Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Kertas Putih Kosong, Titik, Goresan 'Klasik' dan Ribuan Hal Lainnya

25 April 2011   11:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:25 632 0
Kalau kamu dihadapkan pada kertas putih kosong dan diminta mengambar sebuah pemandangan, apa yang akan kamu gambar?

Dulu, ketika kita masih duduk di bangku kayu yang kini terlihat begitu kecil, kita diminta mengambar dengan contoh dua bukit dengan matahari diantaranya serta awan biru diatasnya dan seperti semua anak lainnya, dua bukit gunung dengan matahari itulah yang kita gambar.

Ketika kita beranjak sedikit lebih 'besar' dengan bangku kayu yang lebih lebar dan tinggi, kita disuruh mengambar hal yang bisa disebut seni dan terkadang kita masih mengambar dua bukit dengan matahari kuning bersinarnya. Entah karena nostalgia, entah karena kita memang menyukainya atau entah karena hanya itulah yang kita bisa.

Kini ketika kita dihadapkan pada kertas putih kosong dan diminta mengambar pemandangan, apa kita masih akan mengambar dua bukit gunung dengan matahari diantaranya itu?

.

Tanganku gemetar. Bukan karena sakit. Bukan karena kesal. Bukan juga karena entah-apa-itu yang menyeramkan atau berbahaya.

Tanganku gemetar hanya karena tanganku terlalu lama mengenggam pensil tanpa menggoreskan apapun. Dalam satu jam ini, tak ada goresan satu pun, tak ada hasil hapusan satu pun, tak ada tanda-tanda kertas putih ini akan diisi. Yang ada hanya satu titik hitam di ujung pensil yang kugenggam. Dan yah.., titik hitam ini kurasa akan menjadi lubang kecil sebentar lagi.

Aku menatap sekelilingku. Ada yang sudah mewarnai dengan pensil warna 64 set-nya, ada yang sudah berlari-lari mengitari kelas karena tak peduli dengan apa yang digambarnya dan hal yang terpenting adalah menyelesaikannya secepat mungkin, ada yang sudah menghapus kertasnya berkali-kali hingga kertasnya terancam robek, ada yang sudah meremas dan mengganti kertasnya entah yang kesekian kalinya, ada yang dengan luar biasanya mengambar hal yang mungkin hanya dimengertinya.

Dan ada diriku yang mengenggam pensil dengan begitu eratnya tanpa membuat satu goresan pun.

.

Aku tak bisa mengingat pada titik mana diriku begitu berusaha menghindari sebuah kertas kosong dan menggambar.

Mungkin pada titik dimana aku melihat titik di ujung pensilku. Mungkin pada titik dimana diriku sadar bahwa titik di sebuah kertas putih kosong bukanlah menggambar. Mungkin pada titik dimana diriku sadar bahwa pelajaran menggambarku selalu berujung pada.. titik.

.

Beberapa temanku berkata bahwa diriku hanya perlu menggambar sesuatu yang mudah. Entah apapun itu atau hal klasik seperti dua bukit dengan matahari diantaranya. Bagaimanapun, yang terpenting adalah dirimu mengisi kertas kosong putih itu. Bukan bagaimana atau apa atau mengapa.

Sayangnya, diriku tak ingin 'hanya' mengisi. Diriku tak hanya ingin 'sekedar' mengisi. Diriku ingin.. entahlah.

.

Entah karena guruku yang selalu memanggilku dan orang tuaku karena sebuah titik. Entah karena kata-kata teman-temanku itu. Entah karena muak melihat kertas putih yang kosong. Entah karena bosan melihat titik.

Namun tanpa kusadari, titik berubah menjadi goresan.

Sayangnya, diriku tak tahu 'bagaimana atau apa atau mengapa' tentang goresan-goresan itu.

Satu yang kutahu, aku menggores sesuatu yang selalu digores 'semua' orang, si dua bukit dengan matahari diantaranya.

'Klasik'.

.

Matahari terbit dan tenggelam. Hari berubah menjadi minggu dan minggu berubah menjadi tahun.

Si dua bukit dengan matahari diantaranya telah berubah menjadi lebih hidup. Awalnya, aku hanya menggoresnya begitu saja dan mewarnainya. Sekarang, goresan itu sudah begitu 'biasa' oleh tanganku hingga waktu menggoresnya tak lagi selama itu.

Perlahan-lahan mulai kuragamkan goresan itu dengan awan, pohon, burung, jalan, rumah, sungai, orang dan ribuan hal lain yang bisa kupikirkan.

Kurasa, goresanku tak lagi se-'klasik' dulu.

.

Terkadang ketika mood-ku sedang bagus, aku akan mewarnai kertasku dengan pensil warna 64 set-ku. Ketika moodku sedang jelek, aku akan menggambarnya secepat mungkin dan se-tak-peduli mungkin. Ketika diriku sedang kesal, aku akan menggambar dan menghapusnya kuat-kuat berkali-kali hingga kertasku hampir robek karena goresan yang kuinginkan tak juga muncul. Ketika diriku sedang tak sabar, aku bahkan tak akan berhenti untuk menghapus, cukup hanya dengan meremas kertas itu dengan kesal dan menggantinya dengan yang baru.

Kertasku tak pernah lagi hanya putih dan kosong dengan sebuah titik di ujung pensilku.

Sayangnya, aku rindu titik itu.

.

Detik berlalu dan jam berdenting.

Hingga pada suatu momen, jam itu tak berdetak sama sekali.

Mataku menatap lama jam itu, ditemani suara degup jantungku yang menggema di telingaku.

Entah pada hembusan napasku yang keberapa, aku memutuskan untuk melakukan apa yang dilakukan jam itu.

Sambil mendengar suara jantung hatiku, aku memutuskan untuk berhenti.

Dan rasanya seperti tersenyum.

Aku bahagia.

.

Sejak momen itu, aku mulai mencari.

Aku menyapukan kuas di atas kanvas, berusaha membuat gambar-gambar hidup.

Aku berlari sekencang mungkin, berusaha mengejar angin.

Aku menendang dan memantulkan bola, berusaha selincah mungkin.

Aku menulis dan membaca, berusaha mengubah kelam menjadi puisi.

Aku berdiri di atas panggung, berusaha menirukan mimik apapun itu.

Dan aku melakukan ribuan hal lainnya dalam pencarianku.

.

Kami sedang berkemah. Saat itu, di bawah bentangan bintang malam sambil duduk di depan api unggun, seorang teman membawa gitar dan memetiknya, membiarkan alunannya mengiringi suara malam.

Aku menemukan apa yang kucari.

Senyum mengembang pelan di wajahku.

.

Aku tak pernah tahu bahwa diriku bisa begitu mencintai titik hingga titik itu kugambar di kertas yang tepat, kertas bergaris tempat nada-nada digambar.

Kurasa, aku cukup baik dalam menggambar titik-titik padat dengan tongkat-tongkat kurusnya, dalam menarikan tanganku di atas tuts hitam putih, dalam memetik dan menggesek senar-senar.

Kudongkakan kepalaku, menatap sebuah gambar yang kubingkai di dinding. Selembar kertas putih kosong dengan sebuah titik hitam.

Kurasa, apa yang kucari setelah sekian lama sebenarnya tak pernah sejauh itu dariku.

Bagaimanapun juga, aku ternyata hanya perlu menggambar titik itu di kertas yang tepat.

.

I dream of painting and then I paint my dream.

- Vincent Van Gogh



[7 - 24 / 04 / 11]

[00.36]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun