Mencaci-maki Pemerintahan sendiri, bahkan menghina Kepala Negara menjadi hal yang lumrah ditemukan di Tanah Papua. Apakah ini adalah bagian dari perkembangan demokrasi yang semakin maju, atau demokrasi yang kebablasan?
Belum lama ini, sebuah media lokal yang terbit di Papua memberitakan aksi unjuk rasa yang dilakukan sekelompok aktivis yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Aksi yang digelar dalam rangka Peringatan Hari HAM Se-dunia tanggal 10 Desember 2011 itu “dimanfaatkan” oleh Ketua KNPB Buchtar Tabuni untuk mengkampanyekan bahwa Presiden Republik Indonesia telah masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) Amnesty Internasional yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Presiden RI disebut-sebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas ratusan kasus kejahatan dan pelanggaran HAM berat selama sepuluh tahun terakhir ini di Tanah Papua. Dan karenanya, harus segera diadili di Mahkamah HAM Internasional.
http://bintangpapua.com/headline/17753-minta-presiden-diadili-di-mahkamah-ham-
http://www.youtube.com/watch?v=4x3nGHQflA0&feature=youtu.be
Pernyataan Buchtar Tabuni itu kontan mendapat reaksi keras dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Anggota Komisi A DPRP dr. Yohanes Sumarto Rabu,14 Desember 2011 mendesak agar Buchtar Tabuni harus menyampaikan permohonan maaf kepada Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Karena pernyataan Buchtar Tabuni itu bisa dikategorikan sebagai bentuk penghinaan terhadap Kepala dan Lambang Negara Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 134 berbunyi : barang siapa yang dengan terbukti melakukan penghinaan terhadap Kepala Negara dan Lambang Negara maka bisa dikenai sangsi pidana kurungan selama 6 Tahun.
Sumarto juga meminta agar saudara Buchtar Tabuni selaku Ketua Umum KNPB agar berhati-hati mengeluarkan statemen di depan umum, apalagi sampai membawa-bawa Kepala Negara Republik Indonesia. Kebenaran bahwa Mahkamah Internasional telah menjadikan Presiden SBY sebagai DPO, perlu dipastikan.
‘’Jangan sampai melakukan copy paste dari internet kemudian disampaikan hal itu didepan umum, tetapi buktikan sendiri dari Mahkamah Internasional, “tandas Sumarto.
Benarkah Presiden SBY DPO Mahkamah Internasional?
Penasaran atas tudingan Buchtar Tabuni, saya berupaya mencari sejumlah referensi. Dan ternyata saya tidak menemukan satu fakta pun bahwa Mahkaham Internasional ( International Court of Justice atau ICJ ) maupun Amnesty Internasional (yang berkedudukan di London) telah memasukan Presiden SBY sebagai DPO.
Timbul pertanyaan dalam benak saya, mengapa Buchtar Tabuni menyerukan hal itu? Ternyata benar bahwa Buchtar Tabuni hanya copy paste dari internet sebagaimana dituduhkan Anggota DPRP Yohanes Sumarto. Buchtar memang tidak mengantongi bukti apapun dari Mahkamah Internasional, alias asal bunyi. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa KNPB yang dipimpin mantan Napi kasus makar yang baru bebas tanggal 1 Agustus 2011 ini adalah perpanjangan tangan dari Benny Wenda yang selama ini berjuang untuk kemerdekaan Papua di Inggris.
Apa yang dikampanyekan Buchtar Tabuni memang sejalan dengan apa yang dikampanye Benny Wenda di London. Tanggal 4 Desember 2011 Benny dan para pendukungnya yang tergabung dalam Free West Papua Campaign berdemonstrasi di depan kedutaan besar Indonesia di London, Inggris, sambil membentangkan gambar Presiden Indonesia sebagai DPO yang harus diadili oleh Pengadilan Kriminal Internasional (International Court of Crime).
Kampanye ini memang sengaja dilakukan sebagai reaksi atas masuknya Benny Wenda dalam Red Notice Interpol. Benny yang terkaget-kaget atas “predikat” barunya itu sempat protes kepada Interpol. Dalam wawancara dengan Radio Nederland yang dipublikasikan 29 November 2011, Benny dari London, Inggris, berujar lemas : Mestinya Interpol tidak memasukan nama saya. “… Saya yang seharusnya taruh Interpol terhadap pemerintah Indonesia dalam hal ini presiden," demikian tudingan balik Benny Wenda.