Bogor, Jawa Barat | Rempang, pulau yang pada periode 1985-1989/1990, saya berulangkali ke sana sebagai pembina Masyarakat Terasing Suku Laut. Suku Laut berdiam, tepatnya singgah, di beberapa tempat di pesisir Rempang, jauh dari masyarakat setempat.
Doeloe, pada waktu itu, menurut tuturan, penduduk Rempang Lama (di Kampung Tua), nenek moyang atau buyut mereka merupakan pendatang (yang didatangkan Tauke Perkebunan) sebagai pekerja kebun, mandor, atau pedagang.
Namun, jika sekarang, banyak orang luar menyatakan "asal usul rakyat Rempang dengan hak-hak mereka," maka agaknya, mereka menggunakan informasi tanpa latar, bahkan dari hamparan kosong. Â Serta gunakan info liar yang muncul sebagai penguatan terhadap adanya narasi-narasi penolakan dari rakyat (akibat provokasi para provokator).
Lintasan Sejarah
Pulau-pulau Rempang, Galang, Bertam, Padi, Belakang Padang, Sambu, dan sekitarnya, pada masa lalu, hingga Abad 19 milik Kerajaan/Kesultanan Riau/Lingga (Pusat Kekuasaan di Lingga, pulau kecil di depan Tg Pinang. Alasan memilih Pulau Lingga, bukan di daratan, sebagai Istana, karena lebih mudah mengawasi garis pantai dari serangan musuh). Catatan Belanda dan Inggris pun, membenarkan hal tersebut.
Tahun 1861, Yang Dipertuan Muda Riau X, Raja Muhammad Yusuf atas nama Sultan Riau Lingga, dan Residen Belanda di Tanjungpinang mengeluarkan dan memberi izin kepada tauke Tionghoa untuk membuka ladang gambir di Pulau Cembul, Pulau Bulang dan wilayah lain di Batam. Bahkan, Kerajaan Riau Lingga akan menghukum seberat-beratnya siapa saja yang menganggu usaha gambir orang Tionghoa tersebut.
Menurut Elisha Netscher (dalam Beschrijving van Een Gedeelte Der Residentie Riouw), ada pabrik pengolahan gambir (bangsal) di Kepulauan Riau, perkebunan di Galang, Sembulang, Duriangkang, dan Mukakuning. Pemiliknya adalah orang Tionghoa, pekerjanya pendatang dari China, Jawa, Sumatera, dan Flores
Pulau-pulau tersebut, tadinya sepi atau tak ada penduduk (di Darat), hanya Komunitas Masyarakat Terasing, Suku Laut, tinggal atau singgah di pesisir pantai.
Setelah adanya perkebunan, berangsur-angsur terjadi perpindahan penduduk ke pulau-pulau tersebut. Mereka adalah pekerja, budak, dan keluarganya. Terutama dari Daratan China, Melayu Riau Daratan, Jawa, dan juga Flores.
Keturunan mereka itulah yang menjadi "Asli" Rempang dan Galang dan sekitarnya. Walau seperti itu, mereka tidak pernah mendapatkan legalitas hak kepemilikan tanah.
Belakangan, ketika Inggris masih berkuasa di Singapura, British Proteleum ikut membangun area penyangga di pulau-pulau dekat Singapura. BP kemudian membeli dari Sultan Lingga/Riau.
Tahun 1913, ketika Kesultanan Riau Lingga, kehilangan kekuasaan dan pengaruh, seluruh daerah Kep Riau-Lingga, menjadi "milik" Pemerintah Hindia Belanda; kecuali pulau-pulau milik BP (Aset-aset BP menjadi milik NKRI, setelah diambil alih Pertamina).
Pasca Indonesia merdeka, wilayah Rempang-Galang masuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau. Saat terbentuknya Kotamadya Batam tahun 1983, wilayah Rempang-Galang bergabung dan berpisah dari Kabupaten Kepri.
Ekspansi BP Batam
BP Batam, dulu bernama Otorita Batam lahir tahun 1970-an, seharusnya hanya pulau Batam, merambah ke pulau-pulau sekitar; kemudian, mulai melirik Rempang. Karena memang sejak lama BP Batam melakukan ekspansi ke pulau-pulau sekitar, dengan bebagai cara, yang menurut saya ada juga yang tak masuk akal.
Di Rempang, mulai 1971, penduduk yang tergusur (dan digusur) Otorita Batam, banyak yang bergeser ke Rempang. Dari sini lahirlah istilah (i) kampung tua, kampung yang sudah ada sebelum Otorita Batam 1971, (ii) kampung baru, pendatang baru, terutama dari Sumatera Utara, Sumbar, Aceh, dan NTT.
Namun, Ekspansi BP Batam tersebut, mengalami hambatan investasi di Rempang dan sekitarnya. Kawasan Rempang dsktnya diestimasikan memperoleh investasi sebesar Rp 381 triliun hingga tahun 2080. Pulau Rempang yang luasnya sekitar 17.000 hektar. Akan dibangun kawasan industri, perdagangan, wisata.Â