"Orang jatuh cinta itu biasa, apa lagi patah hati.. Itu hal yang biasa, toh semua orang mengalaminya," begitulah kata seorang sahabat yang dewasa sebelum waktunya. "Patah hati ga bikin orang mati kok," tuturnya lagi.
Aku jatuh cinta kepada seseorang yang salah. Seorang laki-laki biasa bernama Arjuna. Wajahnya juga tak setampan namanya. Hidupnya sederhana namun berkharisma. Entah mengapa ia tampak luar biasa di mataku. Mungkin saat kita sedang jatuh cinta, hanya orang yang kita cintai itu yang selalu terlihat sempurna di mata kita, padahal kenyataannya tidak. Arjuna sosok lelaki yang sulit sekali untuk ditebak, ia memiliki tatapan yang teduh dibalik kaca matanya. Mungkin itu yang membuat semua perempuan normal dan laki-laki tidak normal jatuh hati padanya.
Aku masih ingat dengan jelas saat pertama kali aku melihatnya, lelaki kurus berambut ikal dengan baju biru lengan panjang sedang berdiri kaku di ujung koridor sekolah. Entah apa yang sedang dilakukannya di sana.
Aku mengenalnya saat duduk sibangku sekolah menengah atas. Dia satu tingkat dibawahku, usia kami hanya terpaut satu tahun. Setiap pagii aku cepat-cepat datang ke sekolah, bukan untuk mengerjakan tugas yang memang sudah menjadi tradisi untuk dikerjakan bersama-sama sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Aku selalu datang paling awal agar dapat melihatnya berjalan masuk ke dalam kelasnya. Aku berdiri di balik jendela kelas, mengamati setiap siswa yang datang, dan menunggunya dengan jantung yang berdebar-debar. Begitu pula saat bel pulang berbunyi, aku segera menuju tempat yang kuanggap strategis untuk melihatnya berjalan ke luar sekolah, dan selalu menjadi siswa yang pulang paling akhir. Itulah yang kulakukan setiap hari selama aku satu sekolah dengannya. Aku tidak memiliki cukup keberanian untuk sekadar berkenalan dengannya, apa lagi menjadi temannya.
Hari selasa menjadi hari yag paling kunantikan, karena setiap hari selasa ada pelajaran olah raga. Bukan karena aku gemar berolahraga, tetapi karena jam pelajaran olah raga kami bersamaan. Aku bisa puas memandangi dan mengaguminya saat ia bermain bola basket di lapangan bersama teman-temannya, yah walaupun hanya dari kejauhan saja. Arjuna membuatku bersemangat setiap harinya untuk pergi ke sekolah.
Saat tahun terakhir bersekolah, bulan-bulan mendekati kelulusan membuatku takut dan kuatir. Bukan takut dengan hasil ujianku atau kuatir tidak lulus sekolah, tetapi takut tidak bisa bertemu dengannya lagi selepas aku lulus nanti. Aku berpikir dengan keras untuk mencari cara agar dapat mengungkapkan perasaan yang menggangguku ini kepadanya. Akhirnya aku memberanikan diri menulis sebuah puisi untuknya tanpa kucantumkan namaku diakhir puisi tersebut, kemudian aku kirimkan ke redaksi majalah dinding sekolah untuk ditempelkan di tempat yang dapat dilihat oleh semua siswa.
Setelah lulus sekolah, aku melanjutkan pendidikanku di salah satu perguruan tinggi di luar kota. Aku masih menyimpan perasaan anehku itu terhadapnya, aku membawa perasaan itu kemanapun aku pergi. Tiga tahun aku memendam perasaan itu, aku merahasiakan rasa cintaku tanpa seorangpun yang tahu. Saat liburan semester tiba, aku pulang ke rumah.
Aku memutuskan untuk berkunjung ke sekolah sekadar berbagi cerita dengan guru-guru kesayanganku semasa sekolah dulu. Hari itu menjadi hari yang paling membahagiakan untukku, hal yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadi dalam hidupku. Seseorang menepuk pundakku dari belakang dan memanggil namaku. Aku membalikan badanku ke arah si pemilik suara itu. Jantungku seolah-olah berhenti sesaat ketika menatap mata teduh itu, mata yang membuatku tidak pernah bisa berpaling dan berhenti untuk berkedip sebentar saja. Sinar mata Arjuna tidak pernah berubah.
"Astaga, dia tahu namaku!" Teriakku dalam hati. Ternyata dia mengenalku, tentu saja aku tidak akan membiarkan kesempatan sekali seumur hidupku ini berlalu begitu saja. Aku mengumpulkan seluruh keberanian yang aku miliki dan berusaha menutupi bibirku yang bergetar tiap kali menjawab pertanyaannya. Kami pun cepat sekali akrab dan merasa begitu dekat. Kami berjalan pulang meninggalkan sekolah tercinta sambil bercerita seputar masa sekolah dahulu.
Setelah hari itu, hubungan kami semakin dekat. Kami sering sekali berbagi cerita walau hanya lewat telepon dan pesan singkat melalui telepon genggam, karena aku harus kembali kuliah di luar kota. Rasanya waktu begitu cepat berlalu saat berkomunikasi dengannya, ada saja hal yang bisa diceritakan saat bersamanya.
Aku selalu menantikan libur akhir semester dan bersemangat sekali untuk pulang ke rumah, karena aku tahu ada yang menungguku dan ingin sekali bertemu denganku di sana. Arjuna pasti mengajakku jalan-jalan setiap aku libur kuliah.
Hubungan kami memang hanya sebatas teman, tetapi aku rasa lebih dari sekadar teman biasa. Apa yang kami lakukan sudah seperti layaknya sepasang kekasih saja, sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, yang sedang kecanduan cinta. Hubungan tanpa status kami jalani tanpa ada beban. Kami saling menyayangi satu sama lain. Tetapi hubungan kami tidak mungkin berlanjut ke arah yang lebih serius, kami tidak mungkin berpacaran. Arjuna sudah memiliki seorang kekasih, perempuan yang ternyata satu sekolah juga dengan kami dahulu.
Waktu terus berlalu, aku mulai merasa kesal tiap kali dia bercerita dan selalu saja nama kekasihnya yang disebut. Selalu tentang kekasihnya itu yang ia ceritakan. Dia selalu meminta saran dan masukan tiap kali bertengkar dengan kekasihnya. Telingaku panas rasanya tiap kali mendengar nama perempuan itu. Aku benar-benar bosan mendengarnya. Aku akui aku cemburu. Tapi aku bukan siapa-siapanya.
Aku selalu mencoba untuk mengalah, berusaha menjadi seorang pendengar yang baik untuknya. Aku memiliki dua buah telinga, dan hanya satu bibir saja. Jadi sudah seharusnya aku lebih banyak mendengarkan dari pada berbicara.
Aku memberikan saran yang terbaik untuknya, tetapi tidak pernah didengarkannya. Menurutnya, hanya pendapatnyalah yang paling benar. Kami pun akhirnya sering berselisih paham dan bertengkar, dia sering sekali marah dan memakiku tanpa alasan yang jelas.
Belakangan aku ketahui bahwa ia sedang kesal dengan kekasihnya, dan aku menjadi objek pelampiasan rasa kesal dan amarahnya. Hampir setiap malam aku dibuatnya menangis. Aku tidak pernah bisa marah atau berontak padanya, aku selalu terima semua perlakuan buruknya padaku dan memaafkannya. Mungkin aku memang bodoh, tapi mungkin cinta itu buta.
Arjuna lelaki yang keras kepala, egois, pemarah, tetapi lemah. Aku selalu berusaha untuk berpikir positif saja, setidaknya aku belajar banyak hal darinya. Aku belajar menjadi pribadi yang lebih sabar saat menghadapinya. Aku bersedia menjadi apapun dan siapapun untuknya. Aku sadar kalau aku hanya sebagai pemeran pengganti saja dalam hidupnya, bahkan harus siapp untuk menjadi pelarian cintanya.
Sampai pada suatu hari ia mengatakan sesuatu yang membuat aku mengerti, mengapa ia bersikap seperti itu terhadapku. Ia bercerita bahwa kekasihnya mempunyai kekasih lain dan hanya memanfaatkan dirinya saja. "Aku mencintainya, dan aku menyayangimu. Aku menyakitimu karena dia menyakitiku," tuturnya kepadaku. Ternyata dia sayang padaku karena dia membutuhkanku. Sedangkan aku membutuhkannya karena aku sayang padanya.
Beberapa kali aku mencoba untuk meninggalkannya, tetapi ia selalu datang kepadaku dan memohon agar aku tidak meninggalkannya, ia begitu rapuh tanpaku. Aku tidak pernah bisa menolak permintaannya, tatapan matanya memaksaku untuk tidak berkata tidak.
Hari berganti hari, dan aku membiarkan hubungan kami semakin renggang. Awalnya aku tidak mengerti mengapa ia menjauhiku, padahal ia selalu mengatakan bahwa ia membutuhkanku. Ia hanya menghubungiku ketika ia membutuhkanku saja. Kabar yang aku dengar dari teman-temannya, hubungan Arjuna dan kekasihnya sudah mulai membaik, kekasihnya sudah berubah dan meninggalkan kekasih lainnya itu. Aku sedikit bahagia saat mendengarnya, dan aku mencoba untuk menerima kenyataan. Menurutku, mencintai seseorang adalah mengupayakan kebahagiaan orang yang aku sayang. Aku akan tetap di sini untuknya, aku tidak akan pernah meninggalkannya, tetapi aku akan membiarkannya meninggalkanku. Aku akan selalu menyambutnya dengan tangan terbuka saat ia datang karena membutuhkanku. Apapun yang ia lakukan dalam hidupnya, pintu hatiku akan selalu terbuka untuknya.
Suatu hari aku mengirimkan pesan singkat kepadanya melalui telepon genggam.
To: Arjuna
28.03.2009. 23:15
Aku adalah kamu, dan kamu adalah aku. Kita adalah satu, satu dalam cerita. Sama-sama merasakan apa yang kita rasa. Aku padamu, dan kamu padanya. Sebuah rahasia yang sulit untuk diungkapkan kepada siapapun maupun untuk siapapun. Aku meninggalkan untuk ditinggalkan.
Pesan singkat yang kukirimkan kepadanya itu kemudian aku jadikan sebuah lagu. Lagu itu aku beri judul "Meninggalkan untuk Ditinggalkan" karena seolah-olah aku meninggalkannya, semata-mata agar ia meninggalkanku. Aku sadar bahwa sampai kapanpun aku tidak akan mungkin bisa bersamanya atau memilikinya. Bukan karena kami tak saling cinta, bukan pula karena kami berbeda. Tetapi karena kami sama, kami sama-sama laki-laki. Aku berharap suatu hari nanti ia bisa mendengarkan laguku, mendengarkan isi hatiku yang aku simpan untuknya.