"Hati-hati, kalian. Sampai bertemu di Madiun" ucap Bayu pamit kepada kami, Â belok ke arah lain menuju rumahnya.
Kami pun melanjutkkan perjalanan menuju Kota Nganjuk. Kali ini terjadi lagi, bukan karena mistis tapi sikap Putut. Sesampainya di terminal Kota Nganjuk, Putut berhenti, memarkirkan motornya di terminal. Parkir yang bisa berhari-hari menitipkan kendaraan. Lantas di ajaknya aku naik bus untuk melanjutkkan perjalanan ke Kota Madiun.
"Heran dan bingung!, padahal ada motor kenapa harus naik bus??" Bertanyaku dalam diri atas sikap Putut ini
Aku diam tanpa mempertanyakan sikap Putut itu, ikut saja kehendak Putut karena ini pengalaman pertamaku ke Madiun. Kami naik bus ekonomi jurusan Madiun-Ponorogo karena letak desa Putut memang berada di perbatasan Ponorogo.
Waktu itu bus_nya ramai, kami gak kebagian tempat duduk, terpaksa kami berdiri di lorong bus. Perjalanannya sekitar satu jam lebih. Namun kami berdiri hanya sampai Kecamatan Saradan karena sudah ada banyak penumpang yang turun.
Pemandangan di sekeliling juga indah, banyak kendaraan yang lalu lalang bukan hamparan sawah atau gunung. Sekitar satu jam lebih sedikit, kami bedua sampai desa tempat rumahnya Putut berada. Ternyata bus_nya gak ke terminal Madiun terlebih dulu tapi langsung berhenti di jalan raya tempat desa rumah Putut.
Kami berdua turun dari bus, Putut jalan kaki masuk gang kecil di samping kami turun tadi. Mungkin rumahnya Putut masuk gang, pikirku yang terus mengikuti dibelakangnya. Tak jauh dari gapura gang, Putut belok di sebuah rumah, bangunannya sedikit berbeda seperti ada bangunan model warung di depannya.Â