Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Rezim Soeharto: Kebebasan Pers Gelang Karet

5 Januari 2011   04:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:57 2035 0
Dikutip dari: www.vinsensius.info

Membahas mengenai pers dalam konteks komunikasi politik pada pemerintahan Orde Baru tidak dapat dilepaskan akan kenangan pahit dan luka mendalam dalam sejarah demokrasi bangsa Indonesia, Demokrasi Pancasila. Orde Baru pada masa kepemimpinan Suharto memberikan pemandangan ideologi Demokrasi Pancasila, namun dalam kenyataannya jauh dari konsep-konsep dasar kerakyatan  yang selama beratus-ratus tahun sudah diketahui orang itu. Tulisan ini menelusuri bagaimana keadaan nyata pers pada saat itu dari pandangan dan materi-materi ulasan pelaksanaan ideologi Demokrasi Pancasila. Dimulai dari pemaparan singkat mengenai demokrasi di Indonesia, strategi politik Orde Baru, komunikasi politik Indonesia, dan kebebasan pers. Hal-hal di atas akan menggambarkan bagaimana kondisi nyata kehidupan pers Orde Baru.

Secara singkat dapat dikatakan, pers pada masa itu mendapatkan perlakuan yang semu, bias dan tak bernyawa, walaupun dalam payung hukum kebebasan bersuara, berekspresi, ratifikasi hukum internasional dan UU Pers yang mengizinkan adanya kebebasan pers. Banyak media massa cetak yang dibredel (dilarang terbit), seperti Kompas, Tempo,  Merdeka, Sinar Harapan, Pelita dan lain-lain. Pemerintah memaksa pemilik media itu untuk menandatangani perjanjian untuk tidak mengkritik pemerintah dan bisnis keluarga kepala negara. Pers malah berfungsi sebagai instrumen pembangunan yang memelihara ketertiban, harmoni dan keamanan.

Pers yang bebas, yang berfungsi sebagai pengontrol pemerintah, watchdog, tidak serasi dalam ideologi Demokrasi Pancasila pada masa itu. Hingga menetapkan penilaian bahwa kondisi ini tidak ada bedanya pada masa pemerintahan Soekarno.

Komunikasi politik dan kehidupan demokrasi pada Orde Baru

Keberhasilan menghanguskan kekuatan komunisme dari Partai Komunis Indonesia (PKI), akhirnya membawa pada model pemerintahan baru yang bertekad melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dalam kepemimpinan Suharto, pemerintahan Orde Baru berintikan ABRI dan kaum teknokrat yang bersifat birokratis. Pada masa awal Orde Baru dengan cepat diambil langkah-langkah untuk memperbaiki keadaan ekonomi melalui pembangunan jangka panjang yang terencana atau yang lebih populer dengan sebutan Pembangunan Lima Tahun (Pelita).

Namun dalam bidang politik, ternyata Orde Baru belum dapat dikatakan mengarah pada pembangunan Demokrasi Pancasila secara bertahap. Ia dilakukan melalui pendekatan stabil dinamis, yang berorientasi pada status quo dan mengisolasikan kehidupan politik dari pembangunan politik yang diperlukan dalam pembangunan nasional. Suharto juga memproduksi beberapa produk politiknya, seperti pelaksanaan pemilu secara reguler, kemudian diikuti oleh Sidang Umum MPR yang antara lain menetapkan GBHN, memilih dan menangkat presiden dan wakil presiden. Ada juga proses pemantapan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup dalam kegiatan penataran P4. Serta kekuasaan dominan oleh Partai Golongan Karya, juga adanya dwi fungsi ABRI.

Awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh adanya kebebasan politik. Namun tanpa disadari kebebasan itu membawa pada kondisi yang sebebas-bebasnya. Masyarakat dan pejabat pemerintah saling mencurigai dan cenderung berperilaku anarkis, saling memusuhi, pertentangan ideologi. Masyarakat menginginkan dalam kondisi terkotak-kotak dalam kerangka ideologi politik dan promordial yang sempit, hingga berpuncak pada Peristiwa Lima Belas Januari (Malari), 15 Januari 1974.

Kebebasan politik yang hampir tak terbatas dan tak terkendali, ditambah dengan makin terbukanya borok dari dalam pemerintahan sendiri. Seperti korupsi, keperpihakan politik, penyalagunaan kekuasaan dan lain-lain. Masalah-masalh semacam itu dikomunikasikan secara terbuka baik melalui pers, demonstrasi, seminar-seminar hingga perguncingan dalam masyarakat.

Sementara itu di pihak pemerintah menjadikannya “panas telinga”. Kondisi yang menjadi anarkis melalui demonstrasi mahasiswa dan pertarungan wacana yang cenderung emosional dan konfrontatif di media massa itu membuatnya merasa terancam.

Hingga peristiwa berdarah Malari membuat alasan kuat bagi pemerintah untuk meredam ketegangan itu melalui kebijakan-kebijakan yang preventif. Dimulailah dilakukan pembredelan sejumlah media massa cetak yang dianggap berperan penting dalam merangsang peningkatan suasana krisis politik.  Komunikasi politik mengalami pengendalian dalam rangka memelihara kestabilan nasional yang dibutuhkan untuk mensukseskan pembangunan.

Demokrasi dan kebebasan pers

Untuk menunjuk salah satu ciri dari demokrasi dan tidaknya sebuah pemerintahan, kehidupan media sering kali dijadikan parameter. Demokrasi mengandaikan kebebasan warga untuk berkumpul, berpendapat, dan mengemukakan kritik. Sebaliknya, pemerntahan yang antidemokrasi akan selalu mengawasi orang berkumpul, menekan pendapat, dan memberangus kritik. Cara yang konvensional adalah dengan mengatur dan mengarahkan pemberitaannya, menempatkan orang-orang nonpemerintah dalam jajaran redaksi dan kepemimpinan organisasi pers, dan bahkan merekayasa berita bohong. Di bawah pemerintahan yang otoriter, pers adalah makhluk yang paling tersiksa. Ia korban, sekaligus dengan terpaksa harus menjadi pelakunya sendiri. Demikian nasib pers di bawah pemerintahan otoriter, tak terkecuali pers di bawah Orde Baru.

Media massa selama Orde Baru jauh dari fungsinya sebagai pilar penegakan public sphere. Konsepsi korporatisme otoriter yang diterapkan Orde Baru, dengan  kecenderungan kuat ke arah pewadahtunggalan dan homogenisasi, telah menempatkan berbagai kawasan publik dalam posisi di hadapan penguasa  negara. Pers difungsikan sebagau aparatus ideologi negara, berpasangan dengan aparatus represif negara, seperti militer dan kelompok-kelompok political thugs.

Frans Magnis Suseno dalam bukunya: Mencari Sosok Demokratis, 1997, 60 memaparkan jaminan atas hak-hak dasar demokratis rakyat, yang merupakan satu bagian dari 5  gugus ciri hakiki negara demokratis menyebutkan:


  1. Hak untuk menyatakan pendapat serta untuk mengkiritik pemerintah baik secara lisan maupun tertulis; hak ini termasuk kebebasan pers.
  2. Hak untuk mencari informasi alternatif terhadap informasi yang disajikan oleh pemerintah.
  3. Hak berkumpul.
  4. Hak membentuk serikat, termasuk hak mendirikan partai politik dan hak berasosiasi.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun