Penangkapan para aktivis Papua merdeka yang terlibat tindak pidana umum oleh Polda Papua adalah bagian dari tugas penegakan hukum Polri. Kalaupun ada suara keras dari Amnesty Internasional yang menyalahkan polisi atas penangkapan itu, kita bisa mengabaikannya, asalkan prosedur dan mekanisme penindakannya sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku umum.
Pasca penangkapan itu, induk organisasi mereka tampak kocar-kacir, ibarat anak ayam yang kehilangan induknya. Pemandangan ini tampak nyata pasca penangkapan pimpinan KNPB (Komite Nasional Papua Barat) Buchtar Tabuni 7 Juni pekan lalu. Dari pengakuan Buchtar dan pengikutnya yang ikut tertangkap, Polisi lalu mencomot Mako Tabuni pada 14 Juni lalu. Namun apes bagi Mako, karena ketika ditangkap, Mako melakukan perlawanan, sehingga timah panaspun mengakhiri hidup Mako.
Dari Press Release yang dipublikasikan Humas Polda Papua di Jayapura, tanggal 14 Juni 2012 terungkap bahwa Mako ditangkap bukan karena kegitan politik yang dilakukannya, tetapi karena ada bukti-bukti permulaan yang cukup atas keterlibatannya dalam tindak pidana kriminal, sebagai berikut :
1.Diduga terkait dalam kasus Penembakan terhadap Warga Negara Asing (Jerman) di Panfal Base’ G yang terjadi pada hari Selasa tanggai 29 Mei 2012.
2.Diduga terkait dalam kasus Penganiayaan dan pembunuhan serta Pembakaran mobil dan korban Saifui Bakhri yang terjadi di Kuburan Waena pada hari Selasa tanggal 22 Mei 2012.
3.Diduga terkait dalam kasus Penembakan terhadap korban Gilbert Febrian Ma’dika, TKP di Otonom Kotaraja tanggai 04 Juni 2012.
4.Diduga terkait dalam kasus Penembakan terhadap Frengki Dungki Kune (anggota TNI) TKP di Entrop dekat Surabaya Motor banggal 05 Juni 2012.
5.Diduga berkait dalam kasus Penembakan terhadap Ikbal Rifai dan Hardi Jayanho TKP di jalan Sam Ratulangi dekat Dinas Perhubungan tanggal 05 Juni 2012.
6.Diduga terkait dalam kasus Penembakan terhadap Arwan Afuan (PNS Kodam) TKP di Belakang Kantor Walikota Jayapura tanggal 06 Juni 2012.