[caption id="attachment_141622" align="alignleft" width="300" caption="Monumen Jalesveva Jayamahe"][/caption] "
Kamu tahu apa yang akan kamu dapat ketika menjadi seorang pahlawan? Tidak ada! Kamu hanya akan mendapat teror pembunuhan. Atau penyiksaan agar kamu mau mengubah keyakinanmu. Jika kamu selamat, mungkin teman atau rekan-rekanmu hanya akan menepuk pundakmu untuk memberikan ucapan selamat. Tetapi sebelum itu, kamu ditinggalkan kekasihmu. Saudaramu akan mengasingkanmu. Keluargamu tidak akan mengakuimu. Bahkan mungkin anak-anakmu tidak ingin berbicara denganmu. Akhirnya kamu hidup sendiri. Makan sendirian tanpa teman. Tidur sendirian dengan penuh rasa ketakutan. Pikiran yang penuh pertanyaan. Percayalah, tidak akan ada yang ingin menjadi seorang pahlawan." "
Lalu mengapa kamu tetap melakukan ini? Tetap berpegang teguh pada keyakinan, sambil terus percaya bahwa kebenaran akan selalu menang?" "
Karena tidak ada orang lain yang mau melakukannya di jaman sekarang. Itu sebabnya. Percayalah, jika ada mereka, siapa pun dia, yang mau melakukan ini semua, saya akan membiarkannya mengerjakan apa yang aku lakukan. Tapi nyatanya tidak ada. Jadi selalu pada akhirnya aku yang melakukan ini semua." "
Teman, itulah yang menjadikanmu seorang pahlawan." ********/******* Setelah mendengar percakapan fiktif tadi, saya pikir tidak ada manusia yang bercita-cita ingin menjadi pahlawan. Hal yang membuat seseorang mendapat "cap" pahlawan, seringkali terjadi begitu saja tanpa diperhitungkan. Atau orang-orang dengan predikat pahlawan tadi, biasanya hanya digerakkan oleh hati nurani. Tanpa memerhitungkan apakah nantinya akan mendapatkan sebuah penghargaan.
Apakah seorang Gie (Soe Hok Gie) ketika mulai menuliskan pemikirannya di surat kabar nasional, menjadi "aktor intelektual" dibalik setiap aksi mahasiswa UI, hingga mulai mendapat ancaman teror dan diasingkan oleh lingkungannya;
pernah berpikir bahwa nantinya, namanya akan dikenang oleh sebagian rakyat Indonesia? Saya kira tidak. Dia melakukan itu semua karena murni berdasarkan panggilan nuraninya. Hingga ia mati di usia muda, dan orang-orang yang tak pernah ditemuinya menangisi kepergiannya. "
Seandainya dia masih hidup di masa sekarang, pasti banyak yang bisa dilakukannya." Kata seorang purnawirawan militer mengenangnya. Atau
pernahkah terbersit di benak Elang Surya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie dan Hery Hertanto, saat turun ke jalan,
bercita-cita menjadi pahlawan? Saya kira tidak. Mereka bergerak bersama-sama ribuan mahasiswa lainnya karena sebuah alasan, yang mungkin tidak masuk akal bagi para pimpinan dan anggota dewan, yang sudah duduk nyaman di bawah teduhnya pohon rindang. Mereka bergerak karena ingin melawan. Ingin sebuah perubahan. Ingin menggulingkan tirani ketidakadilan.
Jika akhirnya mereka mati dan mendapat predikat "Pahlawan Reformasi", saya kira itu bukan harapan mereka yang menginginkan bangsa ini menjadi lebih baik lagi. Saya kira begitu pula dengan Wiji Thukul, Munir, Baharuddin Lopa dan sejumlah manusia lainnya,
yang berani melakukan apa yang orang lain tak pernah pikirkan. Untuk sebuah perubahan. Untuk mencari kebenaran. Untuk sebuah cita-cita mulia bagi kemajuan bangsa Indonesia. Saya mulai berimajinasi ... Seandainya para pahlawan kemerdekaan Indonesia bisa hadir di tengah kita lagi, mungkin mereka akan berkata: "Saya ingin menukar gelar ini (sambil memegang sebuah plakat ‘Pahlawan Nasional') dengan kemerdekaan Indonesia untuk yang kedua kali. Kemerdekaan dari tirani yang tersembunyi, kemerdekaan dari perilaku korupsi yang mencengkeram negeri, kemerdekan dari kebodohan... kemelaratan... kepicikan... kemalasan... ketidakadilan hukum... hingga merdeka dari tangan orang-orang serakah yang menjajah bangsanya sendiri."
KEMBALI KE ARTIKEL