Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Aku, Ular, dan Kupu-kupu

1 Januari 2014   13:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:16 70 0
Jika hari cerah, aku akan berlari-lari kecil ke padang rumput itu. Padang rumput itu sebenarnya adalah lahan terbengkalai di belakang rumah ibu yang mungil. Lahan itu cukup luas, berbatasan dengan sebuah bangunan besar yang berantakan. Sepertinya bangunan itu dulunya sebuah gudang. Atau mungkin pabrik, pabrik yang lebih kecil.

Ibuku --yang selalu menyemprotkan parfum beraroma tajam sebelum berangkat kerja di sore hari-- sering mengingatkanku agar tidak bermain-main di padang rumput itu.

"Ada ular," katanya. "Kamu tahu, bisa-bisa masuk rumah sakit kalau tak hati-hati memilih tempat bermain. Kamu akan digigit!"

Meski sulit, aku berusaha membayangkan seekor ular yang bergigi tajam, menggigitku.

"Lagi pula, ular-ular akan pergi ke mana lagi selain mencari belukar yang teduh untuk bersembunyi? Di situlah, ular-ular itu akan mengintipmu," kata ibu pada hari yang lainnya.

Ibu tidak tahu, bahwa selama ibu tidur seharian, aku masih sering bermain-main di sana. Aku juga tidak pernah bercerita, kalau aku pernah bertemu dengan seekor ular di tempat itu. Seekor ular yang kulitnya belang-belang, suatu kali merayapi kedua kakiku yang telanjang. Waktu itu aku sedang tidur-tiduran di hamparan rumput hijau sambil memandangi bentangan biru cerah dengan awan-awan putih tipis di langit. Ada yang terasa aneh di kulitku saat mahluk melata itu bertamasya sebentar di sana. Rasanya dingin, lembut, dan geli. Namun sayang, rupanya ular itu hanya numpang lewat saja. Padahal, aku ingin merasakan sentuhan yang tidak pernah kurasakan itu lebih lama lagi. Lagipula, pikirku, apa benar seekor ular akan menggigit? Seingatku, ibu juga pernah pulang bersama seorang laki-laki yang membawa ular ke rumah. Aku tidak tahu seperti apa ular yang dibawa laki-laki teman ibu itu; kecilkah? Waktu itu ibuku menyuruhku membelikan tisu dan rokok agak jauh dari rumah. Jadi sewaktu aku kembali, aku hanya mendengar suara ibu sedang bermain-main dengan ular itu.

"Ah, ternyata. Ularmu kecil saja."

"Jangan salah. Biasanya, justru binatang kecillah yang paling berbahaya sengatannya."

Aku tak mendengar apa-apa selanjutnya, selain suara cekikikan berbaur dengan seorang penyanyi dangdut bersuara genit dalam radio di kamar ibu.

Sejak itu, ibu sering bersama laki-laki yang membawa ular itu. Biasanya, ibu akan dijemput dengan sepeda motor di sore hari sewaktu akan berangkat kerja. Aku senang juga sebenarnya, karena dengan begitu, ibu tidak perlu berjalan kaki lagi ke tempat kerjanya yang jauh di dekat pasar lama.

Tapi sebenarnya ada yang lebih membuatku tertarik di padang rumput itu. Suatu pagi, saat membuka jendela kamarku, aku menemukan sebuah pemandangan yang menggirangkan hatiku. Seekor kupu-kupu berwarna keunguan terbang rendah dan hinggap di rimbunan bunga mawar yang tumbuh liar di bawah jendela. Aku segera berjingkat-jingkat ke luar rumah untuk menangkap kupu-kupu ungu itu. Namun sayang, langkah-langkah kakiku yang gegabah telah mengagetkan kupu-kupu itu, sehingga sebelum tanganku berhasil menangkapnya, mahluk bersayap indah itu sudah terbang terlebih dulu. Kupu-kupu itu terbang menuju padang rumput di belakang rumah. Aku pun dengan suka ria mengejarnya. Saat itu aku membayangkan kupu-kupu itu akan segera menjadi milikku. Aku akan mengajaknya bermain-main bersama di kamarku. Aku juga akan menunjukkannya pada ibu. Pasti ibu juga suka melihat kupu-kupu, pikirku. Aku pernah mendengar ibu mengobrol tentang kupu-kupu dengan seorang perempuan teman kerjanya yang mampir ke rumah.

"Apa kamu tadi melihat seekor kupu-kupu?" tanya ibu kepada temannya.

"Aku melihatnya tadi, di padang rumput itu."

"Indah sekali sayapnya. Aku suka warnanya," kata ibu.

"Ah, apa indahnya. Kau ini ada-ada saja. Bukankah kita juga kupu-kupu?"

"Hmm. Kupu-kupu yang hampir patah sayapnya."

"Kupu-kupu yang terbang malam-malam. Ha ha ha..."

Ibu dan teman kerjanya pun tertawa-tawa. Aku tidak tahu apa yang mereka tertawakan. Mungkinkah mereka sedang menertawakan kupu-kupu itu?

Jadi memang benar, di padang rumput itu ada seekor kupu-kupu yang cantik seperti yang dikatakan ibu dan teman kerjanya waktu itu. Dan kini, aku akan lebih berhati-hati. Aku tidak ingin kupu-kupu itu lepas lagi seperti tempo hari. Kali ini, aku menjaga gerak-gerikku sedemikian rupa. Nafasku sedikit tertahan, kakiku berjingkat-jingkat, perlahan-lahan mendekati sekuntum mawar liar di mana seekor kupu-kupu hinggap dengan cara yang paling mengesankanku. Sekejap berikutnya, hatiku riang tak terkira ketika jemari mungilku berhasil menangkap mahluk cantik itu; kupu-kupu bersayap ungu. Aku pun segera berlari-larian menuju rumah, tak sabar ingin mengajak kupu-kupu mungilku bermain bersama di kamarku.

***

Aku tidak tahu, kenapa orang-orang dewasa lebih mudah marah. Aku juga tidak tahu, kenapa ibu memarahiku gara-gara seekor kupu-kupu. Aku kira ibu akan suka melihatku bisa menangkap kupu-kupu. Hari itu, saat aku sedang bermain-main dengan kupu-kupu cantikku, ibu tiba-tiba masuk ke kamarku. Ibu mengatakan padaku bahwa ia sendiri yang akan membuang kupu-kupu itu jika aku tak mau melepaskannya. Tentu saja, aku tidak mau melepaskannya. Kau masih ingat, bagaimana caraku mendapatkannya, kan? Tidak mudah. Namun ibu tidak peduli hal itu.

Kau tahu, apa yang kupertahankan sia-sia saja, akhirnya. Dengan mudahnya ibu merampas kupu-kupu itu dari tanganku. Dengan kejamnya ibu melepaskan kupu-kupu itu dari kamarku. Ia membuka jendela dan menerbangkannya begitu saja. Aku yang tak sanggup meraih tangan ibu, hanya bisa meronta-ronta. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku begitu marah kepada ibu hingga aku memukul-mukul tubuh ibu yang berusaha meraih tanganku. Aku terus melolong-lolong sekeras-kerasnya, meneriaki ibu, mengatakan hal-hal yang buruk kepadanya; semoga ibu dimakan ular atau ditampar sayap kupu-kupu raksasa, biar tahu rasa.

Namun semuanya sia-sia. Aku hanya pasrah dalam dekapan ibu ketika suaraku hampir tak tersisa. Di saat itu, aku bisa melihat mata ibu berkaca-kaca. Bahkan aku bisa merasakan air matanya yang jatuh berbaur dengan air mataku di pipiku, di tubuhku. Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba ibu tersedu-sedu.

"Nak, maafkan ibu, ya?"

Aku tak bisa menjawabnya. Bagaimana mungkin, seseorang yang telah berbuat jahat, bisa meminta maaf begitu saja. Aku ingin ibu mengembalikan kupu-kupuku.

"Lagi pula, semua kupu-kupu akan lebih cantik jika berada di taman. Bukan di kamar ini tempatnya. Nanti kamu akan tahu, kenapa ibu memintamu melepaskan kupu-kupu itu."

Aku tidak tahu apa yang dikatakan ibu. Bagiku, seekor kupu-kupu akan tetap tampak cantik di mana saja. Apalagi jika aku bisa memilikinya.

"Mulai sekarang biarlah kupu-kupu itu terbang bebas, mencari rumahnya sendiri. Kamu tahu, Nak," kata ibu semakin terisak. "Kita juga harus segera meninggalkan kota ini. Mulai besok, ibu akan bekerja di tempat lain."

Aku semakin tidak mengerti kenapa ibu harus pindah dan bekerja di tempat lain. Apakah di tempat lain aku masih bisa melihat kupu-kupu seperti di padang rumput itu?

"Di tempat yang baru nanti, kamu akan melihat lebih banyak kupu-kupu. Kupu-kupu yang lebih cantik."

Aku tidak tahu, apa ibu mengatakan yang sebenarnya atau hanya sedang membujukku. Yang aku tahu, dua hari setelah itu kami benar-benar meninggalkan rumah itu. Kami dibantu oleh seorang laki-laki yang dulu sering menjemput ibu.

"Kemarilah, biar ibu beri tahu," bisik ibu sebelum kami meninggalkan rumah itu. "Mulai sekarang, kamu boleh memanggilnya ayah."

Aku tahu, laki-laki itu adalah laki-laki yang membawa ular ke kamar ibu waktu itu. ()

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun