Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Pengrajin Jaran Kepang Jenuh dengan Pemerintah

19 November 2013   18:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:56 1895 1

Cak Min, begitulah sapaan akrab untuk lelaki pengrajin Jaran Kepang itu. Selintas, wajahnya tampak lelah ketika saya baru saja bertandang ke rumahnya, di pinggir sungai dinoyo, Malang. Namun, gurat lelah segera sirna tatkala saya menunjuk beragam perlengkapan Jaran Kepang miliknya yang tergeletak di lantai semen. Terlintas kebanggaan dari dekade demi dekade di wajah lelaki berusia 56 tahun itu, meskipun ia merintis usaha tanpa modal pemerintah.

Diminati orang luar Pulau Jawa

Pria asli Blitar itu mengaku, para pemesan tidak hanya berasal dari bumi Arema, tapi juga dari luar Malang bahkan luar pulau. “Yang mesan biasanya dari Batu, Pujon, Jombang, Mojokerto, Pasuruan. Kalau yang dari Kalimantan biasanya dari Tarakan. Dari Pulau Riau juga ada,” paparnya. Ia juga mematok harga yang bervariasi untuk atribut tersebut, mulai dari 300 ribu sampai satu juta.

Belajar dari Sang Kakek

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Peribahasa tersebut rupanya cocok dengan pria yang bernama Sukimin tersebut.  Ia belajar membuat perlengkapan Jaran Kepang dari kakeknya. “Saat itu saya masih berusia tujuh tahun. Saya belajar membuat perlengkapan sambil belajar memainkannya juga,” tutur bapak dari tujuh anak itu.

Tidak sia-sia sang kakek melatihnya, Cak Min ternyata serius menekuni dunia Jaran Kepang. Menginjak usia dewasa, Cak Min sudah bisa memproduksi atribut sendiri. Ia bahkan merekrut tenaga kerja, termasuk para sepuh yang masih mencari sesuap nasi. Pria yang bergelut dengan kesenian kuda lumping selama 40 tahun lebih itu juga melatih para penari, serta kerap ikut memukul gendang di berbagai pementasan.

Jenuh dengan Pemerintah

Kilatan bangga hadir di mata Cak min saat ia menunjukkan piala dari Walikota Malang tahun 1997. Lelaki yang mengaku hanya tamatan Sekolah Dasar (SD) itu, mengisahkan kecintaannya pada kesenian dengan semangat menggebu-gebu. Ia mengaku kerap diundang Dinas Pariwisata setempat untuk mengisi acara kesenian. Namun, meskipun karyanya selama 45 tahun sudah diakui, ternyata ia mengaku tidak pernah diberikan modal sepeser pun oleh pemerintah. “Saya sudah sering diminta Dinas Pariwisata untuk mengajukan proposal pendanaan. Tapi kenyataannya, tidak satupun proposal yang saya ajukan didanai. Lama-lama saya jenuh,” ungkap Cak Min yang saat ini sudah pensiun melatih para penari.

Usaha Dilanda banjir, Pemerintah Tetap ‘Tidur’

Tahun 2003, sungai di depan rumahnya meluap hingga membasahi seluruh perlengkapan Jaran Kepang. Saat itu, tempat produksi bukanlah rumah yang ia diami sekarang ini, melainkan sebuah rumah khusus yang dibangun di samping rumahnya, tepatnya menuruni ceruk yang lebih dekat dengan aliran sungai. Akibat sungai yang meluap dan membanjiri rumah produksi, usaha Cak Min pun gulung tikar.

Cak Min berharap mendapat bantuan dari pemerintah, tapi ternyata bantuan itu tidak kunjung datang. “Saya ingatnya waktu itu usaha saya yang kebanjiran cuma difoto-foto, tapi tidak ada bantuan dari pusat,” jelasnya. Meskipun harus tertatih, pria yang mengagumi sosok Jokowi itu berjuang seorang diri menyelamatkan usaha Jaran Kepangnya, hingga bertahan sampai saat ini.

Tak mampu berteriak pada pemerintah, ia pun membagikan keluh kesahnya pada saya. “Saya berharap pemerintah menyentuh para pengrajin agar mempertahankan budaya. Kalau ada modal kan saya bisa merekrut tenaga kerja,” pesannya.

Siapa yang Meneruskan Usaha Jaran Kepang?

Tangannya bergerak gesit mengambil album foto dari atas bufet. Tersirat kebanggaan di wajahnya saat ia menunjuk foto anak-anaknya. “Ini yang bungsu,” ujarnya seraya menunjuk potret putranya yang mengenakan kostum jaran kepang. “Dia masih SD. Waktu itu dia tampil di acara sekolah,” tambah Cak Min.

Sementara itu putra Cak Min lainnya ada yang tertarik dengan kesenian, tapi ia putus sekolah. “Dia memutuskan tidak melanjutkan sekolah sejak lulus madrasah. Sekarang ia membantu berjualan alat Jaran Kepang di dekat rumah sakit,” tuturnya. Di antara ketujuh anaknya tersebut, tidak ada yang benar-benar serius menekuni kesenian Jaran Kepang seperti Cak Min waktu kecil. Meskipun beberapa tenaga kerjanya sudah ada yang bisa menganyam kuda lumping, tapi menurut Cak Min itu belum cukup. Ia membutuhkan sosok penerus yang tidak hanya pandai membuat satu atribut, tapi juga pandai membuat seluruh perlengkapan dari alat musik sampai peraga tari.

Jika satu persatu orang seperti Cak Min pergi, apakah kesenian di Indonesia khususnya di tanah Jawa hanya tinggal nama, terkubur bersama tulang belulang pengrajinnya? Entahlah…hanya waktu yang mampu menjawabnya. RV

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun