Konon katanya, manusia merupakan makhluk yang diciptakan sempurna karena memiliki akal dan budi. Sebagai makhluk yang (katanya) paling sempurna, manusia memegang kendali penuh terhadap alam semesta ini. Kepongahan manusia sebagai makhluk yang merasa punya kendali penuh atas alam semesta, membuatnya tak jera untuk menggagahi alam hingga satu per satu partisipan dalam rantai kehidupan musnah. Manusia menjadikan ‘perkembangan peradaban’ sebagai tameng untuk melindungi ego mereka dalam membabat sumber daya alam dan menggunakan alam sebagai objek untuk meraup profit yang sebesar-besarnya. Eksploitasi alam dalam rangka menyukseskan gaung industrialisasi dan modernisasi yang dijunjung manusia, semakin hari malah semakin menjerumuskan mereka dalam berbagai macam bencana; terganggunya ekosistem, cuaca ekstrim hingga peristiwa kabut asap yang tentu masih segar dalam ingatan kita. Bencana-bencana ini sudah pasti bukan datang dengan sendirinya atau secara insidental, melainkan hal tersebut merupakan efek domino yang ditimbulkan dari tidak selarasnya hidup manusia dengan alam. Alam mengamuk dan memberontak karena selalu dijadikan objek eksploitasi manusia. Disinilah alam bersuara tentang kelelahannya untuk menghadapi kerakusan manusia. Hanya segelintir orang yang akal, budi serta inderanya tidak tuli yang mampu mendengar raungan tersebut, sementara di luar sana masih banyak oknum-oknum bebal, kaum-kaum kapitalis dan bahkan (tanpa disadari) diri kita sendiri juga sangat garang mengangkat senjata untuk berperang dengan alam.
KEMBALI KE ARTIKEL