"Naura, kamu sudah siap untuk ujian akhir besok?" tanya Nabila sambil memandang sahabatnya dengan wajah serius.
Naura hanya tersenyum sambil menggaruk kepala. "Aduh, Nabila, jujur aja aku merasa belum siap. Kayaknya aku harus lebih banyak belajar malam ini," jawab Naura.
Nabila memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian. Meskipun Naura tidak pintar seperti dirinya, Nabila selalu percaya bahwa Naura adalah teman yang jujur dan setia. Nabila merasa bahwa persahabatan mereka lebih dari sekedar berbagi tawa, tetapi juga saling mendukung dalam setiap kesulitan.
Saat ujian berlangsung, Nabila terlihat tenang. Namun, Naura tampak gelisah. Hatinya berdebar-debar, tidak bisa fokus pada soal yang dihadapinya. Nabila yang menyadari kegelisahan Naura, tanpa ragu mengirimkan kertas yang berisi jawaban untuk soal yang sulit. Naura melihatnya, dan tanpa banyak berpikir, ia menerima bantuan itu.
Namun, setelah ujian selesai, Naura merasa tidak tenang. Ia merasa bahwa ia telah menyalahgunakan kepercayaan Nabila. Beberapa hari kemudian, Naura memutuskan untuk mengajak Nabila berbicara.
"Nabila, aku ingin minta maaf. Aku merasa bersalah karena menerima jawabanmu waktu ujian. Itu bukan cara yang benar untuk menghadapi masalah," ujar Naura dengan suara rendah.
Nabila hanya tersenyum. "Naura, aku tidak marah. Persahabatan kita lebih penting daripada ujian itu. Tapi aku juga ingin kamu belajar dengan cara yang jujur, karena itu akan membawa manfaat lebih besar ke depannya."
Naura merasa terharu. Ia menyadari bahwa pertemanan mereka bukan hanya soal kebersamaan di saat-saat mudah, tetapi juga tentang saling mengingatkan untuk menjadi lebih baik. Nabila tidak hanya teman yang membantu dalam kesulitan, tetapi juga teman yang mengajarkan nilai-nilai penting dalam hidup.