Seperti ulasan saya kemarin, negara-negara yang menyoroti isu pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di Papua adalah Inggris, Amerika Serikat, Australia, Swiss, Selandia Baru, Jepang, Kanada, Jerman dan Norwegia. Mereka secara tegas meminta Pemerintah Indonesia segera menghentikan kasus-kasus kekerasan dan penegakan hukum dan HAM di Papua dan Papua Barat. Jerman bahkan secara spesifik merekomendasikan agar Indonesia segera meratifikasi Rome Statute ICC, dan membebaskan tahanan politik Filep Karma.
http://politik.kompasiana.com/2012/05/28/indonesia-terima-mayoritas-rekomendasi-dewan-ham-pbb/
Fenomena Intervensi
Sorotan yang sama juga disuarakan oleh Amensty Internasional (AI). Dalam laporannya tentang HAM dan kebebasan berekspresi di Indonesia 2012, AI antara lain menyoroti kekerasan aparat keamanan di Papua yang masih kerap terjadi.
“Pasukan keamanan di Indonesia terus menerus menghadapi tuduhan penyiksaan atau perlakuan buruk terhadap tahanan, terutama aktivis damai politik di daerah yang memiliki sejarah gerakan pro-kemerdekaan seperti Papua dan Maluku. Tapi, ironisnya tidak pernah ada Investigasi independen terhadap tuduhan-tuduhan itu,”ujar Josef Roy Benedict juru kampanye Amnesty Internasional untuk Indonesia, Kamis (24/5/2012).
http://zonadamai.wordpress.com/2012/05/28/laporan-amnesty-2012-soroti-kekerasan-di-papua/
Fenomena yang diuraikan di atas mungkin membuat kita merasa terusik. Terusik karena dua alasan, pertama : fakta bahwa kekerasan di wilayah Papua dan Papua Barat hingga kini masih terus terjadi, baik yang dilakukan oleh aparat kemanan maupun oleh kelompok sipil bersenjata.
Kedua, jika kekerasan itu tidak dapat dihentikan kendati banyak upaya yang telah dilakukan, kemungkinan intervensi negara lain untuk menghentikan kekerasan itu menjadi semakin terbuka. Mengapa?
Kondisi yang memungkinkan Intervensi
International Commission in Intercention and state Sovereignty (ICISS) mengatakan: Where population is suffering serious harm, as a result of internal wars, insurgency, repression, or state failure, and the state in question is unwilling or unable to halt or avert it, the principle of nonintervention yields to the international responsibility to protect. (Hamid Awaludin, “HAM, Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional” Penerbit Buku Kompas, 2012).
Menurut mantan Menkum dan HAM Awaludin Hamid, parameter yang dipakai sebagai alasan negara lain melakukan intervensi kemanusiaan ada tiga, yaitu pemerintah gagal berfungsi melindingi warganya (negara gagal), terjadi pembunuhan secara massal dan membabi buta, perbudakan massal dan peledakan yang menimbulkan kematian yang masif, serta semua ikhtiar nonmiliter telah dilakukan namun tetap gagal.
HAM dan Motif ekonomi
Banyak contoh membuktikan bahwa pada umumnya negara (terutama negara-negara kuat) melakukan intervensi atas naman kemanusiaan, tetapi sesungguhnya mereka melakukannya karena kepentingan nasional mereka. Lebih khusus lagi, masalah kepentingan ekonomi dan supermasi kedigdayaan.
Dalam kasus intervensi Libya oleh NATO misalnya, dunia memandang Inggris dan Prancis melakukannya karena kepentingan ekonomi, yakni minyak. British Petroleum dan Shell milik Inggris telah mengincar sejumlah konsesi minyak di Libya. Prancis juga demikian. Total (Perusahaan minyak Prancis) menikmati sejumlah keuntungan karena isa sudah memiliki sejumlah ladang minyak di Libya. Mereka membutuhkan stabilitas di Libya untuk kepentingan suplai minyak ini. Pencegahan pelanggaran HAM dan kediktatoran Moammar Khadafy yang dituduh telah menyiksa dan membunuh warganya sendiri hanyalah dalih semata, dan Resolusi PBB No. 1973 dijadikan legitimasi.
Jika pelanggaran HAM Khadafy menjadi alasan pembenaran intervensi NATO, kenapa mereka tidak mengintervensi Zimbabwe atas kekejian Gabriel Mugabe, atau mengintervensi Korea Utara atas kekejaman Kim Jong Il?
Intervensi itu sudah di ujung gang
Modus yang sama bisa saja terjadi untuk mengintervensi Indonesia dengan dalil menghentikan kekerasan di Papua. Bukan rahasia lagi bahwa demokrasi dan HAM hanyalah alat untuk mencapai kepentingan nasional. Penempatan pangkalan militer AS di Darwin yang hanya berjarak 1.000 km dari Timika adalah sebuah signal. Bahwa kepentingan nasional AS dengan PT Freeport yang sedang menambang emas dan tembaga di Timika harus dikawal ketat dari tangan-tangan usil negara sekitarnya, termasuk Indonesia sendiri.
Maka wajar ketika negara-negara anggota Dewan HAM PBB fokus menyoroti kasus pelanggaran HAM di kawasan lain, AS dan sekutunya sibuk menyoroti kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Padahal, tanpa sorotan Dewan HAM PBB dan AI pun, Pemerintah Indonesia sedang serius menanganinya. Mari kita tegakan HAM dan menghentikan semua aksi kekerasan di Papua dengan kekuatan kita sendiri, karena jika kita gagal melakukannya, kemungkinan intervensi itu sudah di depan mata, karena -mengutip judul tulisan Achmad Kusaeni (Wapemred Antara)- Koboi Amerika (itu sudah) di Ujung Gang.
http://www.antaranews.com/berita/285450/koboi-amerika-di-ujung-gang