Nama John Jonga sudah tak asing lagi bagi kita. Dia adalah seorang Pastor yang sudah lama live in bersama ‘kerasnya’ hidup sebagian warga Papua di wilayah perbatasan RI-Papua Nugini (PNG). Sebuah wilayah pertarungan tugas antara TNI yang memang memiliki tugas pokok untuk menjaga KEDAULATAN NKRI di satu pihak, dan di pihak lain wilayah yang sama juga dikenal sebagai basis gerakan kelompok aktivis Papua merdeka, serta tempat pelayanan para pekerja kemanusiaan yang terpanggil untuk menyuarakan ketidakadilan, apapun risikonya.
Jumat, 29 Juni 2012 Pastor John Jonga ada di Jakarta untuk menghadiri peluncuran buku biografinya di Wisma Proklamasi. Saat yang hampir sama, di bilangan Cikini, Jakarta, juga berlangsung peluncuran Laporan Pelanggaran HAM oleh tokoh gereja asal Papua, oleh Pendeta Benny Giay. Tampaknya tokoh-tokoh gereja di Papua sudah gerah dengan situasi tidak damai di wilayah tugas mereka, sementara kaum awamnya tampak sibuk berjibaku di panggung politik demi jabatan dan uang.
Pastor John Jonga memang bukan orang Papua. Ia asli Flores, Nusa Tenggara Timur yang terpanggil untuk menjadi pelayan umat di Papua. Membantu program-program pemberdayaan bersama Pemerintah RI bagi orang Papua agar kemerdekaan yang telah diraih melalui proses integrasi juga memberikan benefit bagi kemajuan dan kesejahteraan orang Papua, serta memperjuangkan penegakan HAM secara damai. Karenanya, Muridan S. Widjojo (Peneliti LIPI) yang juga hadir dalam acara itu mengatakan, Pastor John adalah amber (pendatang) teladan.
Menurut Pastor John, kemajuan yang diidam-idamkan itu masih jauh dari harapan. Umat yang dilayani di wilayah perbatasan masih terus bergulat dengan kesulitan hidup. Pendidikan dan kesehatan butuh penanganan lebih serius dari pemerintah. Utamanya kedamaian jemaat yang dilayaninya masih sering terganggu oleh sikap protektif aparat keamanan yang dinilainya berlebihan dalam mengawal wilayah perbatasan dari kegiatan para pelintas batas, terutama dari gangguan aksi-aksi OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang menjadikan wilayah perbatasan sebagai basis gerakan mereka.
Atas kegigihannya memperjuangkan penegakan HAM dengan cara damai, mencegah aksi-aksi saling melukai antara TNI dan OPM, mengupayakan kesejahteraan dan kemajuan warga Papua di wilayah perbatasan itulah yang menghantar Pastor John dianugerahi Yap thiam Hien Award pada 10 Desember 2009.
Pastor John patut kecewa mendengar bahwa saat ini di Keeorm ibarat kota mati, lantaran tak ada satupun angkutan umum yang mau beroperasi dari Keerom ke Jayapura karena Lambert Pekikir kembali bertekad mau mengibarkan Bintang Kejora di basis gerakannya dari tanggal 1 sampai 3 Juli mendatang.
“Saya diterima baik oleh OPM bukan karena saya mendukung mereka...tetapi karena saya mencintai orang Papua yang dianggap bodoh dan terbelakang, tanpa membedakan suku atau idiologi. Dan yang paling penting, darah saya tetap Merah-Putih”, tulis Pastor John dalam biografinya.
Darah Merah-Putih itu pula yang membuat dirinya bertahan dari intimidasi dan teror yang kerap diterimanya dari aparat keamanan yang salah sangka terhadap kedekatannya dengan kelompok OPM. Ia tidak pernah menolak kehadiran tentara di wilayah perbatasan, bahkan itu adalah suatu keharusan. Namun ia menyarankan agar TNI perlu mengubah strategi pendekatan. Para prajurit yang bertugas disana perlu dibekali pengetahuan budaya dan adat istiadat masyarakat setempat, sehingga mereka bisa berbaur dengan warga sebagaimana yang dilakukannya.