintu terus melihat-lihat ke sekeliling ruangan seminar yang membuat peserta merasa takut.
Penghentian paksa diskusi juga pernah terjadi di Manokwari, Papua. Aksi itu terjadi 13 April 2012. Seminar yang membahas program kebijakan Pemerintah Pusat mengenai Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang digelar di Kampus Unipa itu diwarnai kericuhan serta pembentangan spanduk dan bendera Bintang Kejora. Ketua UP4B Bambang Darmono dan Rektor Unipa, Dr. Ir. Merlyn Lekitoo, M.Si terpaksa meninggalkan ruangan karena risih mendengarkan kata-kata kasar yang dilontarkan kepada mereka oleh parapemuda itu.
http://wartapapuabarat.org/index.php/home/1-latest-news/876-bk-dibentangkan-unipa-minta-maaf
Mampukah dialog menyelesaikan masalah Papua?
Tampaknya kita harus pesimistis menanggapi desakan sejumlah pihak agar Pemerintah segara menggelar dialog dengan tokoh-tokoh Papua. Walaupun dialog yang dimaksud dikasih embel-embel ‘bermartabat’ namun jika kalangan muda berpikir sempit dan menutup setiap ruangan dialog, tidak akan ada jalan keluar yang bisa disepakati. Ini terjadi lantaran :
1.Kelompok mahasiswa yang nota bene tergolong kaum terpelajar saja belum bisa meninggalkan budaya perang suku di kampungnya. Semua orang yang tidak sejalan dengan keinginan suku saya, adalah LAWAN yang harus diperangi. Rektor sekalipun, karena mengijinkan kampusnya dijadikan tempat DIALOG tak perlu dihormati, justru bisa saja menjadi sasaran pelemparan kata-kata kasar oleh mahasiswanya sendiri.
2.Para mahasiswa pendukung Papua merdeka (Pro-M) tampaknya sudah dicemari sikap DIKTATOR dan Otoriter dari para petinggai OPM (Organisasi Papua merdeka) yang selama ini menolak Otsus, serta berprinsip : Pokoknya MERDEKA. Maka setiap upaya untuk menjembatani tuntutan merdeka dengan kebijakan Otsus Papua, akan tetap ditolak dengan cara apapun.
3.Ada kekhawatiran kalau masalah PEPERA dibuka ke publik, pembohongan publik bahwa PEPERA itu ilegal yang selama ini dimainkan oleh kelompokpro-M khawatir, bisa terkuak.
Kedepankan Moncong Mulut daripada moncong senjata
Menutup tulisan sederhan ini, saya kutip tulisan seorang aktivis Papua Pares L. Wenda dalam blog pribadinya. Pares menulis :
“Suka atau tidak suka masalah Papua harus dikomunikasi kepada semua orang, seperti kita orang Papua selalu mengatakan bahwa tindakan militer di Papua bukan zamannya lagi menggunakan moncong senjata tetapi menggunakan moncong mulut. Maka pembubaran kegiatan seminar seperti itu juga bukan zamannya lagi, karena itu menodai harkat dan martabat serta nilai manusia Papua. Karena saat penyelesaian masalah Papua, jika kita sepakat tidak menggunakan moncong senjata maka seminar sebagai satu sarana menggunakan moncong mulut dengan konsep yang bisa diterima semua pihak, didukung semua komponen bangsa dan kita bicara di dalam wadah yang resmi dengan cara yang bermartabat, elegant, manusiawi, dan simpatik, siapakah yang akan melawan kita, saya kira orang akan menghortmai setiap langka yang ditempuh. Karenanya jangan kita menggunakan cara-cara kekerasan tetapi harus menggunakan cara-cara dialogis dengan pendekatan kemanusiaan dan menghormati hak orang lain, organiasai orang lain yang melaksanakan kegiatan seperti seminar tersebut.“
http://pareslwenda.blogspot.com/2011/03/tanggapan-tulisan-tentang-sekelompok.html