Oleh Isbedy Stiawan ZS
SEBUAH pertandingan ada kalah atau menang, dan hanya sedikit yang berakhir seri: itu pun harus ditambah waktu bertanding sampai menemukan pemenangnya.
Mat Yusuf memulai pembicaraan pagi ini, sambil menyeruput kopi kesukaannya: tanpa gula. Istriku sudah tahu benar dengan kopi yang diinginkan Mat Yusuf, jadi tanpa dia ingatkan pun dipastikan yang diseruputnya adalah kopi pahit.
Dia selalu ingatkan aku, kopi tanpa gula baik untuk menjaga kesehatan, khususnya dari serangan diabetes alias kencing manis bin kadar gula yang tinggi mengendap di tubuh. “Jadi,” kata dia lagi setiap kami mengopi di waktu pagi, “meski sejak muda aku pengopi, boleh cek di dokter tubuhku ini tak terjangkit kadar gula. Tapi coba sampeyan, kujamin kadar gulanya banyak. Soalnya…”
“Hussst sampeyan ini, itu sama saja mendoakan aku agar terkena diabetes. Kalau kucek ternyata minus, bagaimana? Berapa kau mau bayar?” aku menyergah cepat. Aku tersinggung. “Eh, apa maksudnya dengan ‘soalnya….’ tadi?”
“Aku lupa, kau menyerobot sih, jadi entah apa yang mau kuomongkan…” ujar Mat Yusuf, lalu mengalihkan dengan mengisap rokoknya setelah meminum kopinya. “Tapi, sudahlah, mulai pagi ini kita lupakan soal gula putih. Tidak penting lagi. Tak ada manusia yang tidak memerlukan gula putih, jadi jangan kambinghitamkan si gula….” imbuh dia.
Tiba-tiba saja sahabatku ini menghentikan pembicaraan soal gula putih. Padahal, dulunya ia paling gencar membincangkannya. Dia menuding maraknya peredaran gula putih di masyarakat, seperti maraknya pasaran narkoba di kalangan anak-anak muda.
Mat Yusuf sampai mensejajarkan bahayanya gula putih dengan ganja atau ekstasi dalam tubuh manusia. Karena itu, meski berkali-kali kutentang dan kuanggap lebay, dia mengusulkan agar dilakukan pula razia bagi peredaran gula putih seperti razia terhadap narkoba.
“Khususnya saat kampanye pemilihan kepala daerah. Gula putih berton-ton menyerbu rakyat, dan masyarakat nyaris tertimbun!”
*
Tapi, pagi ini, Mat Yusuf mengakui gula putih tetap berguna. Hanya saja jangan keliwatan. Apa pun yang berlebihan, kata dia lagi selayaknya seorang dokter di hadapan pasien, pasti akan membahayakan juga.
“Lo, kenapa pikiranmu tiba-tiba berubah drastis? Apa sebab?” tanyaku mencurigai pandangannya yang berubah begitu cepat.
“Aku tidak berubah, hanya….”
“Hanya mengakui kesalahan?” cegatku.
“Nah, inilah cara berpikir kebanyak orang selama ini. Mengakui kesalahan begitu mahal, apalagi menerima kekalahan. Padahal, salah dan benar atau kalah dan menang, adalah hal biasa. Itulah yang disebut relativitas. Dalam sebuah ilmu, ada salah dan benar. Pada suatu pertandingan, kalah dan menang juga hal biasa. Kau ingat peribahasa, kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Itu artinya, kekalahan adalah biasa dan jangan pula menjadi beban yang membuat kita stres. Apalagi, sampai protes berlebihan sehingga pertumpahan darah!”
Mat Yusuf diam sebentar. Sementara aku ingin dia tak lagi meneruskan khotbah paginya. Aku berpikir, sebaiknya menikmati kopi pagi dengan keriangan; misalnya, membicarakan hasil pertandingan sepak bola kelas dunia di televise, ihwal dangdut academy dan comedi academy, OVJ, atau soal cinta anak sekolahan…
“Aku amati dari pilkada yang saat ini tengah penghitungan suara, kandidat yang kalah sepertinya tak menerima kekalahan. Dicarilah kejanggalan dan kecurangan,” ucap Mat Yusuf kemudian setelah berhenti beberapa saat.
“Memangnya dunia politik itu bersih? Tidak kotor? Selalu lurus? Jauh dari money poltic? Mencerdaskan masyarakat dan tidak membodohi rakyat? Tuk kuyuk semua!” hentak Mat Yusuf. Untung saja rumahku berkeramik, kalau tidak yakin dia akan meludah ke lantai.
Aku tersenyum-senyum. Baru kali ini aku mendengar Mat Yusuf bersuara tinggi, melebihi manakala ia ia menuding politik uang saat kampanye dengan maraknya paket gula putih, smebako, mi instan, kain sarung, serta uang.
Mungkin karena gagal tidak bisa meng-out salah satu kandidat calon kepala daerah, dia pun berbalik legowo bahwa kandidat yang ditengarai sebagai penyebar gula berton-ton itu kenyataannya memang harus menang. Bahkan di semua distrik, akhirnya ia pun menerima dengan lapang dada.
“Tak ada yang perlu disesali. Kita harus menerima kandidat itu kini sebagai kepala daerah kita, gubernur kita,” katanya kemudian. “Siapa tahu ada hikmah, ketika daerah ini dia pimpin. Setidaknya harga gula tak pernah naik-naik, syukur kalau malah turun harganya di pasaran.”
Aku hanya tersenyum.
“Kita…”
“Tapi,” sergahku. “Politik tetap kejam, begitu kotor dan kerap tidak bernalar. Yang protes acap tidak berakal, yang menang dicurigai karena hasil mengakali.”
“Itu kuakui…”
“Bayangkan, akibat dari politik ada seorang pejabat di kecamatan misalnya, dicopot dan hanya menjadi staf biasa, sebab di daerah kekuasannya tak mampu mendongkrak suara bagi perolehan kandidat yang juga atasan dia. Politik babat habis ini terjadi di hampir setiap pemilihan kepala daerah, seperti juga politik balas budi!” kataku.
“Ya aku banyak dengar itu. Dari buah pemilihan gubernur hingga pemilihan bupati dan walikota. Pemimpin yang baru dilantik, langsung membabat bawahannya yang memegang jabatan dengan menonjobkan lalu mengangkat orang-orang yang dulu mendukung atau memenangkan suara bagi kepala derah itu,” tambah Mat Yusuf.
“Tapi sudahlah,” imbuh sahabatku itu selanjutnya. “Sekarang, kita terima dengan hati lapang pemenang pilkada ini. Janganlah protes dengan cara-cara tidak beradab, jadikan daerah kita ini kondusif seperti harapan para kandidat sebelum kampanye yakni menciptakan pemilukada damai. Apa pun kekurangannya…”
“Nah, ini yang kutunggu dari sampeyan. Siap menerima kekalahan, legowo pada kekalahan. Harus kesatria menerima kekalahan. Ikhlas dipimpin oleh pemimpin yang menang dalam pilkada ini,” pujiku.
Lalu kami “tos” dan meneruskan menikmati segelas kopi. Pagi ini…
*) sastrawan, bekerja di Teraslampung.com
Menu lainnya