jurnal seorang pengemudi motor berplat B) Matahari kembali terang di atas segala kemungkinan langit yang terik. Aku terdiam keletihan. Tak habis juga perjalanan yang kutempuh sejak sedari tadi. Sebuah warung di pinggiran jalan akhirnya kutemukan. Aku berhenti. Lalu memesan sebuah botol beserta teh dingin dalamnya. Mulutku menghirup teh itu. Segar. Juga nyeri seketika itu juga perutku. Baru kusadari, sehabis bangun tadi pagi, tak sempat ku santap makanan pembuka bumi ku. Sarapan. Sehabis kuhisap cair-cair semua isi teh dingin dalam botol itu, aku bayar, lalu bergegas menghidupkan teman beroda dua. Motor berplat B kepunyaanku. Satu-satunya. Sempat terpikir untuk membeli motor dalam ukuran yang lebih besar, lebih gagah. Tapi kuurungkan, lantaran tak sanggup ku dibuat pusing nantinya. Pusing karena akan bingung motor yang mana yang harus kupakai saat hendak ingin menyusuri jalan raya. Yang tua, yang telah kupunya dari zaman SMA kah? atau motor dengan ukuran yang lebih besar? yang nyatanya masih saja dalam angan tentang motor gagah itu sendiri. Peduli ketek setanlah! Aku bingung untuk hal yang demikian!!! Perjalanan terus kulanjutkan. Pantat ku mulai kebas. Jalanan masih saja menahan berat dari sekian banyak kendaraan yang bertebaran dipermukaan. Muak aku terhadap jalanan. Terhadap segala kendaraan sejenis yang terlampau banyak untuk ukuran kota yang teramat megah ini. Kota Jakarta, kota yang dipandang sebagai kiblat dari segala kemodernan di negaraku. Namun tetap saja, kemoderenan itu selalu disertai penyesalan. Penyesalan akan kehadiran macet. Kemacetan dalam jalan-jalan protokol kota modern ini. Yang sekarang membuat pantatku kebas. Mati rasa. Mati rasa yang dirasa pantatku hampir serupa dengan mati rasa akan belas kasihan yang kumiliki sekarang. Sungguh ku tak peduli akan undangan-undangan empati yang bertebaran di pinggir jalan. Seperti saat kini, ketika motorku lagi-lagi berhenti untuk kesekian kali lantaran kemacetan. Selalu saja seperti biasa, silih berganti anak jalanan, dengan berbagai macam rupa yang masing-masing mereka miliki, datang dengan setumpuk undangan akan tindakan berbelas kasihan. Tapi demikianlah aku, yang tergusur akan modernisasi kota modern negaraku ini. Tawaran yang sedemikian banyak, bertubi-tubi (di tiap sisi lain dari kemacetan kota modern ini) mengundang setiap warga negaranya untuk peduli. Untuk peduli, dari sekian banyak tawaran, hingga akhirnya setiap pribadi yang menerima undangan tersebut seakan-akan tak punya waktu untuk menghela nafas sejenak, karena selalu saja selanjutnya dalam waktu singkat undangan untuk bertindak belas kasih dapat ditemui setiap saat. Dan aku adalah penyimpangan dari semua perbuatan baik yang mungkin bisa rutin dilakukan. Terlalu muak akan empati terhadap undangan tersebut, hingga akhirnya aku menyetujui pandangan para petinggi negara dan petinggi kota modern, yang menetapkan peraturan, bahwa:
"DILARANG MEMBERI UANG KEPADA ANAK JALANAN...!!!" Maka muncullah lagi kejanggalan selanjutnya. Matirasanya belas kasih yang kumiliki menjadikanku sepakat, dalam satu nada pembangkangan akan perbuatan belas kasih, dengan putusan dari petinggi negara dan petinggi kota modern ini. Bagaimana  mungkin, suatu perbuatan yang diberi kata "
MEMBERI" adalah sebuah perbuatan yang bernilai setimpal untuk mendapat gelar "
PELANGGARAN"? Alamak, inilah akibatnya dari keputusan untuk mematikan rasa berbelas kasih. Nilai-nilai kehidupan seakan dibawa kabur seperti pudarnya sebuah sketsa para pelukis lantaran terkena air mata kesedihannya saat hendak melukis didalam kepedihan yang dia rasa. Dan inilah kepedihan itu. Bahwa kudapati bagaimana mungkin ada pemikiran dari manusia berjiwa pemimpin, yaitu petinggi negara dan petinggi kota modern, menancapkan sebuah peraturan tak berbelas kasih? Yah, bisa jadi mungkin telah mati rasa belas kasihan yang mereka miliki, seperti yang sedang kurasakan. Bahkan bisa jadi sama juga seperti yang sedang kurasakan sekarang ini ditengah kemacetan kota modern, bahwa pantat para petinggi negara dan petinggi kota modern sedang mati rasa. Kebas pantatnya. Namun apa yang membuat pantat mereka kebas? Apa kursi mereka terlampau panas? Atau kendaraan milik mereka berwujud panas (yang entah curi dari mana uang sebanyak demikian untuk membeli seperangkat kendaraan menuju kursi "Si Pembuat  Peraturan"). Entah... Peduli ketek setanlah! Aku bingung untuk hal yang demikian!!! Sama bingungnya seperti membandingkan motor tua yang bersaing dengan motor besar nun gagah dalam angan-angan tentang membeli motor baru. Hey... tunggu!!! Jangan-jangan para petinggi negara dan petinggi kota modern sedang ingin membeli motor baru? Yang lebih besar, dan lebih gagah. Bahkan melebihi dari imajinasi yang kumiliki. Peduli ketek setanlah! Aku bingung untuk hal yang demikian!!! Walau tanpa kusadari, ketek-ku lah ketek setan. Setan di atas kendaraan beroda dua, berplat B. Berjalan di atas jalanan kota moden, di sisi lain dari kemacetan. Sembari memikirkan pembenaran akan mati rasa untuk bertindak belas kasih. Dan masih saja perjalananku di atas motor berlat B tua ku ini belum sampai pada penghujung. Kebas Pantat milikku sudah pada tingkat akut. Akhirnya aku berhenti di sebuah warung di pinggiran jalan. Hey...!!! ini adalah warung yang kusinggahi sebelumnya. Ternyata kemacetan yang kujalani dari tadi hanya membuatku berputar-putar. Dan itu tiada ada kusadari. Sama halnya seperti pemikiran liar yang kutulis ini, yang berputar-putar, tak tentu arah, dan kembali kepada titik asal semula. Titik semulaku adalah TERDIAM. Diam, ku keletihan. Jangan-jangan inilah kemodernan itu:
Berputar-putar sedari tadi..., peduli ketek setan kembali. Pelanggaran memberi... tindakan berbelas kasih mati.
KEMBALI KE ARTIKEL