Jika ada yang merasa tersinggung, wajar! namanya juga sarkasme. Malam itu, status fitur chatting seseorang yang ada di daftar kontak saya bertuliskan "Garuda Di Dadakan".
Kalimat itu "lumayan" membuat tenggorokan saya serasa dilewati sekepal nasi tanpa terkunyah. Saya baru setengah dekade ini memperhatikan sepak bola dalam negeri, mencoba memberikan kesan baik, dan mencoba sedikit memulihkan citra supporter sepak bola Indonesia di mata anak-anak muda yang mengaku punya pergaulan luas dan berwawasan kebarat-baratan.
Di ajang ini, Piala AFF 2010, ada fenomena penting-tak-penting yang terjadi. Timnas kedatangan dua anggota keluarga import baru. Seperti sudah watak mendasar masyarakat negeri ini yang selalu mempunyai anggapan "yang dari luar itu pasti kualitasnya lebih bagus jika dibandingkan dengan yang dari dalam".
Ya. seperti memilih daging sapi, pasti akan dipilih daging yang "katanya" berasal dari sapi Australia, daripada daging yang "nyatanya" berasal dari sapi yang dibesarkan di Surabaya. Padahal mana mereka tahu, kalau kandang sapi-sapi itu sebenarnya bersebelahan sewaktu mereka melewati masa remaja di Madura. Christian Gonzales & Irfan Bachdim nama mereka.
Kepala mereka barangkali bisa sampai sebesar perut sapi super yang dibeli Presiden SBY untuk qurban tempo hari. Puja-puji tak henti berdatangan untuk mereka, dari mereka-mereka para pemerhati sepak bola tanah air, maupun dari mereka-mereka yang....ya saya lebih suka menyebut mereka "mendadak Timnas".
" Aduuhh... saya nggak suka sepak bola..."
" Ya elah... kalo yang maen Indonesia mah, kaya nonton pertandingan tarkam-an.."
" Gak ah.. kan Nasionalisme nggak cuma diliat dari situ aja..."
" Sepak bola Indonesia mah prestasinya cuma rusuh doank !"
Kalimat-kalimat yang selalu melekat dalam otak saya. Kalimat-kalimat ini keluar dari mulut mereka-mereka yang akhir-akhir ini sedang "seru" mengunggah foto-foto berseragam merah, dengan sedikit list hijau di lengan, ada siluet bergambar apa yaa?? dari jauh kurang jelas..
Tapi yang paling mencolok adalah, ada gambar burung garuda di bagian dada mereka. Leher baju itu masih terlihat kaku, pasti belum pernah tercuci. Jangankan tercuci, dibawa pulang ke rumah saja belum sempat nampaknya. Bau tokonya pun seakan masih bisa kita rasakan. fresh from the oven. too fresh! latar belakang foto mereka adalah sebuah lapangan hijau luassss....
Walaupun ada bercak-bercak coklat di banyak sisi, di bagian atasnya, ada suatu kurva yang berbentuk lengkungan berlampu. Di pipi mereka melekat sebuah stiker yang nampanya identik dengan bendera negara saya, Indonesia. Warna merah di atas, putih di bawah. Nampaknya tempat ini sangat familiar bagi saya beberapa tahun belakangan ini.
Ya!! itu adalah tempat saya dan teman-teman saya biasa berekspresi selama ini. Kami seakan tidak peduli dengan anggapan miring orang-orang yang merasa paling tahu tentang sepak bola negeri ini. Saat terpuruk, kami ada. saat di puncak, kalian juga bisa dengan mudah temukan kami.
Apa yang mereka lakukan di sana ya???
sepak bola Indonesia kan tidak punya prestasi. apa yang sedang mereka ributkan di sana??
ohhhh saya tau !!
pasti....
"IIIRRFFAAANNN BACHHHDIIIIIIMMMMMM !!!!!!!"
Secara fisik, Irfan adalah sosok laki-laki manis lemah lembut, yang jika skill bersepakbolanya dibandingkan dengan seorang Bambang Pamungkas semasa muda, rasanya biasa saja. lalu, apa yang istimewa? karena dia peranakan Indo?! lalu menurut sebagian orang dia tampan?! setau saya, untuk bisa masuk ke sebuah tim sepak bola, apalagi tingkat Nasional, "Wajah Ganteng Indo" bukanlah kriteria.
Bukan saya antipati pada Irfan (serius fan, nggak ko..), tapi, akan lebih bisa diterima ketika anda bertanya kepada seseorang tentang pendapatnya terhadap seorang pesepakbola nasional seperti ini " saya suka Irfan Bachdim, karena dia cermat dalam mengumpan" dibandingkan dengan yang seperti ini " saya suka Irfan Bachdim, soalnya dia Ganteeeng "
Terlebih lagi, orang yang berteriak "IIIRRRFAAAN BACCHHHDIIIMMMM !!!" tak lama kemudian, bertanya pada rekan di sebelahnya, "Irfan Bachdim nomernya berapa sih??" Sepak bola yang sewajarnya adalah olah raga yang paling merakyat dan diperbincangkan di warung kopi sekalipun, kemarin-kemarin seperti tak punya wujud. dibayangkan saja tidak, apalagi dibicarakan.
Coba lihat hari ini, seluruh media bergembar-gembor. ada sebuah media yang seperti tak tahu malu, karena tak khawatir dilihat seakan kehabisan program unggulan lain, tanpa jeda, membabat Timnas dari ujung akar sampai ujung daun termuda sekalipun.
Sayangnya, media-media labil lainnya pun seakan kehilangan jati diri mereka, yang tadinya dikenal sebagai televisi sinetron, radio hiburan, televisi cerdas, mendadak divonis terjangkit sindrom latah stadium lanjut.
Kemana saja kalian kemarin-kemarin bahkan di saat Indonesia masuk final AFC??
ini baru tingkat Asia Tenggara loohhh...
dulu itu tingkat Asia. se-benua Asia yang segede Alaihim Gambreng !
Prestasi yang sebenarnya masih biasa saja. sadarkah kalian wahai media, seakan pemain timnas pun sudah jengah dengan sodoran microphone bau cipratan liur-liur mereka juga?! apalagi kamera, yang lensanya seakan ingin menunduk terus, menolak menyorot wajah sang pemain karena bosan.
Dan kalian, para Garuda-garuda di dadakan, yang akhir-akhir ini rajin membuat status, "Go Garuda Indonesia..." <---- lo pikir maskapai penerbangan ?! sekarang kalian mulai menginginkan uforia yang selama ini jadi milik kami.
Kalian juga, orang-orang punya kuasa, ini hiburan kami. selama ini, kami yang selalu kalian andalkan ketika kalian butuh uang lebih untuk beli tusuk gigi dari hasil penjualan tiket pertandingan. kalian juga yang saat ini menghianati kami.
Bagaimana perasaan anda ketika anda berhasil masuk di laga putaran semifinal terakhir yang dipadati lebih dari kapasitas maksimal stadion yang dulu pernah menjadi yang termegah se-asia tenggara, anda berhasil mendapat tempat di sektor mana saja.
Sementara teman-teman seperjuangan anda selama ini, harus berikhlas hati tertahan di luar, hanya menyaksikan lewat layar lebar pudar yang disediakan untuk ribuan orang lain yang juga tidak berhasil masuk, karena tidak berhasil mendapatkan tiket.
Bukan karena tidak mampu membeli, namun, uang yang disetorkan, dikembalikan lagi oleh para kapitalis penyelenggara, dan tiket yang seharusnya menjadi hak teman-teman anda lari ke tangan-tangan anak manja yang duduk di depan anda sepanjang pertandingan.
Pandangannya tak sedikitpun mengarah ke lapangan, jari jemarinya menari lincah. kedua mata sok polosnya memandangi layar kecil sebuah telepon genggam yang mereka anggap pintar yang rajin sekali mendecit.
Mungkin si telepon yang merasa pintar itu pun enggan digenggam oleh orang kurang pintar macam mereka. kesempatan langka yang didambakan oleh ribuan orang lain di luar sana, tapi mereka gunakan untuk berkicau memberitahukan pada teman-teman setipe mereka bahwa mereka sedang "@GBK watching Indonesia vs Philippines.. Ayo Garudaku... with 100.000 others via kotak4". siapa yang nanya?? setan mungkin.
Harusnya saya senang karena sekarang, tanpa saya minta, atau saya ajak, mereka dengan bangga karena bisa masuk gratis berkat koneksi yang dimiliki saat ini mau mendukung persepakbolaan Indonesia.
Tapi entah kenapa, saya, sebagai penonton yang selalu membeli sendiri setiap tiket pertandingan yang saya hadiri, merasa apa yang mereka lakukan, banyak menyakiti hati para supporter nyata. mereka yang selalu meminta kami untuk duduk sepanjang pertandingan, dan mereka-mereka yang selalu meneriakan kata "kampungan!" ketika kami menolak untuk duduk.
Ketika nanti Garuda tidak bisa memberikan "kebanggaan" yang menjadi "terror" dari para Garuda Di Dadakan, akan seperti apa reaksi mereka?! semoga tidak mencakar-cakar wajah & mulut mereka sendiri. apalagi sampai merobek seragam yang mereka pakai untuk berfoto-foto seperti turis yang sedang takjub dengan situs sejarah kuno nan antik yang sebentar lagi akan roboh karena usia.
Namun, ketika Garuda berhasil, semoga kepala Gonzales dan Irfan Bachdim tak sampai sebesar kepala Nurdin Halid.
Vikry Pristian
Pecinta Sepakbola Nasional
(Follow on Twitter: @VikryPristian)