Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum

Korupsi 300 Triliun Hukumannya Hanya 6,5 Tahun yang Gemparkan Dunia Internasional

5 Januari 2025   21:49 Diperbarui: 5 Januari 2025   21:49 54 0
By A Junaedi Karso.

Hal ini disampaikan Ahmad Junaedi Karso dalam ungkapannya pada penulisan artikel dibawah ini.


Keputusan hakim sangat ringan terhadap korupsi timah 300 triliun terbesar di dunia yang menggemparkan dunia internasional dan jagat maya. Kasus korupsi Rp 300 triliun, bos timah Tamron divonis 8 tahun penjara. Pemilik perusahaan smelter swasta CV Venus Inti Perkasa (VIP), Tamron alias Aon, dihukum 8 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah yang merugikan negara sebesar Rp 300 triliun.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Tony Irfan, menyatakan bahwa Tamron terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara sah dan meyakinkan bersama-sama Harvey Moeis dan kawan-kawan. Korupsi tersebut di antaranya dilakukan melalui kerja sama sewa alat pengolahan dengan PT Timah Tbk dan jual beli bijih timah dari wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk.

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Tamron alias Aon. Oleh karena itu, dengan pidana penjara selama 8 tahun ini tidak sesuai dengan konsep Pancasila dan Perundang-undangan dan Islam, dimana agama Islam sangatlah menjunjung tinggi nilai keadilan yang diterapkan dalam setiap aspek kehidupan. Keadilan merupakan suatu ciri utama dalam ajaran Islam yang setiap orang muslim akan memperoleh hak dan kewajibannya secara sama. Berdasarkan pada hakekat manusia yang derajatnya sama antara satu mukmin dengan mukmin yang lain dan yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan dari setiap mukmin tersebut.


Hak dan kewajiban yang sama-sama digadang-gadang oleh setiap manusia memiliki makna yang berbeda-beda. Sehingga suatu konsepsi keadilan dalam menentukan hak dan kewajiban manusia sangatlah berpengaruh. Dengan tegaknya suatu keadilan akan membuat setiap orang merasa aman dan nyaman. Keadilan dalam hal ini tersurat dalam landasan hukum Islam baik yang tertera di dalam Al-Qur'an maupun dalam Al-Hadist.

Dalam kehidupan manusia yang sering disebut sebagai feeling society tentunya sangat dibutuhkan suatu keadilan. Dalam praktik politik, hukum, budaya dan lainnya sangatlah dibutuhkan keadilan. Jadi, sangatlah sukar ketika ketidakadilan tidak diterapkan dalam kehidupan karena kehidupan bermasyarakat dengan strata sosial yang berbeda juga menentukan kebermaknaan keadilan. Semua manusia akan saling mencurigai dan tidak percaya. Meskipun dalam prakteknya keadilan yang dimaknai setiap orang sangatlah berbeda. Namun, keadilan harus ditegakkan. Terkhusus bagaimana agama Islam mengajarkan konsep keadilan kepada ummatNya.


Majelis hakim juga menghukum Tamron untuk membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan. Selain itu, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat juga menyatakan Tamron terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal ini sebagaimana dakwaan kedua primair terkait Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Hakim kemudian menghukum Tamron untuk membayar uang pengganti senilai Rp 3.538.932.640.663,67 atau Rp 3,53 triliun, dikurangi nilai aset yang telah disita oleh penyidik. Jika dalam waktu satu bulan setelah terbit putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap Tamron tidak membayar uang pengganti tersebut, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk negara.


Dalam hal harta bendanya tidak mencukupi, maka pidana tambahan itu akan diganti dengan pidana kurungan selama 5 tahun penjara. "Dan dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 5 tahun".


Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menetapkan negara mengalami kerugian senilai Rp300 triliun akibat kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015--2022.


Hakim anggota Suparman Nyompa dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, mengungkapkan kerugian negara yang sesuai dengan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tersebut telah terbukti dalam fakta persidangan. Dengan demikian unsur yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara telah terpenuhi.


Suparman memerinci kerugian negara tersebut meliputi sebanyak Rp 2,28 triliun berupa kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat processing (pengolahan) penglogaman timah yang tidak sesuai ketentuan. Kemudian, terdiri atas sebanyak Rp 26,65 triliun akibat pembayaran bijih timah dari tambang timah ilegal serta Rp.271,07 triliun kerugian negara atas kerusakan lingkungan.


Suparman menjelaskan uang kerugian negara sebesar itu antara lain mengalir kepada beberapa terdakwa maupun korporasi yang terlibat kasus korupsi timah, yakni Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bangka Belitung periode 2021--2024 Amir Syahbana sebesar Rp 325,99 juta.


Kemudian, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta melalui PT RBT sebesar Rp 4,57 triliun, Pemilik Manfaat CV Venus Inti Perkasa (VIP) dan PT Menara Cipta Mulia (MCM) Tamron alias Aon melalui CV VIP senilai Rp 3,66 triliun, serta Direktur PT Sariwiguna Binasentosa (SBS) Robert Indarto melalui PT SBS sejumlah Rp 1,92 triliun.


Lalu, kepada Pemilik Manfaat PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) Suwito Gunawan alias Awi melalui PT SIP sebanyak Rp 2,2 triliun, Pemilik Manfaat PT Tinindo Inter Nusa (TIN) Hendry Lie melalui PT TIN sebesar Rp.52,57 miliar, dan sebanyak 375 mitra jasa usaha pertambangan senilai Rp 10,38 triliun.


Menguntungkan pula CV Indo Metal Asia dan CV Koperasi Karyawan Mitra Mandiri (KKMM) sebesar Rp 4,14 triliun serta Direktur Keuangan PT Timah periode 2016--2020 Emil Ermindra dan Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani melalui CV Salsabila Utama sebesar Rp 986,79 miliar.


Selain itu, lanjut Suparman, terdapat pula uang sebesar Rp4.20 miliar yang merupakan pengumpulan dana dari para smelter swasta melalui PT Quantum Skyline Exchange (QSE) yang dikelola perpanjangan tangan PT RBT Harvey Moeis dan Manajer PT QSE Helena Lim, yang penggunaannya tidak dapat diketahui karena tidak ada pencatatan, baik oleh Harvey maupun Helena.


Dengan demikian para terdakwa yang menikmati uang tersebut dibebankan pula uang pengganti atas kerugian negara. Adapun Majelis Hakim menetapkan kerugian negara tersebut dalam sidang pembacaan putusan kasus korupsi timah, yang di antaranya menyeret perpanjangan tangan PT RBT.


Harvey Moeis, Direktur Utama PT RBT Suparta dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Andriansyah. Harvey divonis pidana penjara selama enam tahun dan enam bulan, pidana denda Rp 1 miliar subsider pidana kurungan enam bulan, serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti Rp 210 miliar subsider dua tahun penjara.


Suparta dijatuhi hukuman penjara selama delapan tahun, denda Rp 1 miliar subsider pidana kurungan selama enam bulan, serta membayar uang pengganti senilai Rp 4,57 triliun subsider enam tahun penjara.


Sementara Reza dijatuhi pidana penjara selama lima tahun dan pidana denda sebanyak Rp 750 juta subsider pidana kurungan selama tiga bulan.



Rincian Kerugian Negara

Rincian Kerugian Negara Rp 300 Triliun.  Akibat Kasus Korupsi Timah Kejaksaan Agung (Kejagung) masih mengusut kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Kasus korupsi tersebut menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun.


Deputi Bidang Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Agustina Arumsari dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (29/5/2024) merinci besaran kerugian negara tersebut. Pihaknya turut melibatkan sejumlah ahli dalam penghitungan itu.


"Kami mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti yang kemudian sampai pada kesimpulan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp 300,003 triliun, " tutur Agustina Arumsari.

Agustina mengatakan hal itu akan di jelaskan dalam persidangan nantinya. Namun, dia merinci jumlah Rp 300 triliun yang disebutkan menjadi kerugian real dalam perkara itu.

Jumlah itu, kata dia, meliputi harga sewa smelter hingga kerugian lingkungan yang ditimbulkan.

"Pertama adalah kemahalan harga sewa smelter oleh PT Timah sebesar Rp 2,285 triliun".

"Kedua adalah pembayaran bijih timah ilegal oleh PT Timah kepada mitra tambang PT Timah sebesar Rp 26,649 triliun".

"Ketiga adalah kerugian keuangan negara karena kerusakan lingkungan yang dihitung oleh Prof Bambang ini sebesar Rp 271,069 triliun".

Agustina menerangkan secara ringkas penyebab aktivitas ilegal itu menimbulkan kerugian negara.

Sebab, terang dia, kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang ilegal merupakan residu yang menurunkan nilai aset lingkungan secara keseluruhan.
Penjelasan secara ringkasnya seperti itu, tentu saja detailnya nanti akan kami sampaikan di dalam proses persidangan berkolaborasi dengan para ahli yang tadi sudah saya sebutkan ada sekitar enam ahli.


Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkap jumlah terbaru soal kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 - 2022. Jumlahnya bertambah mencapai Rp 300 triliun.
Menurut ST Burhanuddin (Jaksa Agung RI) dalam konferensi pers, (29/5/2024).

Perkara timah ini hasil penghitungannya cukup lumayan fantastis, yang semula kita perkirakan Rp 271 triliun dan ini adalah mencapai sekitar 300 triliun. Angka tersebut terungkap setelah Kejaksaan Agung mendapat hasil penghitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dalam melaporkan hasil penghitungan ini, Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh hadir langsung di Kejaksaan Agung.


ST Burhanuddin juga menyebut berkas perkara ini diharapkan dilimpahkan ke pengadilan dalam seminggu ke depan. Perkara timah telah memasuki tahap akhir pemberkasan, dan diharapkan dalam seminggu ke depan sudah dilimpahkan ke pengadilan.


Penafsiran Ahli Hukum

Mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mempertanyakan terpenuhi atau tidaknya keadilan dalam vonis yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis. Mahfud menyoroti Harvey yang hanya dihukum 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang disebut merugikan negara sebesar Rp 300 triliun.

"Di mana keadilan," Mahfud dalam unggahan di media sosial Instagram-nya, @mohmahfudmd, Kamis (26/12/2024).

Putusan Pengadilan

Mahfud mengatakan, dakwaan yang ditujukan jaksa kepada Harvey sangat jelas berbunyi "merugikan keuangan negara," bukan "potensi merugikan perekonomian negara".

Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerbitkan Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang mengatur bahwa dalam kasus korupsi (bukan suap dan gratifikasi), kerugian negara atau kerugian ekonomi harus bersifat nyata, bukan potensi.


Namun, kata Mahfud, "Jaksa penuntut umum hanya menuntut Harvey dihukum 12 tahun penjara, membayar denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar. Hakim akhirnya menjatuhkan hukuman 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar. Selain hukuman penjaranya ringan, yang menyesakkan adalah dari dakwaan merugikan keuangan negara Rp 300 triliun, tapi jatuh vonisnya hanya Rp 211 miliar (denda dan uang pengganti), atau sekitar 0,007 persen saja dari dakwaan kerugian keuangan negara," menurut Mahfud mantan Ketua MK itu.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Tony Irfan menyatakan Harvey Moeis terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada tata niaga komoditas timah bersama para terdakwa lain.


Hakim juga menyatakan Harvey terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dalam pertimbangannya, hakim menyebut tuntutan jaksa yang meminta Harvey dihukum 12 tahun terlalu berat jika dibandingkan dengan perannya yang terungkap dalam sidang.


Kata hakim Tony Irfan, Harvey yang tidak memiliki kedudukan struktural di PT. Refined Bangka Tin (RBT) tidak memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan kerja sama dengan PT Timah Tbk.

"Menimbang bahwa tuntutan pidana penjara selama 12 tahun terhadap diri terdakwa Harvey Moeis, majelis hakim mempertimbangkan tuntutan pidana penjara tersebut terlalu berat jika dibandingkan dengan kesalahan terdakwa sebagaimana kronologis perkara, " ucap Tony Irfan.


Kasus Korupsi Rp 300 Triliun, Bos Timah Terbesar di Dunia

Kasus Korupsi Rp 300 Triliun, Bos Timah Tamron Divonis 8 Tahun Penjara pemilik perusahaan smelter swasta CV Venus Inti Perkasa (VIP), Tamron alias Aon, dihukum 8 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah yang merugikan negara sebesar Rp 300 triliun.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Tony Irfan, menyatakan bahwa Tamron terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara sah dan meyakinkan bersama-sama Harvey Moeis dan kawan-kawan. Korupsi tersebut di antaranya dilakukan melalui kerja sama sewa alat pengolahan dengan PT Timah Tbk dan jual beli bijih timah dari wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Tamron alias Aon oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 tahun," (Hakim Tony di ruang sidang, Jumat , 27/12/2024).


Majelis hakim juga menghukum Tamron untuk membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan. Selain itu, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat juga menyatakan Tamron terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal ini sebagaimana dakwaan kedua primair terkait Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.


Hakim kemudian menghukum Tamron untuk membayar uang pengganti senilai Rp 3.538.932.640.663,67 atau Rp 3,53 triliun, dikurangi nilai aset yang telah disita oleh penyidik. Jika dalam waktu satu bulan setelah terbit putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap Tamron tidak membayar uang pengganti tersebut, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk negara.


Dalam hal harta bendanya tidak mencukupi, maka pidana tambahan itu akan diganti dengan pidana kurungan selama 5 tahun penjara.

"Dan dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 5 tahun, " ucap Tony Irfan.


Vonis yang dijatuhkan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni 14 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan, dan uang pengganti sebesar Rp 3,66 triliun.


Kemudian, Jaksa menilai Tamron terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Ia juga dinilai terbukti melakukan TPPU sebagaimana dakwaan kedua primair.


Respon Komisi Yudisial RI terhadap Vonis Korupsi 300 Triliun

Terdakwa HM divonis majelis hakim PN Jakarta Pusat berupa 6 tahun dan 6 bulan penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp 210 miliar subsider 2 tahun penjara. Terdakwa HM terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015 - 2022. Vonis ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum dimana terdakwa dituntut 12 tahun penjara, membayar denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 210 miliar. MK, (27/12/2024).


Merespons hal itu, Komisi Yudisial (KY) menyadari bahwa putusan ini akan menimbulkan gejolak di masyarakat. Selama persidangan berlangsung, (KY) berinisiatif menurunkan tim untuk melakukan pemantauan persidangan. Beberapa diantaranya saat sidang menghadirkan ahli, saksi a de charge dan saksi. Hal ini sebagai upaya agar hakim dapat menjaga imparsialitas dan independensinya agar bisa memutus perkara dengan adil.


KY juga akan melakukan pendalaman terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tersebut untuk melihat apakah ada dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang terjadi. Namun, (KY) tidak akan masuk ke ranah substansi putusan. Adapun forum yang tepat untuk menguatkan atau mengubah putusan, yakni melalui upaya hukum banding.


(KY) juga mempersilakan masyarakat melapor apabila ada dugaan pelanggaran kode etik hakim dalam kasus tersebut. Namun, (KY) meminta agar laporan tersebut disertai bukti-bukti pendukung agar dapat diproses.



Jaksa Banding

Jaksa Resmi Banding Vonis 6,5 Tahun Bui Harvey Moeis: Terlalu Ringan aksa pada Kejaksaan Agung (Kejagung) mengajukan banding atas vonis pengusaha Harvey Moeis dkk. Sebab, jaksa menilai putusan terhadap Harvey Moeis terlalu ringan.
Direktur Penuntutan Jampidsus Kejagung, Sutikno mengatakan pihaknya mengajukan banding atas putusan terdakwa Harvey Moeis, Suwito Gunawan, Robert Indiarto, Reza Andriansyah, dan Suparta. Kelimanya merupakan terdakwa kasus korupsi komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk Tahun 2015 - 2022.


Menurut hakim ketua Eko Aryanto saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Senin 23/12/2024) yang mengatakan alasan jaksa mengajukan banding karena vonis yang dijatuhkan kepada lima terdakwa terlalu ringan. Dia menilai ada ketimpangan hukum dalam vonis itu.


(Alasan) satu, putusannya terlalu ringan ya khusus untuk pidana badannya. Dari situ nampak kelihatan hakim ini hanya mempertimbangkan peran mereka, para pelaku. Tetapi hakim nampaknya belum mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan dampak yang diakibatkan oleh mereka terhadap masyarakat Bangka Belitung, mengutip dari Detik.com (27/12/2024).


Sebelumnya, Harvey Moeis divonis hukuman penjara. Harvey dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah secara bersama-sama hingga menyebabkan kerugian negara Rp 300 triliun.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Harvey Moeis telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melakukan tindak pidana pencucian uang".

"Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan, " mengutip dari detik.com (23/12/2024).


Selain Harvey, ada juga Suwito Gunawan, Suparta, dan Robert Indiarto divonis 8 tahun penjara padahal tuntutan jaksa 14 tahun penjara. Kemudian Reza Andriansyah tuntutan 8 tahun bui dan divonisnya 5 tahun penjara.

Analisa dan Pendapat

"Saya tidak SETUJU, karena Dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: "Negara Indonesia adalah Negara Hukum", bukan negara kekuasaan. Menurut saya itu sungguh tidak adil dan tidak sesuai dengan Pancasila sila Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia (sementara seorang anak petani yang mencuri ayam dihukum lebih dari 1 tahun penjara) yang korupsi hampir kurang lebih Rp 300 triliun, hanya di hukum  6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan pengembalian uang korupsi sebesar Rp 210 miliar, " tulis A Junaedi Karso.

Dilansir dalam Detik.com pada (08/09/2021) dengan judul berita "Ibu Pencuri Susu Sempat Dapat Ancaman 7 Tahun Penjara, Ketua DPD: Miris". Kasus pencurian susu yang menimpa dua orang ibu di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, mendapat perhatian banyak pihak, tidak terkecuali Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.


Meski saat ini mereka sudah dibebaskan dari ancaman 7 tahun penjara, namun ancaman tersebutlah yang tetap membuat La Nyalla geram. Menurutnya, keadilan tidak boleh dicederai dalam kasus ini.


"Mencuri memang tidak dapat dibenarkan dari sisi manapun. Namun, jika mencuri susu dan minyak kayu putih harus diancam hukuman yang cukup tinggi, rasanya cukup miris juga, " ujar La Nyalla, pada (8/9/2021).


La Nyalla, senator asal Jawa Timur ini melanjutkan, aksi pencurian yang dilakukan di Toko Rani dan Toko Ringgit, Blitar, dilakukan karena pelaku sedang dalam kondisi yang sangat kesusahan secara ekonomi. Kasus seperti ini harus lebih diproses secara manusiawi.


"Secara ekonomi, pelaku ini menderita dan perlu mendapat perhatian yang serius. Hal ini bisa terjadi karena ada yang salah dalam sistem sosial kita. Saya berharap masalah ini dapat diselesaikan dengan berdamai dan pengadilan pun harus memberikan rasa adil yang seadil-adilnya, " jelas La Nyalla.


La Nyalla tak ingin para pelaku mendapat hukuman melebihi kesalahan yang dilakukan. Hal inilah yang membuat La Nyalla meminta agar peristiwa ini didalami kembali oleh pihak-pihak terkait. Karena pada prinsipnya, kasus yang kecil tidak perlu menjadi besar.


Permasalahan ini harus menjadi perhatian pemerintah daerah agar jangan sampai terjadi pencurian karena kekurangan makan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok untuk anak.

La Nyalla juga berharap, pemerintah perlu mendata kembali jumlah balita agar dialokasikan dalam daftar penerima Makanan Pendamping ASI (MPASI) agar anak tidak kekurangan gizi, terutama dalam kebutuhan susu.


"Anlisa saya ini di dukung oleh Publik (Seluruh rakayat Indonesia bahkan mungkin dunia international/jagat maya) secara ramai-ramai yang meluapkan kekecewaan di media sosial terkait vonis ringan dalam kasus korupsi yang dinilai menciderai rasa keadilan masyarakat, " ujar A Junaedi Karso, Minggu (5/1/2025).

Vonis tersebut memicu berbagai tanggapan, termasuk narasi satir yang viral di dunia maya. Salah satu kasus yang mendapat sorotan luas adalah korupsi timah yang melibatkan Harvey Moeis. Harvey dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan pengembalian uang korupsi sebesar Rp 210 miliar.


Bahkan, denda Rp 1 miliar itu dapat diganti dengan tambahan hukuman penjara selama enam bulan. Vonis itu dianggap terlalu ringan dibandingkan jumlah kerugian yang ditimbulkan hingga triliunan rupiah.


Harapan Penulis

Putusannya terlalu ringan terhadap Harvey Moeis yang seharusnya dihukum mati dan di miskinkan sangat menggemparkan dunia dan jagat maya baik nasional maupun international. Dari situ nampak kelihatan hakim ini hanya mempertimbangkan peran mereka, para pelaku. Tetapi, hakim nampaknya belum mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan dampak yang diakibatkan oleh mereka terhadap masyarakat Bangka Belitung.


Sebelumnya, Harvey Moeis divonis hukuman penjara. Harvey dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah secara bersama-sama hingga menyebabkan kerugian negara Rp 300 triliun.


"Melakukan evaluasi terhadap hakim yang menangani kasus Harvey Moeis, bila perlu jaksa agung dan APH lainnya melakukan pendalaman apakah hakim tersebut mendapatkan suap, bila terbukti hukum yang seberat-beratnya".


"Mengadili, menyatakan terdakwa Harvey Moeis telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melakukan tindak pidana pencucian uang.


"Hakim menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan".

Selain Harvey, ada juga Suwito Gunawan, Suparta, dan Robert Indiarto divonis 8 tahun penjara padahal tuntutan jaksa 14 tahun penjara. Kemudian Reza Andriansyah tuntutan 8 tahun bui dan divonisnya 5 tahun penjara.


"Oleh karenanya Saya tidak SETUJU, karena Dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: "Negara Indonesia adalah Negara Hukum", bukan negara kekuasaan. Menurut saya itu sungguh tidak adil dan tidak sesuai dengan Pancasila sila Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia (sementara seorang anak petani yang mencuri ayam dihukum lebih dari 1 tahun penjara) yang korupsi hampir kuraang lebih 300 T, hanya di hukum 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan pengembalian uang korupsi sebesar Rp210 miliar, " pungkas A Junaedi Karso.***

Sumber: AJK.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun