Memiliki rumah merupakan dambaan banyak orang, sebab rumah merupakan kebutuhan primer yang penting bagi setiap orang. Rumah merupakan tempat berlindung, beristirahat, dan berkumpul bersama keluarga tercinta. Rumah juga bisa menjadi sarana pembinaan keluarga dan penunjang kesempatan keluarga untuk bertumbuh.
Namun, memiliki rumah yang layak ternyata masih menjadi sekedar impian bagi jutaan keluarga di Indonesia, yang sulit untuk direalisasikan.
Ketua Satgas Perumahan, Hashim Djojohadikusumo buka suara terkait program penyediaan rumah. Menurut statistik pemerintah, hampir 11 juta keluarga yang antre mendapat rumah layak. Hashim juga menyebut ada sebanyak 27 juta keluarga yang tinggal di rumah yang tidak layak huni (detikFinance, 04-12-2024).
Program Pemerintah, Tiga Juta Rumah
Dikutip dari Antara, sekitar 20% dari tiga juta rumah yang direncanakan akan dialokasikan sebagai rumah bersubsidi, sementara sisanya dikembangkan untuk hunian komersial. Pembangunan ini mencakup dua kategori hunian, yakni rumah tapak yang direncanakan untuk wilayah dengan ketersediaan lahan luas dan rumah vertikal, seperti apartemen serta rumah susun, yang difokuskan untuk wilayah perkotaan.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk program ini adalah pemanfaatan tanah sitaan dari kasus korupsi untuk dialihfungsikan sebagai lahan perumahan rakyat. Selain itu, lahan atau aset hasil Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga akan digunakan untuk mendukung program ini.
Program tiga juta rumah per tahun ini adalah salah satu agenda prioritas pemerintah untuk menyediakan hunian layak bagi masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah (MBR). Penyediaan rumah tersebut mencakup berbagai macam skema pembiayaan, termasuk opsi gratis untuk kategori tertentu.
Program ini diklaim sebagai penggerak utama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus mendukung berbagai industri terkait. Setiap unit rumah yang dibangun memiliki dampak signifikan pada sekitar 150 industri pendukung, mulai dari material konstruksi seperti genteng, pasir, batu, dan semen hingga perlengkapan rumah tangga, yang menunjukkan panjangnya rantai pasok pada sektor ini.
Program ini juga sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Prabowo, yakni mencapai lebih dari 5%, dengan ambisi hingga 8%. Salah satu kontributor penting dalam upaya ini adalah sektor jasa konstruksi, yang memberikan kontribusi sekitar 10-12% terhadap total pertumbuhan ekonomi.
Masih Sebatas Mimpi
Walaupun upaya sudah dilakukan pemerintah dengan program tiga juta rumah, mewujudkan rumah yang layak masih hanya sekedar mimpi dan harapan bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Untuk mendapatkan sebidang tanah atau rumah, rakyat harus merogoh kocek yang sangat dalam. Harganya pun berbanding lurus dengan fasilitas seperti akses jalan, lokasi yang strategis, dan sebagainya. Alhasil, sangat sulit mewujudkan harapan untuk memiliki hunian yang layak.
Siapapun berlomba untuk mendapatkan kebutuhan dasar berupa papan ini. Pebisnis properti pun hadir untuk menawarkan hunian sesuai permintaan dan daya beli masyarakat. Namun, daya beli inilah yang akhirnya menyortir siapa yang bisa memiliki rumah atau tidak.
Selain itu harga properti yang kian merangkak naik seiring kebutuhan pokok yang serba mahal, membuat masyarakat semakin kesulitan untuk mendapatkan rumah yang layak. Alih-alih untuk membeli rumah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun susah.
Dalam proyek pengadaan tiga juta rumah layak huni, pemerintah telah menampakan keberpihakannya dalam menggerakkan sektor industri properti dengan dalih ekonomi. Sektor jasa konstruksi yang diharapkan memberikan kontribusi 10-12% terhadap total pertumbuhan ekonomi menggambarkan bahwa yang diuntungkan dalam proyek pembangunan perumahan ini adalah para pebisnis.
Pengalokasian hunian layak untuk MBR sangat kecil, yakni 20% dari tiga juta rumah yang diprogramkan. Padahal, data sudah menyebutkan bahwa terdapat 11 juta keluarga yang belum memiliki rumah yang layak, serta terdapat 27 juga keluarga tinggal di rumah yang tidak layak huni. Hal ini menggambarkan bahwa jumlah rumah yang direncanakan pemerintah sangat jauh dari kebutuhan di lapangan.
Buah Politik Pengadaan yang Salah
Politik pengadaan rumah yang salah di diakibatkan oleh tata kelola perumahan yang salah yang diatur oleh sistem kapitalisme. Negara dalam sistem ini hanya berperan sebagai regulator yang memuluskan pihak swasta untuk mengendalikan pembangunan perumahan rakyat dalam kerangka bisnis atau meraih untung belaka.
Kapitalisasi sektor kebutuhan dasar berupa papan ini telah menggeser wewenang negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat.
Namun, gaya kepemimpinan populis otoriter mengesankan seolah-olah negara sedang bekerja memenuhi hak rakyat untuk memiliki rumah layak. Padahal, pengadaan rumah bersubsidi yang pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta semacam ini tidak menyentuh pada akar persoalan sesungguhnya, dan justru menyusahkan rakyat.
Semestinya negara sepenuh hati menjalankan tanggung jawabnya dalam memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk rumah. Inilah akibatnya ketika politik pengadaan rumah berada pada sistem yang salah.
Rumah dalam Islam
Rumah dalam Islam merupakan hal yang sangat penting, karena termasuk dalam kehidupan khusus. Karenanya, Islam memiliki politik pemenuhan rumah agar masyarakat bisa memiliki rumah sebagaimana apa yang telah disyariatkan.
Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:"Ada empat perkara termasuk kebahagiaan; istri yang shalihah, tempat tinggal yang lapang, teman atau tetangga yang baik dan kendaraan yang nyaman" (HR Ibnu Hibban).