Desa Trunyan terletak di kecamatan Kintamani, kabupaten Bangli, Bali, Indonesia. Desa ini sudah cukup populer sebagai tempat wisata yang menarik. Bahkan banyak orang berkata belum ke Bali namanya kalau belum mengunjungi Trunyan. Kata Trunyan sendiri berasal dari kata Taru yang artinya pohon dan Menyan yang artinya wangi. Desa Trunyan yang terletak di kawasan gunung Batur ini memiliki 5 banjar dengan 1.700 kepala keluarga. Pemukiman masyarakat desa berada di balik pegunungan. Bila ada upacara atau hari besar keagamaan maka warga desa akan berkumpul di pusat desa melalui jalan-jalan setapak.
Berbeda dengan masyarakat Bali umumnya yang memakai kasta seperti Anak Agung, Cokorda, dll., desa ini tidak memberlakukan kasta terhadap masyarakatnya. Semua setara, namun tetap memakai nama Bali. Pada jaman dahulu masyarakat desa tidak boleh menikah dengan orang luar, namun sekarang hal itu diperbolehkan karena sudah banyak masyarakat yang merantau. Kebiasaan pada saat Nyepi juga berbeda dengan masyarakat Bali umumnya. Hal lain yang membuat desa ini berbeda yaitu terdapat 3 jenis kuburan. Kuburan untuk masyarakat yang sudah menikah dan meninggal secara wajar, kuburan untuk masyarakat yang meninggal karena kecelakaan dan kuburan untuk anak-anak atau anak muda yang belum menikah.
Kuburan yang pertama inilah yang paling sering dikunjungi wisatawan karena keunikannya di mana masyarakat yang meninggal tidak ditanam melainkan hanya dibaringkan di atas tanah. Jenazah memakai pakaian adat Bali dan hanya ditutupi oleh bilah-bilah bambu yang disebut ancak saji. Terdapat 11 kuburan yang dipakai bergantian. Bila ada masyarakat yang meninggal dan akan dikuburkan, maka kuburan yang paling tua akan dibersihkan dan tulang-belulang dari jenazah sebelumnya ditaruh di sekitar kuburan. Maka jangan heran saat berkunjung ke kuburan ini kita akan menemukan tulang-belulang dan kain dari pakaian jenazah yang berserakan di tanah.
Pada saat saya berkunjung, saya dan teman-teman beruntung karena terdapat satu kuburan yang baru saja dibuat. Di dalamnya terdapat jenazah yang yang masih utuh, sedangkan di kuburan lainnya ada yang mulai membusuk (15 hari) bahkan tinggal tulang dan tengkorak saja (2 tahun). Walaupun tidak ditanam namun jenazah ini tidak meninggalkan bau yang disebabkan oleh pohon besar yang bernama Taru Menyan. Dari pohon inilah nama desa Trunyan berasal. Pohon tersebut berbau harum dan dapat menyerap bau. Pohon ini merupakan satu-satunya yang ada di desa Trunyan.
Untuk mencapai desa ini, biasanya sudah ada guide yang menunggu di Kintamani dan bersedia mengantar wisatawan. Perjalanan dari Denpasar menuju Kintamani sekitar 2,5 jam bila ditempuh dengan mobil. Namun untuk mencapai kuburannya, kita harus naik boat atau perahu. Tarif perahu dayung sekitar Rp350.000 - Rp450.000 per perahu dan sampai Rp600.000 bila memakai boat (perahu mesin). Perjalanan ditempuh kurang lebih 10 menit dengan perahu dayung atau 5 menit dengan perahu mesin. Kami lebih memilih perahu dayung selain karena lebih murah, kita juga dapat menikmati pemandangan gunung Batur dan tebing-tebing tinggi yang terjal di sepinggir danau. Pada saat tiba di kuburan kita juga ditemani oleh guide yang bisa kita tanyai apa saja tentang Desa Trunyan.
Namun sangat disayangkan ada beberapa hal yang mengganggu. Terdapat masyarakat yang meminta-minta kepada wisatawan mulai dari anak-anak sampai masyarakat yang sudah kakek-nenek. Ada baiknya hal yang seperti ini ditertibkan agar wisatawan merasa lebih nyaman dalam perjalanannya. Tetapi di samping itu perjalanan ke Trunyan merupakan perjalanan yang menyenangkan. Selain mendapat udara sejuk pegunungan kita juga mendapatkan pengetahuan dan pengalaman unik dari kuburan desa tua yang ada di Bali.
Untuk foto-foto yang lain bisa dilihat di sini http://violetasaragih.blogspot.com/2014/01/desa-trunyan-dan-kuburan-uniknya.html