Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Subjektivitas Wartawan Sulit Dihindarkan

5 Januari 2011   05:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:57 218 0
Dikutip dari: www.vinsensius.info

Kalangan awam memandang pers/media massa/wartawan berada dalam posisi netral dan independen. Setiap berita yang disampaikan adalah objektif, fakta dan benar, serta merupakan refleksi realitas di masyarakat. Dalam pandangan keilmuan yang beraliran pluralis (liberalis; positivistik; fungsional) media diyakini memainkan peranan besar dalam membentuk kesepakatan (konsensus) dalam masyarakat secara alami. Wartawan juga adalah elemen media yang dinilai mampu menyingkirkan opini dan pandangan subjektifnya dalam berita. Inilah arus utama (mainstream) pemikiran masyarakat dan pers Indonesia saat ini (terlebih angin segar kebebasan pers dihembuskan.

Namun, ilmuwan sosial Stuart Hall dengan pandangan kritisnya justru menilai konsensus ini terjadi lewat proses yang kompleks dan melibatkan kekuatan-kekuatan sosial di dalam masyarakat. Hall menegaskan media sesungguhnya membentuk kesadaran (manufactured consent), atau dengan kata lain informasi-informasi dalam berita yang diproduksi media adalah hasil konstruksi kerangka pikir si  wartawan dan konteks sosial masyarakatnya. Wartawan tidak berperan sendiri dalam menyampaikan pesan kepada khalayak tetapi banyak konteks, kondisi, ideologi yang mempengaruhinya, sehingga subjektivitas sulit dihindarkan!

Lebih lanjut pandangan kaum kritis, media massa tidak lebih bagian dari struktur sosial masyarakat yang mendominasi ideologi lapisan lain. Media tidak dipandang secara sederhana langsung membentuk konsensus di dalam masyarakat, tetapi realitas yang dihadirkannya  adalah realitas yang dikonstruksi melalui serangkaian kondisi, opsi dan ideologi ketika realitas itu ada. Dengan serangkaian proses itulah media massa sesungguhnya mendefinisikan realitas yang lain untuk memapankan satu orang/institusi/situasi dan menyudutkan orang/instansi/situasi yang lain.

Dapat dikatakan pers memang dalam bekerja tidak bisa terhindar dari subjektivitas. Menjadi jelas, aktivitas media massa adalah persoaan siapa memihak siapa untuk mengukuhkan suatu kondisi guna memecahkan atau menghilangkan kondisi dan pihak lain.

Bukankah wartawan dengan penggunaan konsep nilai-nilai berita (Timeliness, Significance, Magnitude, The Unusual, Conflict, Proximity, Prominence, Human Interest) memberikan batasan sebagai opsi mana yang menjadi layak atau tidak menjadi berita? Ini juga bisa dikategorikan sebagai subjektivitas!

Hal ini ditegaskan Eriyanto (2001:29), bahwa konstruksi realitas lewat media sesungguhnya diproduksi oleh representsi dari kekuatan-kekuatan sosial dominan yang ada di dalam masyarakat. Akhirnya ketika kondisi yang ditunjukkan media itu hadir dalam masyarakat, hal itu justru dianggap realitas yang alami dan wajar. Tidak ada yang aneh di dalamnya yang perlu dikaji ulang. Dalam tahapan ini masyarakat menerima tawaran realita di media massa apa adanya! Padahal makna sebuah realitas adalah relatif dalam pandangan orang banyak.

Dalam pandangan kaum kritis, pers diberi koridor untuk menafsirkan kondisi ini dengan caranya sendiri. Di mana tafsiran itu menjadi sangat fokus dalam satu realitas terhadapa masyarakat. Apa, bagaimana dan mengapa realita ini direkonstruksi, inilah yang menjadi fokus sebuah studi kritis. Adalah ideologi sang wartawan, kondisi serta konteks politik, sosial dan ekonomi sangat mempengaruhi ketika dilakukan penafsiran.

Hal ini menjadi sangat tegas dalam pernyataan Ade Armando (1998:161-162) bahwa polanya adalah media menyeleksi realita, memberi penekanan pada bagian-bagian tertentu seraya mengabaikan bagian-bagian lain, dan menciptakan “realita baru”. Pada akhirnya konsumenlah yang menyesuaikan diri dengan kenyataan bentuk media tersebut.

Mengenai posisi media, pandangan kritis menilai media hanyalah struktur sosial yang didominasi orang yang berkuasa dan menjadikannya sebagai sarana untuk memojokkan orang lain. Hasil liputannya tidak objektif, karena wartawan adalah bagian dari kelompok/struktur sosial tertentu yang lebih besar (Eriyanto, 2001:33).

David Barrat (1994) dalam Eriyanto mengungkapkan media justru membantu kelompok dominan untuk menyebarkan gagasannya, mengontrol kelompok lain antar anggota komunitas. Lewat medialah ideologi dominan, apa yang baik dan benar, dan apa yang buruk dimapankan. Singkatnya media memiliki kesempatan dalam kondisi apa saja untuk mendistorsi informasi dan membatasi ruang gerak pihak lain (marjinalisasi/dipojokkan).

Kembali ditegaskan Eriyanto, media dipandang sebagai arena perang antarkelas. Ia adalah media diskusi publik di mana masing-masing kelompok sosial saling menyajikan perspektif, bertarung untuk memberi makna terhadap sebuah realitas. Bahasa yang digunakan membentuk makna itu menunjukkan bagaimana kelompoknya sendiri diunggulkan dan memarjinalkan kelompok lain.

Maka, kecakapan dalam mengonsumsi media (media literacy) terletak pada seberapa cerdik pembaca menempatkan dirinya terhadap informasi/berita yang dibacanya. Ketika infromasi itu dilahirkan ke dalam ranah publik (khalayak) maka ia bertranformasi menjadi sebuah wacana (diskursus) dalam bentuk makna yang dipahaminya. Sekali lagi ditekankan di sini bahwa makna itu sesungguhnya dihadirkan lewat pertarungan sosial. Siapa yang memenangkan makna yang dominan lewat bahasa, maka ia mendapatkan peluang untuk mempengaruhi dan memapankan makna itu menjadi ideologi. Sedangkan yang kalah akan tampil dalam citra negatif, buruk dan tidak layak.

Bingung
Pertanyaan besar dan kritis apakah wartawan memang bekerja secara objektif, disinggung sendiri oleh wartawan kawakan asal Amerika Serikat, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalis (2003). Jelasnya, menjawab objektivitas wartawan dicari dari idealisme wartawan selama ini, yakni kebenaran. Sebagian besar wartawan dan media mempercayai apa yang mereka lakukan dengan segala teknik jurnalistik, bisa mencapai kebenaran. Jika kebenaran berita telah dicapai, maka berita itu objektif.

Namun, Bill dan Tom pada awalnya justru mengaku kebingungan mendefinisikan kebenaran yang selanjutnya dijadikan prinsip pertama jurnalisme ini. Paparnya, pada ihwal ini ada kebulatan suara mutlak dan juga kebingungan yang mutlak dan juga kebingungan yang sempurna: semua orang setuju wartawan harus menyampaikan kebenaran. Namun, orang berselisih paham tentang apa yang dimaksudkan dengan kebenaran (Kovach dan Rosenstiel,2003:38).

Oleh Patty Colhoun, redaktur koran mingguan Westword, masih dalam Kovach dan Rosenstiel, menegaskan, “Anda tidak bisa bersikap objektif, karena Anda hidup dengan bias tertentu.

Dan kebenaran tampaknya terlalu rumit untuk kita kejar. Atau bahkan kebenaran tidak ada, mengingat kita semua individu subjektif”. Atau, ditambah lagi menurut Richard Hardwood, tiap berita ditulis melalui lensa yang berbeda yang diselimuti kabut stereotip dan kegemaran pribadi.

Permasalahan wartawan dalam meliput yang bermain adalah subjektivitas, bisa dilihat dari prinsip fairness (sikap tidak berat sebelah) dan balance (keseimbangan0 yag dicob menggantikan prinsip kebenaran. Menurut Bill dan Tom, fairness terlalu abstrak dan pada akhirnya, lebih subjektif ketimbang kebenaran. Tidak berat untuk siapa?

Keseimbangan juga terlalu subjektif. Menyeimbangkan cerita dengan bersikap adil terhadap dua pihak mungkin tidak akan menciptakan keadilan terhadap kebenaran, jika kedua pihak dalam kenyataannya tak memiliki bobot setara (Kovach dan Rosenstiel,2003:51).

Simpulnya, jurnalisme yang dinilai sangat ideal untuk mengusung kebenaran dengan tingkat kerja yang objektif, justru diragukan oleh orang-orang di dalamnya (wartawan). Namun, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tetap berpegang teguh pada pendirian kebenaran dan objektivitas tetap ada pada diri wartawan. Kebenaran katanya didapat tidak secara langsung, namun secara bertahap, lapis demi lapis.

Upaya jurnalisme untuk mencapai kebenaran dalam dunia yang kabur adalah dengan memilah sendiri awal fakta dan informasi keliru yang ikut bersamanya, ketiadaan informasi, atau promosi. Setelah itu, ia membiarkan komunitas bereaksi, dan penyeleksian pun terjadi. Pencarian kebenaran pada akhirnya jadi komunikasi dua arah (Kovach dan Rosenstiel, 2003:49).

Sedangkan konsep objektivitas, kata Bill dan Tom, bukanlah ditujukan pada wartawannya, namun pada metodenya. Namun sekali lagi kedua pakar jurnalisme ini menyebutkan secara tegas, wartawan justru bingung dan gagal apa yang mereka kerjakan melalui metode-metode jurnalisme itu. Di sini mereka secara tidak langsung mengatakan, bahwa kegagalan dalam menerapakan metode jurnalisme yang objektif, membawa hasil berita yang subjektif!

Kita baiknya setuju pada konsep kebenaran menurut Bill dan Tom di atas. Kebenaran yang dicari wartawan bukanlah kebenaran yang absolut/filosofis yang seketika itu diraih. Tetapi membutuhkan waktu, dan proses yang berlapis. Namun dengan catatan, hal ini didapatkan setelah memakai metode-metode jurnalistik yang objektif. Atau dengan kata lain, supremasi terhadap hukum, kode etik dan HAM adalah wajib!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun