Timbuktu kini menjadi bagian dari legenda kejayaan umat Islam.Meninggalkan saksi mata para pengembara lewat sejarah dan peta. Nampaknya, Timbuktu kini hanya tinggal menunggu waktu saat pasir Sahara menyelimuti kota ini, selamanya.
Lebih dari seribu tahun yang lalu, sekawanan pengembara dengan onta-onta mereka melewati terik panasnya matahari, gersangnya padang pasir dan rerumputan khas Sahara. Mereka membawa emas, gading, garam dan para budak menuju ke Mediterania untuk ditukar dengan keramik, gelas, serta batu-batu berharga lainnya. Rombongan besar itu datang dari satu daerah, Timbuktu.
Dimanakah Timbuktu? Kota ini terletak di sebelah Selatan Gurun Sahara. Dua belas kilo jauhnya sebelah utara Sungai Niger. Siapa yang menyangka, daerah rute onta yang menghubungkan Arab dan Afrika ini pada abad ke-11 ini merupakan daerah perdagangan dan pendidikan di masa kejayaan Islam.
Mimpi Emas di Timbuktu
Mendengar kata Timbuktu, mungkin ibarat mendengar sebuah nama kota yang sangat tua, jauh di belahan dunia lain. Bahkan mungkin kota ini mulai terlupakan di peta dunia. Padahal dulu, di saat Barat hidup dalam masa kegelapan dan kebodohan, justru di Afrika di abad ke-13, berdirilah universitas yang berjaya dengan ilmu pengetahuannnya, menjadi kebanggaan umat Islam saat itu. Menggugurkan mitos bahwa orang hitam Afrika itu buta huruf dan bodoh.
Timbuktu atau dikenal juga dengan nama Tomboctou yang berarti kaya, dulu dikenal dengan julukan mutiara padang pasir.Di sinilah Sultan Mansa Musa, raja kerajaan Mali, bersama 8 ribu tentara, 60 ribu pengendara yang menunggangi 15 ribu unta, beristirahat sebelum bertolak kembali pulang ke pusat kota.
Gambaran kekayaan dan kejayaan Timbuktu ini digambarkan oleh Richard Jobson, pada tahun 1620, sebagai kota yang menjanjikan emas yang berlimpah. Kabar ini terdengar sampai ke Eropa. Katanya, rumah-rumah di Timbuktu berlapis kepingan emas, sungainya kaya dengan berbagai macam logam berharga, dan gunungnya berisi “harta karun” berupa logam mulia.
Berita luar biasa itu mendorong orang-orang Eropa untuk mengunjungi Timbuktu dan mengadu nasib ke sana. Banyak pengembara Eropa yang menemui ajal sebelum sampai ke tujuannya. Kalaupun sampai ke kota ini, mereka akhirnya sadar tidak sepenuhnya berita itu benar. Tapi mereka menemukan kenyataan yang berbeda dan mencengangkan, kota ini ternyata merupakan pusat jama’ah haji Afrika pertama yang akan berangkat berhaji dan pusat dari beasiswa universitas islam terbaik abad pertengahan. Saat itu betapa mudahnya menemukan perpustakaan dan literatur ilmu-ilmu Islam di Timbuktu.
Bahkan menurut hasil catatan perjalanan dalam episode in to Africawartawan BBC Henry Louis Gates Jr. menggambarkan, di masa kejayaan Timbuktu, hasil emas yang melimpah menyebabkan penduduk Timbuktu menukar se-ons emas dengan garam!
Timbuktu DariWaktu Ke Waktu
Seorang suku Tuareg menemukan daerah yang akhirnya disebut Timbuktu. Setelah bergabung dengan kerajaan Mali, akhir abad ke-13, Sultan Mansa Musa, membangun sebuah menara untuk Masjid Terbesar Jingerebir (Jami’ al Kabir) dan tempat peristirahatan raja, Madugu (yang kini tak nampak jejaknya).
Kota yang memiliki perpaduan antara budaya Arab dan Afrika ini, memiliki gerbang yang bertuliskan ayat Al Qur’an. Masjid-masjid pun pun bertebaran di sana-sini. Suasana Islami yang penuh dengan keingintahuan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan menjadikan kota ini terkenal sebagai kota pelajar. Suku-suku di sana seperti Tuareg, Berbers, Soninke, dan Songhoi hidup aman dan damai dalam satu ikatan akidah Islam. Bukan itu saja, Timbuktu pada abad ke-16 terkenal mendominasi perdagangan di Afrika.
Pada abad ke-14, Timbuktu ditaklukkan oleh penguasa Songhai, Soni’ Ali yang juga menciptakan dinasti Askia dengan penguasa yang pertama Muhammad I Askia. Masa berkuasa diniasti ini adalah awal dari kecemerlangan Timbuktu.
Tahir Shah dalam artikelnya menulis, dahulu kala pemimpin agama, hakim, dokter sampai pekerja adalah lulusan sekolah-sekolah ternama di Timbuktu. Para elit terpelajar ini berasal dari sekolah-sekolah bisnis yang dulu telah ada di kota tersebut. Terutama di bagian kota Sankore, yang juga menyediakan beasiswa bagi pelajar yang tertarik dengan masalah arahan administrasi sipil, peraturan perdagangan, ilmu pemerintahan, perencanaan kota, ilmu arsitektur sampai ilmu menjahit.
Pada pertengahan abad ke-16-yang juga disebut sebagai masa emas Timbuktu- kota ini memiliki 150 buah sekolah dan kurikulum yang terarah. Saat itu ilmu-ilmu lain selain agama,seperti sejarah, matematika, astronomi juga berkembang dengan baik. Jumlah pelajar juga semakin banyak, memenuhi Timbuktu.
Hubungan yang unik dan erat antara murid dan guru yang disebabkan oleh kecintaan dan penghormatan berlandaskan iman, menebarkan aroma kesantunan dan kepatuhan serta kasih sayang ke seluruh penjuru Timbuktu. Bahkan, saat itu pelajar yang termuda sekali pun dapat mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada pengembara dan pedagang yang sedang berkunjung ke sana.
Dengan adanya pedagang dan pengembara yang datang dan pergi perpaduan budaya di Timbuktu pun terjadi. Malah menjadikan semakin kaya dengan budaya-budaya baru yang berasimilasi. Perpaduan antara Afrika Selatan dan Afrika Utara. Contohnya saja budaya masyarakat Songhoi yang menandai bulan suci Ramadhan dengan nama bulan “tutup mulut” dan akhir Ramadhan dengan bulan “buka mulut”. Dan masjid menjadi bagian terbesar terjadinya asimilasi tersebut.
Di Timbuktu masjid dan perpustakaan tidak saling berdiri sendiri. Masjid dikenal sebagai pusat untuk mencari ilmu sehingga perpustakaan pun menjadi bagian dari masjid. Perpustakaan Sankore memiliki 700 volume buku yang tertulis dalam bahasa Arab dan di kopi dengan tulisan tangan. Para pelajar berlomba-lomba mengkopi buku-buku yang mereka perlukan untuk belajar.
Al Wazan –seorang pengembara muslim terkenal abad 16- mencatat bahwa saat itu di Timbuktu, buku merupakan barang yang paling laris dibeli dibandingkan dengan barang lain. Mendekati abad ke-19 Felix Dubois menjelaskan posisi Timbuktu yang strategis sebagai pusat perjalanan jamaah haji ke Mekkah menyebabkan tersedianya banyak buku-buku.
Sayangnya, Timbuktu hancur, luluh lantak lantaran perebutan kekuasaan yang terus menerus. Kejayaan Timbuktu mulai surut saat kota ini ditaklukkan Maroko di akhir abad ke-16. Banyak para pelajar yang dipenjara karena dicurigai memberontak, sebagian lain tewas dalam peperangan dan sisanya lari ke Maroko. Pada tahun 1893, Suku Tuareg, Bambara dan Fulani kembali merebut kota ini, sebelum akhirnya jatuh ke tangan Perancis. Sejak saat itu, nama Timbuktu nyaris tak terdengar lagi.
Wajah Timbuktu Kini
Jika kita melewati jalanan sempit di Timbuktu, kita akan melihat dua atau tiga rumah yang terbuat dari lumpur dengan pintu kayu berukir yang kuat besar, roti yang sedang dipangggang di open terbuka, tiga masjid terkenal dan pasar dimana kita bisa membeli apa saja mulai dari barang-barang kerajinan kulit sampai unta. Tak usah heran jika di sana anda akan menemukan jalan-jalan yang dipenuhi dengan pasir. Suku Tuareg sendiri yang terkenal sebagai pengrajin benda-benda logam saat ini terpaksa ke kota atau menetap menjadi petani.
Timbuktu, yang berdekatan dengan Sungai Niger yang merupakan urat nadi kehidupan di Afrika Barat, bisa dicapai dengan menyusuri sungai tersebut. Tidak ada kendaraan lain yang bisa mencapainya selain perahu dan unta. Sampai sekarang 3 ribu karavan unta meninggalkan Timbuktu dua kali dalam setahun (Bulan Maret dan November) untuk membawa garam dari tambangnya di Taoudenni, sekitar 600 km sebelah utara Afrika.
Timbuktu saat ini adalah kota kecil nan terpencil, bagian dari Republik Mali, Afrika yang merdeka dari jajahan Inggris tahun 1960. Karavan-karavan garam itu mungkin saja masih muncul sesekali di musim dingin, tapi kali ini tidak ada pertukaran antara garam dengan emas.Republik Mali sendiri saat ini dikenal sebagai negara miskin, tidak sedikit pun nampak kejayaannya di masa lalu.
Dengan dikelilingi oleh gurun pasir luas, kejayaan Timbuktu selama 800 tahun sangat mencengangkan. Pendidikan sangat dipentingkan dari generasi ke generasi. Bahkan di masa-masa sulit ketika terjadi perebutan kekuasaan di Timbuktu, pengajaran Al Qur’an tetap yang utama.
Namun saat ini, kota ini dicekam oleh kesepian yang semakin membatu. Terisolasi oleh pasir dan panas matahari. Universitas terkenal zaman keemasan Timbuktu walaupun masih berdiri, dinding dan halamannya dingin membisu. Tinggal lembaran-lembaran manuskrip tua yang menjadi saksi bisu, menunggu dunia luas menemukan atau membangkitkan kembali kejayaan masa silam, sebelum pasir menenggelamkan kota tua ini dan menyisakan legenda semata.
(Saya menulis ini karena rasa penasaran, mengapa orang selalu mengucapkan Timbuktu sebagai tempat nun jauh di sana, tak tercantum dalam peta, terpencil tanpa peradaban. Bahkan ketika membaca komik Donal Bebek sang tokoh Mimi Hitam (maaf kalau saya salah) sering memantrai korbannya untuk menghilang ke Timbuktu ^^ Siapa sangka, ternyata tempat ini pernah berdiri suatu peradaban besar.)